Mohon tunggu...
Madelina Ariani
Madelina Ariani Mohon Tunggu... -

Seorang perempuan kelahiran Banjarmasin 21 tahun silam dan tertarik pada kegiatan sosial, kesehatan, dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Epidelove

4 April 2015   00:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:34 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia terus memaparku dengan pesonanya dan aku sedang rentan dalam hubunganku yang tidak beruntung. Hubungan yang pas untuk menciptakan sebuah rasa cinta. Jika dalam sebuah perjalanan penyakit, kini pasti aku sudah positif dikatakan sakit. Namun, kini aku sedang terkena penyakit tidak bisa lepas darinya. Aku terus terpapar dan aku sedang rentan.

Dia terus memaparku mesti aku sudah berusaha menjauh darinya. Dia terus memapar ku mesti sebenarnya dia tidak boleh melakukannya lagi. Baik kepada ku atau kepada siapa pun kecuali kepada kekasihnya. Sebenarnya bisa juga dia tidak sedang memaparku dengan sengaja sebab keterpaparan adalah suatu keadaan ketika aku berada pada pengaruh atau berinteraksi dengan unsur penyebab. Apakah ia benar-benar sedang mamaparku atau akau yang berada diingkungan untuk dipapar? Entahlah, mencari siapa yang memulai di antara hubunganku dengan nya sama saja dengan mencari awal dari lingkaran setan sebuah penyakit. Pasti membingungkan antara memilih kemiskinan atau pengetahan yang rendah.

Katakan saja bahwa ia yang memaparku, tapi jika aku dalam keadaan kebal tentu hubungan abu-abu kami tidak akan terjadi. Hubungan kami yang terjadi di antara hubungannya dengan kekasihnya yang putih dan selepas hubungan ku yang hitam dengan kekasihku. Hubungan abu-abu yang terjadi lebih dari dua putaran bumi terhadap matahari.

Keterpaparan dan kerentanan ini harus segera diakhiri. Jika tidak tentu kami akan menganggap hubungan abu-abu ini sehat. Seperti penyakit HIV, penderita merasa sehat, penderita nampak sehat, tapi sebenarnya penyakit ada dalam dirinya, dalam hubungan ini. Jika bukan dia yang harus mengakhirinya maka aku yang harus mengakhirinya.

“Kali ini kau benar-benar tidak mau ikut dengan kami, Nesy?” kakakku berujar kepadaku.

“Tidak” Sahut ku dari kamar. “Kalian berangkatlah!”

“Kenapa dia? Biar aku yang membujuknya?” Suara laki-laki yang memapar diriku itu terdengar oleh ku. Benar-benar dia berusaha kuat untuk memaparku. Langkahnya semakin mendekat ke kamarku.

“Apa pun yang kau katakan aku tidak akan ikut” Ucapku membelakanginya. “Kau pikir aku akan tahan melihat kau memperkenalkannya sebagai calon istrimu pada keluargamu. Mulai sekarang aku menjauh dari hubungan kalian. Ku harap kau pun. Kalian pergi saja! Aku pasti baik. Tidak usah mengkhawatirkanku.”

Sebuah hubungan keterpaparan dan kerentanan hanya akan membaik jika salah satunya menghilang atau diperbaiki kadarnya. Jika dia tidak mau berhenti memaparku maka aku yang akan mengebalkan diriku. Aku hanya rentan selepas hubunganku yang tidak beruntung dengan kekasihku, kemudian ia datang memaparku dengan perhatian dan kasih sayang. Aku akan menjauhi lingkungan yang mungkin memaparku, menjauhi dirinya yang juga memaparku, dan menguatkan diriku sendiri. Aku ingin segitiga ini kembali menjadi segitiga sama sisi sehingga tidak ada sudut yang tersakiti.

“Kau, kenapa kau tidak menjawab?” Aku bertanya dan membalikkan badan. Syok, “Kakak? Kenapa kau yang ada di sini? A…aku… ka…”

…………..

Hanya tatapan tajam dari kakak yang sempat ku ingat saat itu sebelum ia jatuh dan tidak sadarkan diri hingga saat ini. Aku terpaku seperti tiang yang tertanam di tanah yang dalam, tidak bergerak untuk menolongnya. Seharusnya ia tidak pernah mengetahui sesuatu yang abu-abu antara aku dan laki-laki yang sangat ia cintai. Aku ingin menenggelamkan diriku sendiri.

Setiap pagi matahari bangun dan masuk menerobos ke dalam kamar kakak dari celah jendelanya. Namun, kakak tidak pernah bangun dan bermain dengan matahari lagi. Kakak, apa kau marah padaku. Maafkan aku.

Tidak ada yang tahu penyebab kakak seperti ini selain aku dan dirinya, dan mungkin juga dinding kamar pada saat itu. Bahkan laki-laki pemapar itu pun tidak mengetahuinya. Ibu terus saja menangis di sebelah kakak sambil mengelap apa saja yang bisa di lap dari tubuh kakak yang semakin hari semakin menguning.

“Sudah saya sarankan untuk menjaga emosinya agar kejadian seperti ini tidak pernah terjadi. Sekarang yang bisa kita lakukan adalah mempersiapkan diri jika suatu saat dia benar-benar tidak mampu bangun lagi dari sadarnya.” Dokter yang khusus menangani penyakit kakak berujar. Kalimat terakhir dari dokter ini tidak membuat ibu terisak, hanya saja air matanya semakin deras keluar. Sedangkan laki-laki itu membalik ke arah dinding, mungkin ia menangisjuga.

…..

Tidak ada lagi sinar matahari yang menerobos masuk ke dalam kamar kakak sebab jendela tidak pernah lagi di buka dan korden pun tidak pernah lagi bergeser. Lagi pula kakak sudah tidak ada lagi di kamar ini. Kakak sudah pindah ke tanah pemakaman yang sepinya begitu dalam. Maafkan aku kak…

Hingga akhir, ternyata aku tidak pernah mengebalkan diriku. Bahkan ketika laki-laki itu tidak lagi memaparku, aku masih saja rentan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun