Saya sudah tak sabar dan ingin segera memasuki gedung Museum Sejarah Jakarta, sementara putri semata wayang kami masih saja sibuk dengan kamera smartphonenya. Sepertinya ia benar-benar tak ingin membuang kesempatan yang baik itu dengan percuma, mumpung ada di ibu kota Jakarta. Ia ngotot jeprat-jepret sekenanya, ingin menikmati sekaligus mengabadikan suasana pelataran Taman Fatahillah di mana museum berada.
Siang itu, cuaca sedang bersahabat, sejak keberangkatan kami dari kediaman kakak di Bogor hingga kawasan kota tua Jakarta tak terlihat mendung menggelayuti ibu kota yang gemerlap itu. Padahal sejak berangkat dari rumah kami sudah khawatir kalau-kalau hujan turun dan acara jalan-jalan kami jadi sedikit terganggu karenanya.
Menurut catatan sejarah, Museum Sejarah Jakarta (MSJ) atau ada yang menyebutnya Museum Fatahillah dulunya merupakan Balai Kota Batavia. Batavia sendiri sebenarnya nama yang diberikan Jan Pieterszoon Coen (JP Coen), seorang Gubernur Hindia Belanda untuk Kota Jakarta kala itu. Jakarta yang sebelum kedatangan Belanda bernama Jayakarta itu pernah suatu ketika dibumi-hanguskan oleh Belanda dan semenjak itu namanya berubah menjadi Batavia. Sekedar informasi, Gedung Balai Kota Jakarta untuk pertama kalinya dibangun pada tahun 1620 oleh JP Coen, lokasinya berada di sekitar Kalibesar Timur.
Berangsur-angsur mengalami perbaikan dan perkembangan, kemudian dipindahkan ke kawasan yang sekarang bernama Taman Fatahillah. Gubernur Jenderal Belanda berikutnya yakni Johan Van Horn pada kurun waktu 1707 – 1710 memerintahkan perbaikan kembali balai kota itu. Sebelum proklamasi kemerdekaan yakni pada tahun 1939, MSJ masih bernama Museum Batavia Lama. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1968 berganti nama menjadi Museum Djakarta Lama.Pada tanggal 30 Maret 1974, Bapak Ali Sadikin meresmikan penggunaannya sebagai Museum Sejarah Jakarta yang terbuka untuk masyarakat luas.
Prasasti Tugu, sebuah prasasti batu yang berbentuk bulat telur, ditemukan di daerah Batu Tumbu, Bekasi – Jawa Barat pada tahun 1879. Isi prasasti tentang pembuatan 2 sungai (kanal) yaitu Candrabhaga dan Gomati. Kedua sungai dibuat atas perintah Raja Purnawarman yang bertangan kuat dan kencang dari Kerajaan Taruma Negara. Pembuatan sungai selesai dalam 21 hari dan diakhiri dengan upacara keagamaan yang disertai pemberian 1000 ekor sapi kepada para pendeta.
Tak hanya temuan purbakala yang mengiringi sejarah perkembangan Kota Jakarta, di MSJ pula para pengunjung bisa menyaksikan bukti kekejaman penjajah Belanda kala itu. Di lantai bawah gedung MSJ bisa pengunjung temukan ruang penjara lengkap dengan jeruji besi yang masih terpasang dengan kokohnya. Bola-bola besi yang diperuntukkan bagi para tahanan kala itu terlihat masih utuh di salah satu penjara bawah tanah MSJ. Ruang penjara khusus wanita di masa kolonialisme Belanda juga ada. Kabarnya nih, Untung Suropati dan Pangeran Diponegoro pernah merasakan sangarnya penjara yang ada di MSJ ini.
Gaya arsitektur bangunan MSJ sangat menawan, apalagi kalau keadaan langit biru cerah, dari kejauhan MSJ terlihat keren. Museum yang kini menjadi magnet para wisatawan yang ingin plesir ke Jakarta itu juga dilengkapi sarana ibadah, tempat makan dan tentunya toko suvenir. Tiket masuknyapun sangat terjangkau, untuk orang dewasa 5 ribu rupiah dan pelajar cukup dengan hanya membayar 2 ribu rupiah seorangnya.