Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Air Terjun "Sapa", Timbukar, Minahasa

26 April 2011   07:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:23 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_103382" align="aligncenter" width="518" caption="Air Terjun Timbukar"][/caption] Selepas makan siang, saya bersama tiga teman saya bersiap-siap berangkat menuju ke Timbukar. Saya segera menyiapkan mobil pick-up yang akan kami pakai menuju ke desa Timbukar. Oh ya, dua teman saya yang usianya masih muda adalah anggota SAR Tomohon. Mereka saya ajak karena mereka juga ingin menunjukkan kepada saya tempat start dan finish arum jeram. Semua sudah siap lalu kami bergerak menuju ke lokasi. Saya sendiri yang mengemudikan mobil itu. Dua anggota SAR yang saya ajak tadi, lebih suka duduk di bak belakang. Kami bersyukur cuaca saat itu sungguh cerah. Biasanya sesudah pukul12, cuaca di sekitar Tomohon diguyur hujan. Dalam perjalanan kami sempat berhenti sejenak karena ada pemeriksaan kendaraan oleh Polisi. Teman yang duduk di bak belakang mobil sedikit terperangah karena takut kena tilang. Melalui spion saya lihat mereka dengan tergesa-gesa memakai helm supaya mobil kami tidak kena tilang. Sesudah melewati pemeriksaan tadi, saya kontak dengan pak Alo, mantan hukum tua (Lurah) desa Timbukar yang saat ini mencalonkan lagi untuk menjadi Hukum Tua desanya. Saya kenal baik dengan Pak Alo. Karena itu kedatangan kami saya sampaikan kepada beliau. Rupanya, Pak Alo senang sekali mendengar kabar bahwa kami mau datang. Kami lalu janjian bertemu dengan Pak Alo di jembatan sebelum memasuki desa Timbukar. Dalam perjalanan menuju desa Timbukar dari Tomohon, kami melewati desa Sonder, desa Tincep baru masuk desa Timbukar. Waktu yang kami tempuh sekitar satu jam dari Tomohon. Tidak lama setelah desa Tincep kami tinggalkan, kami berhenti di pinggir jalan untuk sejenak menyaksikan air terjun di sebelah kanan kami. Ya, itulah air terjun Tincep dengan ketinggian kurang lebih 7 meter. Saya turun dari mobil sambil membawa kamera dan kemudian saya foto air terjun Tincep itu. Tampak dari pinggir jalan segerombolan anak muda bermain air terjun dengan sukacitanya. Setelah saya foto, lalu kami melanjutkan perjalanan kami. Tidak kurang dari 15 menit dari air terjun Tincep, kami berhenti lagi untuk melihat air terjun kedua. Air terjun kedua ini dinamakan air terjun Timbukar. Ketinggiannya kurang lebih 9 meter. Kami berhenti sebentar dan setelah mengambil foto kami melanjutkan perjalanan. Kami tiba di jembatan Sungai Nimanga, saya lihat Pak Alo sudah menunggu kami di jembatan itu. "Di bawah jembatan ini, tempat untuk start bagi mereka yang ingin bermain arum jeram" kata Pak Alo. "Di sini, ada 2 pengelola arum jeram. Di sebelah jembatan ini dan di sebelah sana" kata Pak Alo sambil tangannya menunjuk sebuah tempat yang tidak jauh dari jembatan itu. Kata Pak Alo, banyak turis-turis datang untuk ber"arum-jeram" di sini. Biasanya mereka datang pas musim liburan, atau hari Sabtu, Minggu. Paling asyik kalau habis hujan, karena debit airnya deras dan ketinggian airnya naik. Karena terbiasa di Tomohon dengan udara sejuk, ketika kami tiba di Timbukar dalam cuaca cerah seperti ini rasa di badan cukup menggerahkan hinga picah suar (berkeringat). "Ayo kita pergi ke Delta. Di sana ada air terjun yang bagus dan masih alami", kata Pak Alo dengan penuh semangat. [caption id="attachment_103383" align="aligncenter" width="518" caption="Melalui Sungai, untuk sampai Air Terjun"]

1303801291226624831
1303801291226624831
[/caption] Dari jembatan tadi menuju ke delta tidak jauh. Kurang lebih 15 menit dengan kondisi tanah yang tidak beraspal namun sudah diberi pengerasan batu. Mobil yang kami tumpangi tidak bisa mendekat ke delta. Kami kemudian turun dan berjalan kaki kurang lebih 15 menit. Semak belukar kami lewati. Jalan berbatu kami pijak. Lalu kami sampai di sungai. "Boleh lepas sepatu atau sandal di sini. Sebentar kita jalan lewat sungai yang berbatu-batu untuk sampai ke air terjun", demikian kata Pak Alo mengintruksikan kepada kami. Kami pun meninggalkan alas kaki di atas batu tanpa kuatir hilang diambil orang. Ketika berjalan melalui sungai saya sempat terpeleset karena batu yang saya injak ternyata licin. Namun, pengalaman ini justru mengasyikkan. Mengingatkan masa kecil saya yang suka main air di sungai. Dari sungai itu saya sudah bisa melihat air terjunnya yang tidak terlalu tinggi. Kata Pak Alo yang mengantar kami, kurang lebih tinggi air terjunya tiga meter. "Coba lihat air terjun itu dengan seksama. Airnya keluar dari gua. Kanan kirinya dinding-dinding tebih yang indah. Inilah keunikan air terjun Sapa dibandingkan dengan air terjun Tincep atau Timbukar." begitu Pak Alo menyakinkan kepada kami.

[caption id="attachment_103384" align="aligncenter" width="560" caption="Air Terjun Sapa"]

1303801396939215810
1303801396939215810
[/caption] Sesampainya di lokasi air terjun, saya langsung duduk membelakangi air terjun itu minta di foto. Kesempatan untuk narsis. Di lokasi itu saya melihat anak-anak muda sedang bermain-main air terjun dengan sukacitanya. Yang perempuan mengibas-ibaskan rambutnya dengan sengaja agar percikan air terjun membasahi rambutnya. Sedangkan yang lain saling membasahi satu sama lain dengan mencipratkan air ke wajah-wajah mereka. Sambil duduk di batu besar saya memandangi keunikan air terjun itu. Lingkungan alam yang masih asri dan perawan. Pepohonan yang masih rindang dan saya sempat melihat burung berekor panjang warna coklat terbang dari dahan ke dahan. Suara gemercik air menambah suasana alam yang indah. Kata Pak Alo, kalau dirinya nanti terpilih menjadi Hukum Tua, ia akan mengembangkan desa Timbukar menjadi desa wisata dengan mengajak investor untuk mengembangkan desa ini. Desa Timbukar sangat potensial untuk menjadi destinasi wisata. Desa ini punya air terjun, punya arum jeram, karakter alamnya bisa digunakan untuk flying fox. Bahkan, Timbukar sudah terkenal dengan pengrajin batu dindingnya. Begitulah visi Pak Alo ke depan. Semoga pemerintah ikut memperhatikan ini sedemikian rupa sehingga ke depan meningkatkan perekonomian kerakyatan berbasis wisata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun