Mohon tunggu...
Melda Imanuela
Melda Imanuela Mohon Tunggu... Penulis - Founder Kaukus Perempuan Merdeka (KPM)

Trainer, Education, Gender and Financial Advisor

Selanjutnya

Tutup

Politik

Respon Tindak Lanjut Laporan UPR Indonesia di Jenewa

13 September 2017   17:37 Diperbarui: 13 September 2017   17:45 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Respon Tindak Lanjut Laporan UPR Indonesia di Jenewa

Hasil UPR 2017 di Jenewa ada 225 rekomendasi dari semua negara PBB yaitu:

  • Jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan menyatakan pendapat (3 rekomendasi)
  • Hak anak, perempuan, peyandang disabilitas, kelompok lanjut usia dan kelompok rentan lainnya (71 rekomendasi)
  • Perlindungan Pekerja Migran (3 rekomendasi)
  • Keadilan dan penegakkan hukum (4 rekomendasi)
  • Perhatian terhadap Papua (4 rekomendasi) 
  • Human Rights defenders (4 rekomendasi)
  • Kerja sama dengan mekanisme HAM PBB (5 rekomendasi) 
  • Penghapusan hukuman mati (10 rekomendasi)
  • Revisi KUHP (11 rekomendasi)
  • Perdagangan orang/Trafficking in persons (8 rekomendasi)
  • Ratifikasi instrumen HAM PBB (32 rekomendasi)
  • Jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan beragama (21 rekomendasi)
  • Penguatan institusi HAM, pendidikan dan pelatihan HAM, RAN HAM dan kemitraan (17 rekomendasi)
  • Pemenuhan hak atas pendidikan dan hak atas kesehatan. Kemiskinan dan hak-hak ekonomi dan sosial (17 rekomendasi)
  • Perhatian terhadap kelompok LGBT (15 rekomendasi)

Ada 150 catatan untuk Indonesia. Sisa 75 yang masih dipertimbangkan termasuk diantaranya 2 isu sensistif yaitu: (1) LGBT  dan (2) Penghapusan Hukuman Mati.

Selama Periode Mei-Agustus 2017, serangkaian sosialisasi dan konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan di tanah air telah dilaksanakan terkait diseminasi hasil dan tindak lanjut pasca dialog UPR dan Rencana untuk menyelaraskannnya dalam RANHAM. 

 Hari selasa 12 September 2017 di Ruangan Garuda I, Kementrian Luar Negeri Pemerintah Indonesia mengadakan Morning Coffe Konsultasi Multipihak Tindak Lanjut Hasil UPR Indonesia dengan mengundang perwakilan Lembaga Negara  yaitu Komisi Nasional HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Omdusman RI, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan Komisi Nasional Lanjut Usia, Kementrian terkait dengan perwakilannya Asdep Pemajuan dan Perlindungan HAM (Kemenkopolhukam).

Direktur Instrumen HAM (Kemen Hukum dan HAM), Direktur Kerjasama HAM (Kemen Hukum dan HAM), Direktur Pamong Praja dan Perlindungan Masyarakat (Kemendagri), Direktur Hukum dan Regulasi (Bappenas), dan Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas (Kemensos)  sedangkan masyarakat sipil yang hadir adalah Human Rights Working Group (HRWG), Kontras, Setara Institute, Imparsial, Jaringan Buruh Migran, Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), Koalisi Perempuan Indonesia, Perkumpulan Keluarga Bencana Indonesia (PKBI), dan Arus Pelangi. 

Dari pertemuan tersebut Pemerintah Indonesia mensosialisasikan hasil UPR Indonesia di Jenewa, Swiss dan melakukan dialog dengan masyarakat sipil terkait masukkannya. Terkait  penyandang disabilitas pemerintah akan membentuk Komite Nasional Peyandang Disabilitas.

KHUP yang akan direvisi salah satunya terkait Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam menaikkan usia batas perkawinan yang awalnya 16 tahun menjadi 18 tahun. Sunat Perempuan (Female genital mutilation/FGM)adanya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 6 Tahun 2014 komitmen pemerintah mengentaskan praktek tersebut. 

Perlindungan buruh migran, meskipun telah meratifikasi CMW, Indonesia saat ini belum mampu mengintegrasikan Konvensi tersebut ke dalam hukum nasional, di antaranya melalui Revisi UU No. 39 tahun 2004 tentang PPTKILN, serta menyelesaikan carut-marutnya tata kelola migrasi buruh migran hingga sekarang. Rezim hukum migrasi di Indonesia masih menempatkan buruh migran sebagai komoditas, belum sepenuhnya berperspektif perlindungan.

Terkait  tentang Perlindungan hak beragamadan berkeyakinan  sangat disayangkan bahwa interfaith program yang dijalankan oleh Pemerintah belum mampu menyasar akar permasalahan intoleransi dan radikalisme di akar rumpun. Lebih dari itu, pelanggaran terhadap kelompok minoritas agama atau keyakinan masih sering terjadi, bahkan tanpa upaya pemulihan yang layak dari Pemerintah, sebagaimana terjadi pada Gafatar, Ahmadiyah dan Syiah saat ini, termasuk pula belum maksimalnya pelibatan kelompok-kelompok tersebut dalam kegiatan-kegiatan atau kebijakan Pemerintah. 

Komisi III DPR RI tengah menggodok rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Umat Beragama. RUU tersebut sudah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional 2015-2019. RUU diharapkan segera disyahkan untuk menjamin kaum minoritas dan stigma negatif yang dilekatkan pada mereka dan hilangnya hak-hak dasar sebagai warga negara misalnya memiliki KTP. akibat dari kebijakan pengakuan hanya enam agama, banyak diskriminasi bahkan persekusi yang dialami oleh umat lain.

Komisi Nasional HAM mengutarakan masukkannya kepada Pemerintah Indonesia yaknipentingnya Perhatian Pemerintah terkait Revisi UU Peradilan Militer memang masuk prolegnas tetapi belum masuk prioritas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun