Langit malam menampakkan mukanya yang pias. Terlihat sangat cemas. Seribu bintang yang digantungnya enggan menyala. Entah kenapa. Tapi rasanya tak ada satu perihalpun yang menjadikan mereka celaka.
Mendung hitam telah pergi. Janji purnama juga sudah ditepati. Bahkan kabut, hanya tergeletak di sudut-sudut. Di pangkuan gunung yang sedang memeluk lutut. Kedinginan. Menunggu hadirnya pelukan. Dari remah-remah matahari yang ketinggalan.
Mungkin bintang-bintang sengaja membiarkan dirinya padam. Terlalu banyak lampu menyala di hati orang-orang. Tak perlu membuang-buang cahaya. Demi kegelapan yang sama sekali tak ada.
Atau barangkali ini perintah almanak yang menua. Agar tak nampak sekian banyak kerut di muka. Sebaik-baiknya buruk harus dirahasiakan. Seburuk-buruknya kebaikan mesti tetap disembunyikan.
Atau mungkin juga ini semua adalah bagian dari sebuah skenario besar semesta. Salah satu cara menggugah rasa cinta. Dari orang-orang yang amnesia bahwa langit masih ada. Dan terhadapnya mesti selalu diguyur doa-doa.
Manakala langit ikut memadam. Rencana demi rencana akan kehilangan jiwanya. Terserak di ceruk kegelapan. Tinggal tulang belulang bergeletakan. Yang nantinya akan disebut sebagai kegagalan. Bahkan sebelum semua ditetapkan sebagai harapan.
Jakarta, 18 Juli 2019