Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Paket Mungil Keperakan

19 Juni 2018   07:11 Diperbarui: 19 Juni 2018   08:58 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langkah kakinya terhenti. Sejenak berkutat dengan gawainya, pria tampan berjas grey itu kembali berjalan. Kini langkahnya lebih cepat. Di belokan, ia nyaris bertabrakan dengan serombongan ibu-ibu tambun yang tubuhnya dipenuhi gelang dan kalung emas mahal. Demi melihat siapa yang lewat, mata mereka melebar kagum. Tak lepas menatapi sosok tampan berpostur tinggi semampai yang baru saja melintas.

"Siapa tuh?"

"Ganteng banget. Boleh juga, jadiin calon mantu."

"Cocok kali ya, buat si Mika."

Namun, si pria yang jadi objek pembicaraan tak peduli. Ia terus berjalan ke area parkir. Cepat-cepat membuka pintu Yarrisnya, lalu melaju pergi.

Hari ketiga pasca hari raya, jalanan masih sepi. Rerimbunan pohon di kanan-kiri memanjakan indera penglihatan. Pohon-pohon plastik sudah dicabut. Tersaji lingkungan hijau, asri, tenang, dan kondusif. Biarlah, biarlah sebagian besar penghuni ibu kota mudik. Sementara waktu, ibu kota tak lagi disesaki karbon dioksida dan keegoisan manusia.


Chevrolet itu meluncur di atas flyover. Lancar, mulus, tanpa hambatan. Mau tak mau si pria oriental bermata sipit tersenyum kecil. Dia menikmati kebebasannya. Senangnya bebas menyetir di jalan bebas macet begini.

Turun dari flyover, si pria Chinese menaikkan kecepatan mobilnya. Menyelip sedan putih dan Kijang model lama. Ia berpacu dengan waktu, ingin tiba secepatnya di tempat tujuan. Berulang kali lelaki rupawan yang terlihat masih muda itu menghela nafas, melirik gelisah jam di ashboard.

"Mungkinkah aku terlambat?" gumamnya pada diri sendiri.

Tidak, rasanya tidak. Masih banyak waktu. Toh hari belum terlalu sore.

Demi mematikan perang batin di dadanya, si blogger dan pengusaha retail berparas tampan menyalakan radio mobil. Berharap lagu-lagu yang diputarkan dapat mengusir gundah.

Jangan kaupilih dia

Pilihlah aku yang mampu mencintaimu lebih dari dia

Bukan kuingin merebutmu dari sahabatku

Namun cinta tak bisa

Tak bisa kaupaksakan (Yura Yunita ft Glenn Fredly-Cinta dan Rahasia).

Celaka, lagu itu malah membuatnya makin frustrasi. Bukannya tenang, baper yang ada. Dihempasnya nafas pasrah. Ia lepas dan lemparkan jas mahalnya ke bangku sebelah.

"Aaaaargh Calvin! Jangan pikirkan Shilla lagi!" teriaknya sambil mengacak rambut, frustrasi.

"Atur hatimu, Calvin! Ayo atur! Jangan pikirkan Shilla terus!"

Susah payah ia mengatur hatinya. Menjaga emosinya. Ia matikan radio mobil. Percuma, bisa-bisa ia dengar lagu-lagu penebar racun cinta.

**     

Pintu tol di depan mata. Palang terangkat, lampu menyala hijau. Chevrolet hitam melaju dengan kecepatan 120 km/jam. Pengemudinya seakan gila kecepatan. Mungkin ia menganggap jalan tol sebagai area yang menyenangkan untuk unjuk kekuasaan.

Sebenarnya ia lakukan itu demi pelampiasan. Pelampiasan pada lagu dan kisah cinta terlaknat dalam hidupnya. Bayangan wajah Shilla terekam di pelupuk mata. Beberapa kali Calvin mengerjapkan mata, berusaha melenyapkan seraut wajah cantik nan putih bersih itu.

"Ingat Calvin, Shilla sudah menikah. Sudah jadi milik orang lain. Kamu belum mau turun derajat jadi pebinor, kan?"

Salah seorang teman sesama blogger pernah menasihatinya. Entahlah. Kalau mau, dengan wajah setampan ini, uang melimpah, dan karier cemerlang, bisa saja Calvin menjadi pebinor. Tapi hatinya masih hati malaikat. Belum direbut setan.

Di tengah jalan tol, tetiba saja kaca depan mobilnya diketuk keras. Tersentak kaget, Calvin menghentikan laju mobilnya. Ia menekan power window lalu mendapati lima orang lelaki berwajah seram menghadangnya. Tangan mereka memegang batu besar, pentungan, pisau, dan pedang.

"Keluar! Cepat!" teriak mereka garang.

Tanpa disuruh dua kali, Calvin turun dari mobil. Ia menghadapi orang-orang psycho itu dengan tenang. Wajah tampannya teduh tanpa emosi.

"Ada apa kalian menyuruh saya keluar?" tanya Calvin dengan nada berwibawa.

Ciut juga nyali para penjahat jalanan itu. Mereka hanya bisa menggertak. Berhadapan dengan sosok khaarismatik setangguh Calvin Wan, mereka gentar. Ketenangan dan aura Calvin malah membuat mereka segan luar biasa. Pikir mereka, seperti aura yang ditunjukkan petinggi negara, motivator yang sering tampil di TV-TV, atau aura seorang pemuka agama.

"Ada...ada yang rusak di mobilmu. Tadi kami lihat, makanya kami ingin check." ujar salah seorang dengan nada ragu.

Kedua alis Calvin bertaut. "Kalian yakin? Lalu, pentungan dan alat-alat ini untuk apa?"

Mereka tergeragap. Mana mungkin orang berIQ tinggi macam Calvin bisa dibohongi? Di luar dugaan, seorang laki-laki berbadan paling besar merangsek masuk mobil. Ia melihat tas punggung yang ritsletingnya sedikit terbuka. Dengan wajah dihiasi seringai kemenangan, diambilnya tas punggung itu. Dia mengisyaratkan teman-temannya untuk kabur.

Proses perampokan di mobil itu begitu cepat. Cepat, cepat sekali. Bisa dibilang tak masuk akal. Lima menit pun tak ada. Sebelum Calvin pulih dari shocknya, tas branded berisi barang-barang berharga itu telah hilang.

Dalam sekejap, Calvin telah kehilangan barang-barang penting. Dalam tas itu, terdapat kartu kredit, dua kartu ATM, paspor, kartu identitas, SIM Internasional, surat perjanjian kontrak dengan penerbit buku, flashdisk, charger iPhone, tab, tiket pesawat, jam tangan, dan beberapa barang lainnya. Beruntung ponselnya tadi ia letakkan di dashboard.

Kejatuhan rezeki di hari kemenangan. Inikah kemenangan yang sesungguhnya? Mobilnya kerampokan, sebuah musibah tak terduga-duga. Meski begitu, hatinya masih bersyukur. Handphonenya tak raib. Segera saja ia mengontak staf-stafnya. Ia minta mereka semua memblokir semuanya. Jangan sampai oknum pencuri-pencuri itu memanfaatkan kesempatan.

"Laa haula wala quwata illa billah." Calvin berzikir, menggenggam erat setir mobil.

"Ya Allah, baru saja aku punya sebuah niat baik di hatiku. Tapi, mengapa barang-barang pentingku hilang?"

Bukan Calvin Wan namanya kalau tak konsisten dengan janjinya sendiri.

**      

Badai masalah boleh menerpanya hari ini. Tapi, niat harus tetap direalisasikan.

Berjalan di sepanjang lantai tiga mall itu, Calvin mengedarkan pandangan. Mencari barang yang ingin dibelinya. Gerai demi gerai ia lewati. Teriakan-teriakan para SPG dan SPB hanya ia balas dengan senyuman sabar. Waktunya tinggal sedikit lagi.

"Nah, ini dia. Yes."

Senyumnya merekah melihat benda-benda di meja display. Didekatinya penjaga counter. Tanpa banyak negosiasi yang tak penting, dibayarnya harga barang itu. Cukup mahal juga. Menyentuh angka jutaan.

Si mungil berwarna perak dan berlogo apel tergigit itu tergeletak manis di dasar boks. Jemari lentik si penjaga counter menutup kotak, menyerahkannya pada Calvin. Tersenyum manis menerima pembayaran.

Benda yang dicarinya sudah ia temukan. Penuh percaya diri, Calvin meninggalkan mall. Turun kembali ke basement. Kesedihannya karena perampokan beberapa jam lalu menguap tak bersisa. Tergantikan bahagia. Bahagia sebab masih bisa memberi.

Luar biasa. Baru saja terkena musibah, niat memberi begitu besar. Kalau sudah niat, segalanya dimudahkan.

Menjelang petang, Calvin tiba di rumah. Mengejutkan semua anggota keluarga yang tengah berkumpul menantinya. Tergesa mereka bangkit dari kursi-kursi rotan di teras depan, berhamburan memeluknya. Yang sudah uzur tertinggal di belakang, tertatih dengan tongkat mereka. Calvin memeluk mereka satu per satu. Menciumi ibu, keponakan, dan saudara-saudara perempuannya. Tas'him mencium tangan para tetua dalam keluarga. Hadirnya menebar kebahagiaan. Kedatangannya menebar kasih dan kehangatan.

"Lihat, Calvin. Anak itu sudah menunggumu. Seharian dia tak mau makan kalau tanpamu." tunjuk sang ibu ke arah sesosok anak cantik berambut panjang dan duduk di atas kursi roda.

Keharuan menyergap. Rindu meresap. Calvin balik kanan, berlari mendekap putri angkatnya. Anak adopsinya tercinta. Ciuman di kening dan usapan di rambut adalah hadiah pertama. Paket mungil keperakan terbungkus kertas perak adalah hadiah kedua dan pelengkap.

"iPhone? Wow, thanks Daddy." ucap anak cantik itu dengan suara halusnya.

Berbunga hati Calvin. Bahagia lantaran sang putri menyukai pemberiannya. Paket mungil keperakan yang ia dapatkan di tengah musibah itu, menuai sepercik kehangatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun