Berkunjung ke Gunung Padang Ciwidey Bandung
Di Jawa Barat, nama Gunung Padang paling tidak ada tiga. Satu di Cikoneng Ciamis, satu di Cianjur, situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara, dan terakhir di Ciwidey, persisnya di desa Rawabogo. Istilah padang sendiri dalam bahasa Indonesia berarti lapangan luas, sedang dalam bahasa Sunda atau Sansakerta berarti terang benderang. Gunung Padang Ciwidey berada pada ketinggian 1.224 dpl (di atas permukaan laut), merupakan bagian dari rangkaian pegunungan Bandung Selatan yang terbentuk pada zaman Miosen. Saya ke sana ikut kang T. Bachtiar, Hawe Setiawan dalam rangka menemani kang Djunatan dosen Filsafat Unpar yang sedang mengumpulkan bahan untuk disertasinya di Universitas Erasmus Rotterdam Belanda.
Dari segi administrasi, Gunung Padang masuk wilayah Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Gunung Padang yang nama lainnya adalah Pasir Pamipiran dijaga oleh kuncen bernama Abah Karmo (73)yang akan diteruskan oleh anak pertamanya, Bapak Undang (53). Keduanya tinggal di Kampung Ciparigi desa Rawabogo. Dari Rawabogo Gunung Padang dapat ditempuh dengan jalan kaki atau dengan menggunakan ojeg khusus. Pada musim hujan, ban sepeda motor dibelit rantai agar tidak mudah tergelincir pada jalan tanah yang basah dan licin.


Bagian unik dari Gunung Padang ini adalah komplek batu dalam ukuran raksasa pada bagian puncak.Gunung Padang ini muncul ke permukaan sebagai hasil erupsi dalam atau inner-eruption dari gunung berapi pada masa itu. Batu-batu besar di puncak gunung itu berasal dari magma yang membeku akibat perubahan cuaca dalam jangka panjang. Adanya bekas gerakan vertikal sebagai proses erupsi dari batu-batu ini ditunjukkan dengan adanya garis-garis horisontal pada beberapa batu yang lebih kecil yang menandakan bekas gesekan dengan batu lain.
Entah sejak kapan, komposisi bebatuan raksasa itu kemudian oleh masyarakat sekitar jaman dahulu kemudian dihubungkan dengan masalah spiritual. Batu-batu raksasa itu dibagi ke dalam 17 tingkat yang menyimbolkan siklus atau proses hidup manusia. Batu-batu itu dibagi ke dalam tiga kelompok besar siklus yaitu tahap A, kelahiran dan masa anak-anak; tahap B, masa dewasa; dan tahap C, masa kebijaksanaan.
Pada komplek tahap A di sebelah kanan, terdapat batu-batu yang disimbolkan sebagai Cikahirupan, batu yang memiliki bentuk cekung seperti wadah sehingga terdapat air, batu lawang saketeng, batu menyerupai gerbang. Batu gerbang ini kita masuki ketika naik ke Gunung Padang. Batu palawangan ibu, yang menggambarkan organ vital ibu tempat bayi lahir, batu paibuan, batu yang menyimbolkan seorang ibu merawat bayinya, batu panyipuhan, batu yang dapat digerus sehingga keluar semacam bedak, batu poponcoran, yaitu batu yang menyimbolkan proses belajar. Komposisi beberapa batu besar sehingga memiliki lorong di bagian dalamnya. Batu panyipuhan dan batu poponcoran dianggap merupakan batu menyimbolkan tahap pendidikan anak.


Komplek batu tahap B disebut masa dewasa, terdiri dari rangkaian batu-batu raksasa yang disebut batu saadeg, batu gedong peteng, batu karaton, dan batu kutarungu. Batu saadeg adalah batu yang berdiri tegak sedang batu karaton terletak pada sisi tebing yang memiliki ceruk, seperti singgasana, batu kaca mempunyai permukaan yang bersifat cermin dan batu kutarungu memiliki bunyi unik apabila dipukul. Komplek batu tahap C yang menyimbolkan Masa Kebijaksanaan terdiri dari masjid agung, batu bumi agung, batu korsi gading, batu pakuwon Prabu Siliwangi, batu lawang tujuh, batu padaringan/leuit salawe jajar dan puncak manik. Keseluruhannya terdiri dari 17 batu.
Batu pakuwon Prabu Siliwangi berupa batu kecil yang diatasnya terdapat lekukan sebesar jempol. Di puncak gunung terdapat tiga batu yaitu masjid agung. Dari batu ini pemandangan ke berbagai arah sangat luar biasa. Di arah barat tampak waduk Saguling meliuk-liuk.(MJ)


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI