Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Quo Vadis Kebijakan Pangan Berkelanjutan?

22 September 2018   14:55 Diperbarui: 28 September 2018   13:55 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : cnnindonesia.com

Masalah pangan telah menjadi isu global. Bahkan konflik sosial dibeberapa negara miskin seperti di Afrika bermula dari urusan perut yang tak memiliki akses terhadap kebercukupan pangan. Penduduk bumi hingga tahun 2030 diperkirakan mencapai 9 milyar jiwa, bisa dibayangkan berapa kebutuhan pangan untuk mengisi milyaran perut ini?

Fakta lain, perubahan iklim dan penurunan kualitas lingkungan global juga telah berimbas pada menurunnya produktivitas bagi sektor berbasis pangan. Belum lagi faktor keserakahan kronis dari manusia yang mereduksi lahan lahan produktif untuk meraup nilai ekonomi secara instan. Faktanya land conversion lajunya begitu cepat.

Dalam konteks nasional, gonjang ganjing masalah pangan seolah menjadi sarapan rutin setiap tahun. Dari mulai polemik importasi garam, beras dan barang kebutuhan pokok lainnya. Ironisnya, ini terjadi di sebuah negara yang berlabel negeri Agraris. Walau faktanya, entah masih pantas atau tidak? toh keliatannya dalam implementasinya arah kebijakan pembangunan lebih melirik percepatan sektor berbasis industri dibanding sektor berbasis pangan.

Baru baru ini, puncak polemik demikian memanas dan jadi headline di berbagai media nasional, mana kala disatu disisi Kementerian Perdagangan tetap keukeuh untuk melakukan importasi beras. Berdasarkan data valid, katanya kebutuhan beras sangat urgent. Dalihnya untuk kepentingan masyarakat.

Disisi lain Bulog justru mempertanyakan niatan Kemendag, karena menurut Bulog suplai beras sudah lebih dari cukup, bahkan pihaknya harus mengeluarkan cost tambahan untuk sewa gudang. Kepala Bulog bahkan menyindir keras, " yang keukeuh ingin lakukan impor sebagai pengkhianat bangsa". Bukan tanpa alasan, karena menurutnya Bulog juga merasa punya data valid.

Dilain pihak, Kementerian Pertanian sebagai Kementerian teknis juga berdalih karena menurutnya Indonesia telah swasembada beras (dikutip dari media online). Ujungnya rakyat dibuat bingung, kok dalam satu gerbong bisa terjadi polemik? Semua keukeuh dengan argumen dan data masing-masing? Pertanyaannya data mana yang benar? Kenapa basis data bisa tidak sama? Sungguh ironis padahal data adalah pijakan dalam membuat sebuah perencanaan kebijakan. Jika basis datanya saja berbeda, apakah mungkin intervensi kebijakan akan efektif? Rasanya tak masuk akal.

Fakta ini mengerucut pada hipotesa saya, bahwa basis data yang digunakan adalah kepentingan. Entah kepentingan siapa?

Pada berbagai forum, seminar dan diskusi, kita mungkin dibuat bosan dengan koar koar bahwa kita harus wujudkan kedaulatan pangan nasional.

Mungkin ketahanan pangan nasional bagi sebagian para elite dimaknai sebagai upaya bagaimana memenuhi kebutuhan pangan bagi masyarakat terlepas bagaimana caranya termasuk harus importasi sekalipun. Bagi orang awam seperti saya, dalam konteks negara yang katanya agraris seperti Indonesia, ketahanan pangan mestinya diletakan dalam kerangka kedaulatan pangan nasional. Berdaulat pangan artinya mampu secara mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan secara berkelanjutan.

Kedepan seluruh negara di belahan dunia akan menerima tekanan kuat atas tatangan global yang menuntut mereka mati matian dalam mensuplai kebercukupan pangan bagi rakyatnya. Bisa dibayangkan jika kita tak mampu mandiri dan terus bergantung pada import. Lantas dari mana kita akan menyelamatkan ratusan juta perut negeri ini?

Lantas apa khabar kebijakan pangan berkelanjutan itu? Sudah sejauh mana implementasi action plan-nya?

Dalam pandangan saya, betapa kebijakan pangan berkelanjutan itu faktanya masih jauh panggang dari api. Lantas apa indikasinya?

Pertama, sejauhmana spatial planning berpihak pada pemanfaatan ruang dan perlindungan terhadap sektor strategis berbasis pangan? Fakta yang terjadi diskresi para penguasa di daerah dalam perencanaan ruang begitu kuat, hingga mereduksi kepentingan sektor ini. Laju alih fungsi lahan sawah menjadi kegiatan ekonomi lainnya begitu cepat dan tak ada upaya perlindungan terhadap sektor ini.

Kedua, sejauhmana perlindungan dan penguatan terhadap petani? Faktanya, petani masih sulit menjangkau akses terhadap input produksi yang efisien, pembiayaan, input teknologi, pasar dan harga yang optimum. Petani harus berjibaku karena nilai tambah yang diraup jauh dari layak. Disparitas antara cost produksi vs nilai jual masih demikian lebar. 

Belum lagi bicara masalah daya saing atas gempuran produk impor dan lainnya. Data tren positif nilai tukar petani (NTP) yang dirilis BPS faktanya tidak bisa jadi rujukan bahwa petani kita sejahtera. Ini juga yang menyebabkan regenerasi profesi petani semakin melambat karena menganggap profesi petani tak prospektif lagi. Ditambah lagi cara pandang generasi milenial saat ini yang lebih terbuka dengan bisnis instan berbasis digital.

Ketiga, sejauhmana penerapan teknologi  dalam menjamin kestabilan produktivitas ditengah tantangan perubahan iklim dan  penurunan kualitas lingkungan? Faktanya, input teknologi belum secara masive menyentuh para petani. Kemajuan teknologi di bidang ini, harus diakui semakin dinamis, ditambah lagi sebenarnya Indonesia tak kekurangan ahli yang mumpuni. 

Pertanyaannya sudah sejauhmana pemerintah mampu menfasilitasi SDM ini untuk berkontrbusi besar dalam menjamin kedaulatan pangan nasional? Ironis memang, karena porsi anggaran riset dan perekayasaan dalam APBN masih sangat minim, sehingga konektivitas hasil hasil riset ke pelaku usaha selalu terputus.

Sebenarnya masih banyak indikator lain, namun tiga hal di atas bagi saya yang paling penting dan perlu menjadi fokus. Jika tidak, maka omong kosong dengan kebijakan pangan berkelanjutan itu.

Saat ini saya sendiri masih bingung, bagaimana arah pembangunan ini akan dibawa, menjadi negara industri atau agraris? Bagi sebagian orang menganggap oreontasi menjadi negeri agraris merupakan langkah mundur ditengah kemajuan teknologi pada tataran global saat ini. Tapi bagi saya, menjadi negeri agraris adalah jauh lebih penting karena alam telah menampakan tanda tandanya. Silahkan rasakan sendiri..

Ajang Pilpres mendatang semoga menjadi kontestasi dalam beradu gagasan yang konkrit bukan normatif. Saya berharap dalam debat nanti ada tema khusus yang mengupas terkait bagaiman strategi mewujudkan kedaulatan pangan nasional.

Ditulis dalam perjalanan Waingapu-Denpasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun