Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Filosofi Secangkir Kopi

30 Juni 2019   12:49 Diperbarui: 1 Juli 2019   21:15 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secangkir kopi pagi ini
Digulai remah-remah matahari
Di serambi rumah yang ramai
Setelah sepi memberangkatkan diri secara damai
Menuju suatu tempat yang rindang
Di mana banyak sarang burung pedendang

Uapnya yang tipis meliukkan tarian
Mirip para gadis arabian
Dahulu kala
Ketika raja-raja nomad masih bertahta
Sebelum lahirnya seorang gembala
Di sebuah oase sederhana di tengah-tengah gurun yang berbahaya

Kisah secangkir kopi nyaris selalu membuat seorang pujangga terjaga
Menuliskan kata-kata yang disadapnya dari tatapan mata
Seorang perempuan yang telah berhenti bertanya
Di mana cintanya berada
Ke arah mana rindunya akan bersua
Dengan kekasih yang dulu memaksanya selalu bermimpi
Saat tibanya malam hari

Ketika secangkir kopi berfilosofi tentang kembali utuhnya hati
Setelah terkoyak-koyak panjangnya periode sunyi
Di ketika itulah bahagia bukan idiom dusta lagi
Tapi telah menjadi kolom halaman depan koran-koran
Bahwa tidak ada hal muskil yang tak kejadian
Selama itu digenapi kuatnya keinginan

Jakarta, 30 Juni 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun