Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Ada Apa dengan Limbah Makanan?

7 Juni 2013   08:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:25 1424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_266018" align="aligncenter" width="581" caption="Limbah Makanan (dok. Menlh.go.id)"][/caption]

Bukan sulap bukan sihir,setiap tahun 1/3 jumlah pangan yang diproduksi di dunia (sekitar 1,3 milyar ton) terbuang dan menjadi limbah. Sungguh miris bukan? Data Kementerian Lingkungan Hidup lainnya menyebutkan:

“Negara-negara industri menyumbang limbah makanan sebesar 670 juta ton setiap tahunnya, yang jika dikonversikan ke dalam nilai uang setara dengan 680 miliar Dolar AS. Adapun  negara-negara berkembang menyumbang limbah makanan sekitar 630 juta ton setiap tahunnya, atau setara dengan 310 miliar Dolar AS.”

Sungguh sangat timpang akibat gaya hidup, negara-negara kaya membuang-buang makanan sementara 1 dari 7 orang di dunia harus rela tidur dalam keadaan lapar dan lebih dari 20.000 anak di bawah usia 5 tahun meninggal setiap hari karena kelaparan. Padahal kemampuan planet bumi sangatlah terbatas dalam menyediakan makanan bagi 7 milyar penduduknya.

Karena itu, peringatan Hari Lingkungan Sedunia 5 Juni 2013 mengangkat tema “Ubah Perilaku dan Pola Konsumsi untuk Selamatkan Lingkungan” yang divisualkan dengan logo daun hijau sebagai simbolisasi dari tujuan kelestarian alam, serta simbolisasi kontra-produktif berupa visual makanan yang ditumpahkan dari piring ke dalam bak sampah.

[caption id="attachment_266013" align="aligncenter" width="574" caption="logo Environment Day 2013 (dok. menlh.go.id)"]

13705438961081104318
13705438961081104318
[/caption]

Perilaku membuang limbah makanan sering terjadi bukan karena kesengajaan. Misalnya disuatu pesta, kita mengambil makanan satu piring penuh lauk pauk hanya karena nampak enak tanpa mempertimbangkan kemampuan perut . Setelah disantap, makanan tersebut tidak dihabiskan karena perut kekenyangan atau ternyata lauk pauk tersebut tidak sesuai selera.

Atau pada kasus lain, pada saat perut sedang kosong kita membeli makanan matang untuk dibawa pulang. Sesampainya di rumah ternyata jumlah makanan ternyata terlalu banyak untuk kapasitas sekeluarga dan berakhir di tempat sampah.

Atau mumpung sedang jalan-jalan ke Lembang, misalnya. Seorang ibu berbelanja banyak sayur dan tahu Lembang. Harganya mungkin murah dan rasanya pasti enak karena langsung membeli dari sumbernya, tetapi karena terlalu banyak akhirnya bahan baku masakan tersebut menjadi penghuni tempat sampah.

Padahal jumlah sisa makanan yang dijadikan kompos hanya sekitar 2,2 persen, sisanya kita buang dalam kantung plastik (kresek). Berakhir di tempat pembuangan sampah akhir (TPA) dan menimbulkan gas methan yang salah satunya pernah menyebabkan longsornya TPA Leuwigajah dan menyebabkan ratusan nyawa melayang pada tanggal 21 Februari 2005.

Tidak hanya itu, dalam setiap makanan terkandung jejak ekologis yang cukup panjang. Misalnya sepotong hamburger menghabiskan air tawar, unsur hara tanah dan sumber daya lainnya karena untuk memenuhi kebutuhan pangan maka:

  • 25% lahan tanah di bumi dipergunakan dalam produksi pangan
  • Produksi pangan mengonsumsi hingga 70% dari total air tawar di bumi air
  • Alih fungsi hutan menjadi areal pertanian merupakan penyumbang 80% kerusakan hutan.

Produksi pangan juga menjadi penyumbang 30% dari total  emisi gas rumah kaca sebagai konsekuensi kegiatan pertanian, pengolahan dan pengiriman/pendistribusian hasil pertanian.

Perilaku membuang pangan dan limbah makanan memang jarang dijadikan topik pembahasan, padahal dari data Kementerian Lingkungan Hidup terungkap bahwa:

  • Indeks Perilaku Peduli Lingkungan (IPPL) sebesar 0,57 dari angka mutlak 1.
  • 49,3% pemenuhuhan bahan makanan masih berasal dari import.
  • Konsumsi masyarakat akan produk lokal hanya 36,4 %.

Sebetulnya ini adalah pekerjaan rumah bersama untuk tidak membeli/mengonsumsi pangan secara berlebihan. Tidak hanya karena penduduk negara-negara miskin rawan pangan tetapi juga sumber daya alam kita terbatas. Penggunaan pestisida dan pupuk kimia mengakibatkan kerusakan tanah bertambah parah. Dilain pihak pertambahan penduduk tak terbendung, dan alih fungsi lahan tak terhindarkan.

Ada banyak langkah untuk peduli agar ketersediaan pangan keberlanjutan hingga generasi penerus, diantaranya:

  • Membeli/mengonsumsi pangan sesuai kebutuhan.
  • Mengurangi konsumsi produk impor dan menggantinya dengan produk lokal.
  • Memulai urban farming, karena memiliki banyak manfaat.
  • Memulai mengompos limbah organik, alih-alih membuangnya dalam kantung plastik.

Budaya timur mengajarkan agar kita arif mengonsumsi makanan. Dilain pihak perubahan global membawa dampak terhadap tuntutan kecepatan waktu dan berakhir pada gaya hidup yang menafikan esensi makanan. Tidak ada yang salah selama kita masih memiliki empati untuk tidak membuang-buang makanan. Bukankah mengonsumsi pangan sesuai porsi berarti juga berhemat? Selain itu jika kita mau mengubah perilaku dan pola konsumsi maka kita akan menyelamatkan lingkungan, untuk saat ini dan berlanjut hingga berabad-abad kemudian.

**Maria G. Soemitro**

Sumber data

Greenersmagz.com

http://www.menlh.go.id/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun