Masalah pangan telah menjadi isu global. Bahkan konflik sosial dibeberapa negara miskin seperti di Afrika bermula dari urusan perut yang tak memiliki akses terhadap kebercukupan pangan. Penduduk bumi hingga tahun 2030 diperkirakan mencapai 9 milyar jiwa, bisa dibayangkan berapa kebutuhan pangan untuk mengisi milyaran perut ini?
Fakta lain, perubahan iklim dan penurunan kualitas lingkungan global juga telah berimbas pada menurunnya produktivitas bagi sektor berbasis pangan. Belum lagi faktor keserakahan kronis dari manusia yang mereduksi lahan lahan produktif untuk meraup nilai ekonomi secara instan. Faktanya land conversion lajunya begitu cepat.
Dalam konteks nasional, gonjang ganjing masalah pangan seolah menjadi sarapan rutin setiap tahun. Dari mulai polemik importasi garam, beras dan barang kebutuhan pokok lainnya. Ironisnya, ini terjadi di sebuah negara yang berlabel negeri Agraris. Walau faktanya, entah masih pantas atau tidak? toh keliatannya dalam implementasinya arah kebijakan pembangunan lebih melirik percepatan sektor berbasis industri dibanding sektor berbasis pangan.
Baru baru ini, puncak polemik demikian memanas dan jadi headline di berbagai media nasional, mana kala disatu disisi Kementerian Perdagangan tetap keukeuh untuk melakukan importasi beras. Berdasarkan data valid, katanya kebutuhan beras sangat urgent. Dalihnya untuk kepentingan masyarakat.
Disisi lain Bulog justru mempertanyakan niatan Kemendag, karena menurut Bulog suplai beras sudah lebih dari cukup, bahkan pihaknya harus mengeluarkan cost tambahan untuk sewa gudang. Kepala Bulog bahkan menyindir keras, " yang keukeuh ingin lakukan impor sebagai pengkhianat bangsa". Bukan tanpa alasan, karena menurutnya Bulog juga merasa punya data valid.
Dilain pihak, Kementerian Pertanian sebagai Kementerian teknis juga berdalih karena menurutnya Indonesia telah swasembada beras (dikutip dari media online). Ujungnya rakyat dibuat bingung, kok dalam satu gerbong bisa terjadi polemik? Semua keukeuh dengan argumen dan data masing-masing? Pertanyaannya data mana yang benar? Kenapa basis data bisa tidak sama? Sungguh ironis padahal data adalah pijakan dalam membuat sebuah perencanaan kebijakan. Jika basis datanya saja berbeda, apakah mungkin intervensi kebijakan akan efektif? Rasanya tak masuk akal.
Fakta ini mengerucut pada hipotesa saya, bahwa basis data yang digunakan adalah kepentingan. Entah kepentingan siapa?
Pada berbagai forum, seminar dan diskusi, kita mungkin dibuat bosan dengan koar koar bahwa kita harus wujudkan kedaulatan pangan nasional.
Mungkin ketahanan pangan nasional bagi sebagian para elite dimaknai sebagai upaya bagaimana memenuhi kebutuhan pangan bagi masyarakat terlepas bagaimana caranya termasuk harus importasi sekalipun. Bagi orang awam seperti saya, dalam konteks negara yang katanya agraris seperti Indonesia, ketahanan pangan mestinya diletakan dalam kerangka kedaulatan pangan nasional. Berdaulat pangan artinya mampu secara mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan secara berkelanjutan.
Kedepan seluruh negara di belahan dunia akan menerima tekanan kuat atas tatangan global yang menuntut mereka mati matian dalam mensuplai kebercukupan pangan bagi rakyatnya. Bisa dibayangkan jika kita tak mampu mandiri dan terus bergantung pada import. Lantas dari mana kita akan menyelamatkan ratusan juta perut negeri ini?
Lantas apa khabar kebijakan pangan berkelanjutan itu? Sudah sejauh mana implementasi action plan-nya?