Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Sepasang Sahabatku dari Israel dan Palestina

29 Juli 2017   10:16 Diperbarui: 5 Agustus 2017   05:16 2526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: http://internasional.kompas.com

Kisah ini sebenarnya sudah terjadi sudah cukup lama, namun kembali teringat ketika akhir-akhir ini terjadi lagi pertikaian antara Israel dan Palestina di Mesjid Al-Aqsa. 

Seperti pertikaian-pertikaian sebelumnya maka kali inipun menghebohkan bangsa ini dengan aneka diskusi dan perdebatan. Ada yang memandang ini adalah pertikaian agama namun ada juga yang melihat sebenarnya masalah tersebut adalah persoalan politik. Penulis tidak mau lebih masuk ke areal perdebatan ini, tapi hanya mau berbagi cerita mengenai kedua sahabat dari Israel dan Palestina.

Kami bertemu karena sama-sama satu kelas di kursus musim panas bahasa Perancis di Paris. Sebagai mahasiswa yang sedang menimba ilmu di Eropa, memang musim panas biasanya dipakai untuk menjelajahi Eropa sambil memperdalam bahasa di negara yang memberikan kursus gratis. Maklum mahasiswa kere. Perancis waktu itu masih punya program tersebut. 

Awalnya penulis tidak tahu kedua gadis itu dari Israel dan Palestina, sebab dari raut wajah keduanya tidak jauh berbeda, sama-sama berwajah Timur Tengah. Penulis semula mengira mereka dari satu negara karena selalu bersama-sama. Setelah berkenalan lebih mendalam, baru penulis tahu mereka dari Israel dan Palestina. 

Tentu saja penulis cukup terkejut ketika mengetahui hal tersebut. Karena menurut penulis waktu itu tidak mungkin orang Israel dan Palestina bersahabat, penulis masih dipengaruhi stereotip tentang pertikaian abadi kedua negara ini. Ketika penulis kemukakan hal itu kepada mereka, keduanya tertawa. Tentu penulis menjadi tambah heran dan penasaran.

Keduanya lalu bercerita bahwa untuk mereka persahabatan yang mereka tunjukkan itu sudah biasa bahkan keduanya justru heran dengan pemikiran apriori saya. "Yang bertikai itu adalah orang-orang politik di negara kami, kami rakyat biasa seringkali tidak setuju dengan pandangan politik mereka," kata teman yang dari Israel. "Saya bahkan selalu ingat cerita dari ibu saya: nenek saya selalu berdoa supaya pertikaian kedua negara ini segera berakhir, karena nenek saya tidak mau anak perempuannya harus menjalankan wajib militer akibat pertikaian tersebut. Namun sayangnya sampai saat ini rupanya doa itu belum terkabulkan karena sayapun masih harus menjalankan wajib militer. Ibu saya sangat cemas karena anak perempuannya harus juga berada di garis depan....".

Cerita teman dari Israel tadi dibenarkan oleh rekan Palestinanya. Dia juga bercerita bahwa pertikaian ke dua negara itu juga sering salah dimengerti oleh orang luar sebagai pertikaian agama padahal itu adalah masalah politik. Dia sendiri adalah seorang Palestina yang beragama Katolik Ortodoks dan kebetulan lahir di Nazaret, kota kecil tempat diyakini sebagai lokasi kelahiran Yesus. Mayoritas masyarakat di kotanya beragama Katholik Orthodoks. "Kami orang Palestina juga tidak satu agama," lanjutnya. Sebagai masyarakat biasa, sering dia merasa pertikaian ini tidak pernah selesai karena campur tangan dari banyak pihak yang tidak mengerti persoalan sebenarnya yang terjadi.

Rekan yang dari Israel juga menjelaskan bahwa hendaknya dipisahkan antara Israel dan Yahudi. Israel adalah negara, sedangkan Yahudi adalah agama yang dianut. Jadi banyak penganut agama Yahudi yang tidak menjadi warganegara Israel. Karena menurutnya menyatukan keduanya juga menjadi masalah tersendiri karena penganut Yahudi selalu dikaitkan dengan pandangan politik negara Israel. Hal ini terbukti karena penulis kemudian juga bertemu dengan seorang rekan dari Maroko yang beragama Yahudi.

Mendapat penjelasan seperti itu penulis mendapat pencerahan baru. Sejak pertemuan itu penulis jadi menyadari, mereka tidak beda dengan kita di Indonesia. Kita juga sering tidak setuju dengan pandangan politik pemerintah dan bahkan mengkritik kebijakan para politikus di negara kita ini. Dan seperti kita, sebagai rakyat biasa merekapun tidak mau selalu dalam situasi konflik, kita ingin menikmati kehidupan yang damai.

Setiap kali terjadi pertikaian di sana, ingatan penulis selalu kembali pada kedua sahabat penulis tersebut. Pasti juga mereka sudah punya keluarga dan anak, dan penulis yakin, sebagai ibu mereka juga pasti berdoa seperti nenek dan ibu mereka agar terjadi perdamaian antara kedua negara tersebut dan tidak ada lagi korban di kedua belah pihak.

Sebenarnya doa dan keinginan dari masyarakat kedua negara seperti inilah yang patut kita dukung.

@Marius Gunawan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun