"I hate Eid Mubarak."
Ingin rasanya Silvi melontarkan kalimat itu. Lama-lama ia muak juga dengan hari raya. Benar, di hari kemenangan itu keluarganya berkumpul bersama. Tubuh mereka ada di sini, tetapi tidak dengan pikiran mereka. Gawai di tangan telah menyita perhatian.
Hanya Silvi yang tidak memegang gadget. Ia konsisten pada prinsipnya: no gadget saat bersama orang-orang yang dicintai. Sayangnya, paham keluarganya berseberangan. Bagi mereka, gadget everywhere. Alhasil gadis blasteran Jawa-Belanda itu hanya bisa menggigit bibir, kecewa.
Percuma, bisik hati kecilnya. Buat apa berkumpul bersama bila akhirnya hanya sibuk dengan smartphonenya masing-masing? Sejumput niat untuk kabur memerciki hati.
Diam-diam gadis cantik bergaun putih itu melirik sekitarnya, mencari celah. Ia tak tahan begini terus. Eid Mubarak, bisakah meninggalkan gadget sejenak?
Hari pertama Eid Mubarak seperti berlalu begitu saja. Tanpa ada kesan mendalam. Bermain gadget tetap menjadi kegiatan dominan di hari raya. Menahan kejengkelannya, Silvi bangkit dari sofa. Balik kanan, lalu berjalan ke halaman depan.
"Andai ada yang menemaniku..." desahnya, menatap hampa langit biru berlapis gumpalan awan putih. Angin berdesis, menarik-narik ujung dressnya.
"Seharusnya aku pergi saja."
Pergi, ya pergi. Mengapa tidak? Toh tak ada yang peduli. Perlahan dilangkahkannya kaki ke pintu pagar. Membukanya sepelan mungkin. Kabur bisa menjadi pilihan.
Menit berikutnya, kaki Silvi telah menjejak jalan raya. Berhasil, dirinya berhasil kabur dari rumah. Hatinya bersorak kegirangan, mengapresiaasi keberhasilannya sendiri.
** Â Â Â