Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Seorang Ibu adalah Malaikat Tak Bersayap yang Terbang dalam Senyap

19 April 2019   21:34 Diperbarui: 19 April 2019   21:51 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati rintang, untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan. Walau tapak kaki, penuh darah... penuh nanah
Seperti udara... kasih yang engkau berikan. Tak mampu ku membalas...ibu...ibu
****
Seorang ibu, adalah peladang terhebat yang pernah ada di muka bumi. Menyemai semangat dan memanen keringat. Demi anak-anaknya bertemu butiran nasi. Saat membuka tudung saji.

Seorang ibu, adalah nelayan terkuat yang pernah ada di samudera. Menebar asa, menjaga jiwa. Bagi anak-anaknya agar tak berkubang dalam jelaga.

Jarak yang ditempuh oleh perjalanannya yang begitu cepat menua, adalah tak terbatas, tak bergegas. Semua dilakukan supaya anak-anaknya tak tergilas. Oleh lalu-lalang zaman yang tak beraturan. Lintang-pukang tak karuan.

Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu. Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu. Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku. Dengan apa membalas...ibu...ibu....
Seperti udara... kasih yang engkau berikan. Tak mampu ku membalas...ibu...ibu
****
Aku, meminta kabar tentang pusara ibu, melalui angin yang lewat. Apakah rumputnya telah begitu lebat, cahaya matahari telah begitu pekat, atau doa-doa dariku selalu datang terlambat.  

Ibu, menangis di pangkuanmu adalah cara terbaik untuk melepas rindu. Bercerita tentang pokok-pokok bambu di halaman rumah yang rimbun membatu. Tempat terbaik bagimu dulu mengumpulkan serasah, lalu menggiringnya di lubang galian tanah. Aku tahu, itu adalah caramu menasihatiku agar aku tidak selalu patah dalam gelisah, atau selalu rebah dirajam amarah.

Ibu, doa-doa dariku tak sampai seperseribu percikan bulir airmatamu saat kau tenggelam dalam doa tak berkesudahan. Memohon kepada Tuhan agar jatuh kasihan. Kepada anak-anakmu yang terkadang lupa ingatan. Kepada ibu yang sesungguhnya adalah malaikat tak bersayap dan terbang dalam senyap. Demi anakmu yang mudah saja jatuh terlelap. Dalam gelap.

Ibu, tentu saja aku tak sanggup membalas. Walau cuma satu rintik dalam hujan deras, walau cuma satu titik air dalam gelas, walau cuma sepantik api dalam dingin yang abadi.

Aku hanya berkeinginan. Ada satu di antara ribuan doa yang aku terbangkan. Sampai di pangkuan Pemilik Segala Pinta. Dan terbukalah segala pintu surga. Untukmu yang tak meminta timbal balik apa-apa. Atas tumpahan air susu, retakan cinta dan mendanaunya airmata.

Bogor, 19 April 2019

Catatan; Puisi ini terinspirasi dari Ibu, salah satu lagu terbaik sang Maestro Iwan Fals

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun