Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fenomena Hidup Melajang

21 November 2018   20:55 Diperbarui: 22 November 2018   05:27 2067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu fenomena unik yang terjadi di sekitar kita akhir-akhir ini adalah fenomena hidup melajang. Melajang di sini bukan berarti telat menikah atau belum menemukan jodoh, memang ia telah memutuskan untuk tidak menikah sampai tua (mati).

Hal ini terjadi di mana-mana, baik di kota maupun di desa, bagi kaum pria maupun wanita. Kita melihat mereka hidup sendiri sampai tua. Tiada yang merawat ketika sakit, tiada yang melayani, bahkan ketika meninggal tidak ada yang mewarisi harta-bendanya.

Mengapa mereka hidup melajang?
Ada beberapa kemungkinan yang melandasinya. Ini baru sekedar perkiraan, bukan dari hasil penelitian apalagi kesimpulan. Saya pikir, untuk mengetahui secara pasti tentu tidaklah mudah. Sebab, ketika mereka ditanya biasanya tidak bersedia mengatakan yang sebenarnya (bersikap tertutup).

Terlebih tradisi di pedesaan yang masih menjunjung tinggi adat, etika, maupun tata krama. Bertanya tentang hal yang bersifat sangat pribadi itu tentu dianggap "saru" alias tabu dan tidak etis. Apalagi jika pertanyaan itu dapat menyakitkan hati mereka, tentu kita urung untuk bertanya.

Satu-satunya cara adalah dengan sindiran atau humor. Walau terkadang cara ini juga sering gagalnya. Sebab, mereka tetap enggan memberikan jawaban, selain hanya tersenyum, meringis, atau tetap diam. Sekalipun mereka berkenan menjawab, jawabannya tetap saja tidak memuaskan dan tidak sesuai harapan. Seperti, "entahlah", "belum ada niat", "belum ketemu jodoh yang cocok", "belum mapan (secara ekonomi)", dan seterusnya.

Beberapa (Kemungkinan) Alasan
Pertama, patah hati. Ia pernah menjalin cinta dengan seseorang dan kandas di tengah jalan. Padahal, ia sangat jatuh cinta pada orang tersebut. Hal ini membuatnya kecewa, patah hati.

Patah hati yang teramat sangat, berlebihan; sehingga ia menyimpulkan bahwa semua wanita (pria) itu sama saja. Tidak ada yang beres, ingkar janji, pengkhianat, pendusta, dll. Ia menjadi benci, marah, sedih, kecewa, putus asa. Membuatnya bersumpah untuk tidak lagi menjalin hubungan dengan lawan jenis.

Patah hati juga bisa disebabkan oleh cinta bertepuk sebelah tangan. Kasih tak sampai. Dicuekin. Ditolak. Padahal ia benar-benar tertarik kepadanya, tergila-gila kepadanya.

Segala daya dan upaya telah dikerahkan, tapi hasilnya tetap nihil. Hingga ia memutuskan, kalau tidak sama dia, lebih baik aku tidak menikah selamanya. Duh, aduuuh jangan gitu dong. Emangnya di dunia ini wanita (pria) hanya dia doang. Please dech!

Lagipula, kalau yang patah hati itu seorang perempuan, masih bisa dimaklumi. Tapi kalau terjadi pada laki-laki, oh my God, jangan lah yawww. Nggak seharusnya jiwa seorang lelaki itu mudah sekali patah hati.

Putus cinta, ditolak lamarannya, gagal dalam menjalin hubungan, ya cari yang lain dong. Perempuan masih banyak sekali, tinggal pilih. Berpikir positif aja, barangkali dia memang bukan yang terbaik buatku, begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun