Mohon tunggu...
Mamang M Haerudin
Mamang M Haerudin Mohon Tunggu... lainnya -

Guru Ngaji

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gus Mus

28 November 2012   16:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:31 3274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

GUS MUS

Dari wajahnya saja, memancar kerjernihan. Enak dipandang apalagi didekati.Nasihatnya menyejukkan, menuntun dan tidak menggurui. “Di usia sepuhnya, Gus Mus makin ganteng wajahnya dan makin bening cahaya yang memancar dari wajah itu. Bahkan kulit beliau yang aslinya coklat, kini menjadi cenderung kuning-putih. Itu bukan wajah Gus Mus yang kita kenal dalam kebudayaan di bumi. Itu langit”, begitu kata Cak Nun—Emha Ainun Nadjib. Ya, beliaulah Gus Mus alias KH. A. Mustofa Bisri. Kiai bersahaja dari Rembang, Jawa Tengah. Saya sendiri, merasakan senang tak terkira ketika pernah berhasil mencium tangan Gus Mus. Karena saya besar dalam tradisi Pesantren, saya menganggapnya sebagai salah satu cara untuk “ngalap berkah”.

Dalam salah satu bukunya Gus Mus yang berjudul “Membuka Pintu Langit” (2007),saya seperti menemukan mata air kehidupan yang jernih.Saya merasakan Gus Mus adalah sosok Kiai bersahaja, bukan hanya karena ketokohan beliau, tetapi juga karena dalam kehidupan Gus Mus penuh dengan kesederhanaan, yang tidak ambisius dengan hal-hal yang berbau ‘dunia’, terutama kaitannya dengan hal yang berbau politik. Kiai yang kerap dijuluki sebagai budayawan-sastrawan ini patut diacungi jempol. Betapa tidak, Gus Mus adalah Kiai yang bukan tipe orang yang hanya disibukkan dengan aktivitas (ibadah) seremonial belaka, melainkan Gus Mus tampil sebagai Kiai pengayom umat yang pandai bersosialisasi dan produktif; pemberi teladan. Hal ini paling tidak, dibuktikan dengan sederet percik pemikiran dan kreativitasnya—dalam menjalankan dakwah Islam kultural—begitu kreatif, unik, dan beragam. Langka rasanya menemukan Kiai model Gus Mus ini.

Cendekiawan Muslim yang sudah tidak muda lagi ini, saya yakin tidak asing bagi masyarakat Indonesia, apalagi Nahdliyin. Kendati demikian, ghirahnya tetap muda. Pantaslah beliau adalah inspirasi kaum muda. Nasihatnya menggelorakan gejolak-gejolak kepemudaan. Spirit mudanya begitu melekat di jiwa Gus Mus, sekaligus membuncahkan magma spirit yang tinggi dalam kepribadian Gus Mus.

Itu tidak lain karena tugasnya sebagai pengayom umat. Salah satu tugas mulia beliau adalah mengabdikan hidupnya dengan mengasuh dan mendidik para santri yang nyantri di Pesantren Raudlatut Thalibin peninggalan ayahnya, al-Maghfurlah KH. Bisri Mustofa. Hal ini menandakan bahwa hidupnya selalu didedikasikan untuk kemashlahatan regenerasi umat dan bangsa.

Pada sisi lain, Kiai lulusan Al-Qism al’alie li al-dirasah al-islamiyah wa al’arabiyah, Al-Azhar, Cairo (1964-1970) ini telah banyak menghasilkan karya, mulai dari esai, puisi, cerpen, lukisan, dan karya-karya keislaman lainnya. Dan ini saya coba copy-kan satu penggalan puisi Gus Mus yang indah dan menyengat itu.

KAU INI BAGAIMANA?

Kau suruh aku takwa keagamaanmu membuatku sakit jiwa

Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

Kau ini bagaimana?

Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah

Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

Aku harus bagaimana?

Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah

Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

Kau ini bagaimana?

Atau …

Aku harus bagaimana?

Kebersahajaan, kesederhanaan, dan kesantunan beliau yang lain semakin terasa, ketika misalnya Gus Mus mengatakan:

“Apabila kita senang diperlakukan dengan baik, kita pun harus senang bila saudara kita diperlakukan dengan baik. Apabila kita senang jika tidak diganggu, kita pun harus senang bila saudara kita tidak diganggu. Demikian seterusnya. Bukanlah mukmin yang baik orang yang senang dihormati tapi tidak mau menghormati saudaranya dan tidak senang bila saudaranya dihormati. Bila pengertiannya dibalik. Bukanlah mukmin yang baik orang yang tidak suka dihina, tetapi suka menghina saudaranya dan suka bila saudaranya dihina”.

Pandangan sarat akan makna di atas seharusnya dapat memberikan teladan bagibangsa dan sikap keberagamaan kita yang dewasa ini tampak carut-marut. Di tengah kondisi bangsa yang rentan dengan kekerasan, saling menyalahkan, saling membunuh, banyak manipulasi, dan lain sejenisnya. Maka, untaian kata mutiara Gus Mus ini semestinya dapat memberikan cerminan tentang bagaimana memosisikan diri sebagai kaum beradab dan beriman. Sejalan dengan dawuh Nabi saw.,: “Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibba liakhiikhi ma yuhibbu linafsishi”. Artinya, Belum benar-benar beriman salah seorang di antara kamu sampai dia senang atau menyukai untuk saudaranya apa yang dia senang atau menyukai untuk dirinya sendiri.

Padahal nenek moyang kita sendiri sudah memberikan teladan dan mewariskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta akan kedamaian, saling mengasihi, dan punya semboyan bhinneka tunggal ika. Kita lihat di luar sana, orang hanya berbeda agama saling bermusuhan, hanya berbeda aliran dikatakan menyesatkan, berbeda suku saling baku hantam, hanya masalah sepele menyebabkan kerusuhan yang besar. Maka bukan satu hal yang mustahil jika para pendahulu kita menangis, menyaksikan anak cucunya yang tidak akur, saling bermusuhan, dan berlaku kekerasan. Kalau saja kita bisa mendudukkan sekaligus mempraktekakan dawuh Nabi dan pesan Gus Mus tersebut, rasanya betapa indah kehidupan ini.

Karena itu bercermin kepada akhlak mulia Gus Mus adalah seyogia. Sebab beliau telah banyak mengajarkan kepada kita bahwa, untuk bagaimana menjalani kehidupan tidak hanya untuk mementingkan diri sendiri, hidup yang tidak hanya berkutat pada pemenuhan nafsu materialistis belaka, hidup yang sama sekali tidakmemedulikan keberadaan orang lain di sekitarnya. Sadarkah kita jika dari tahun ke tahun banyak orang Indonesia naik haji, sementara banyak pula orang yang melakukan tindak korupsi? Konstruksi gedung-gedung pencakar langit, masjid-masjid megah, rumah-rumah mewah, sementara di samping kita masih banyak rumah bilik yang reyot, sekolahan yang ambruk? Maraknya pengajian-pengajian agama di majelis-majelis taklim, ceramah agama di televisi, sementara kekerasan dan tindak aniaya juga semakin marak? Seperti itukah yang disebut kaum beragama, orang-orang yang getol membuat orang lain sengsara dan menderita di atas kesenangan hidup kita?.

Rasa-rasanya tidak begitu kalau kita bercermin kepada Gus Mus. Gus Mus selalu mengajarkan agar dalam berkehidupan harus selalu menengok ke segala arah, yang tentunya selalu memerhatikan kelangsungan hidup orang lain. Kebersahajaan dan kesederhanaan inilah yang patut kita teladani dari sosok Gus Mus. Karena dibalik kebersahajaan dan kesederhanaan beliau tersimpan mutiara hikmah yang dapat memberikan pancaran cahaya bagi siapa saja yang di dalam hatinya penuh kegelapan. Pencerahan tersebut tentunya bukan hanya bermanfaat bagi diri, tetapi juga bagi orang lain.

Walhasil, teladan yang telah ditorehkan Gus Mus, semoga bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Menyikapi dan menyelami agama (Islam) yang merahmati seluruh alam, bersikap dan bertindak penuh tanggung jawab, bukan hanya untuknya pribadi tetapi juga bagi kemaslahatan orang lain di sekitarnya. Kebersahajaan dan kesederhanaan yang ada pada diri Gus Mus semakin jelas terlihat ketika beliau dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa oleh UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta pada tahun 2009 silam. Dan segala keterkesanan handai taulan kepada Gus Mus sebagai teladan bangsa, direkam dalam buku Gus Mus: Satu Rumah Seribu Pintu (2009). Rabbanaa atinaa fi al-Dunya hasanah wa fi al-Akhirat al-Hasanah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun