Mohon tunggu...
rizqa lahuddin
rizqa lahuddin Mohon Tunggu... Auditor - rizqa lahuddin

hitam ya hitam, putih ya putih.. hitam bukanlah abu2 paling tua begitu juga putih, bukanlah abu2 paling muda..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kita Tidak Harus (Selalu) Membereskan Meja Sendiri di Restoran, Kok

20 Januari 2019   17:50 Diperbarui: 20 Januari 2019   22:41 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(easylifejourney.com)

Bagi Kompasianer yang beruntung pernah merasakan budaya yang berbeda di luar negeri, mungkin bisa membandingkan. Sebuah restoran dengan brand global, walaupun nama restorannya sama dengan yang ada di Indonesia, menu dan makanannya bisa sangat berbeda saat kita mengunjungi restoran yang sama versi negara lain. 

Sebagai contoh, ternyata KFC di Malaysia menggunakan nasi lemak atau sejenis nasi uduk yg gurih bukan nasi biasa seperti di sini. McD di India mempunyai menu sejenis kebab bahkan burger vegetarian dan jangan lupa saat memesan pizza di Pizza Hut Thailand, bacon dan sosis nya mungkin bukan dari daging sapi.

Saat sebuah perusahaan berekspansi ke negara lain, tentu saja akan menghadapi berbagai tantangan bisnis. Mulai dari regulasi, budaya kerja, dan tentu saja selera konsumen yang berbeda. Nah, soal yang terakhir ini tentu yang paling susah.

Jika produknya relatif universal (misalnya smartphone) mungkin tidak perlu terlalu menyesuaikan dengan kondisi di tiap negara, tetapi jika menyangkut kuliner, bahkan di ruang lingkup nasional saja bisa berbeda-beda seleranya. 

Masakan Jogja yang cenderung manis, sulit diterima oleh lidah Medan yang bumbunya kuat dan kaya dengan lada. Tidak semua orang juga suka makan sayur mentah yang identik dengan makanan Sunda yang cenderung sehat karena biasanya menggunakan ikan bukan ayam atau daging sapi.

Restoran cepat saji juga demikian. Saat pertama kali masuk ke Indonesia (atau Asia) mereka tahu bahwa makanan pokok kita adalah nasi. KFC contohnya, masuk ke Indonesia sejak 1978 sebagai perusahaan waralaba yang lisensinya dipegang oleh Gelael pada saat itu. Sebagai pembanding, warteg mulai menjamur di Jakarta pada tahun 1960 an, dan "Mal" pertama baru ada di Indonesia pada tahun 1962 yang bernama Sarinah.

Jadi restoran mewah bisa dibilang belum ada di Jakarta dan fast food menjadi simbol status baru bagi orang-orang mampu. Fastfood yang di negara asalnya sana merupakan restoran paling murah sekelas warteg di Indonesia naek kelas menjadi restoran casual dining.

Kini ekonomi kita sudah sangat jauh membaik. Mulai muncul restoran-restoran berbagai jenis di Indonesia. Merek dan menunya bisa bermacam-macam tetapi secara umum dari sisi kategori restoran, biasanya ada 4 jenis restoran yang bisa ditemui yaitu:

Fast Food
Tentu banyak yang sudah paham soal ini. Restoran cepat saji seperti KFC, McD, Wendys, Burger King, merupakan brand global. Sedangkan untuk lokal ada Hokben, Texas Chicken, CFC, Geprek Bensu, dan sejenisnya.

Biasanya cara memesan makanannya dengan cara kita mendatangi meja pelayan yang merangkap sebagai kasir dan yang menyajikan menu, kemudian kita memilih, membayar, mendapatkan makanan dan mencari meja untuk dipakai makan dengan membawa sendiri nampan dan sebagainya. Makanan yang disajikan sudah matang saat kita memesan, karena itulah dinamakan fastfood.

Jika melihat kategori ini, warteg dan warung bakso pun sebenarnya bisa saja masuk ke kategori fastfoood. Harganya relatif murah, tetapi menunya yg tinggi lemak dan garam serta minumannya yang tinggi gula membuat kesan fastfood susah dipisahkan dengan junk food.

Dekorasi dan design restoran fastfood biasanya mementingkan kepraktisan. Kursi yang keras, suasana yang tidak cozy yang memang tidak ditujukan agar orang berlama-lama berada di dalamnya.

Fast Casual
Restoran bergaya fast casual sedikit berada di atas fastfood.  Menemukan restoran dengan kategori ini di Indonesia sangat mudah karena hampir semua tempat makan di mal atau restoran masuk ke kategori ini. Rumah makan Padang Sederhana, Pempek Gaby, Bakso Kepala Sapi, Bebek Goreng Pak Slamet dll termasuk kategori fast casual. 

Untuk waralaba mungkin yang agak mendekati adalah Wingstop, Hooters,  Es Teler 77, BMK, Excelso. Sebenarnya makanan yang disajikan sudah matang (atau setengah matang, tidak perlu dimasak dari awal) sehingga cepat tersaji di meja, tetapi dengan suasana yang cukup nyaman untuk sekedar berkumpul dengan teman, ngobrol dan sebagainya.

Harganya masih terjangkau tetapi sedikit di atas resto fastfood. Menu yang disajikan biasanya terbatas dan spesifik. 

Casual Dining
Restoran seperti ini cukup banyak di Indonesia dengan berbagai menu seperti Japannesse, Western, Asia dan sebagainya. Sushi Tei, Imperial Kitchen and Dimsum, Abuba Steak, Ta Wan, The Duck King, hampir semua restoran yang ada di Mal kelas atas biasanya masuk ke kriteria Casual Dining. Harganya cukup terjangkau (saat baru gajian, hehe) dengan dress code yang bebas tetapi tetap menyajikan suasana yang sangat nyaman.

Jika kita membereskan meja kita sendiri saat makan di restoran seperti ini, justru pelayannya akan kena tegur supervisornya dan dianggap tidak melayani pelanggan dengan baik, karena bahkan sebelum kita selesai makan pun, piring kotor akan diambil oleh pelayan-pelayan di restoran seperti ini. Ada pengalaman lucu, karena pada saat makan, seorang pelayan menghampiri sambil menanyakan bagaimana makanan yang saya makan, apa sudah cukup sesuai dng keinginan.  

Fine Dining
Digambarkan di film-film sebagai tempat seorang laki-laki mengajak pasangannya kencan di tempat romantis, pengunjungnya harus memakai dress code tertentu, bahkan kadang harus reservasi terlebih dahulu sebelum masuk ke restoran fine dining. Harganya cenderung mahal, dan dikelola oleh chef professional lulusan sekolah kuliner. Jika pernah nonton Masterchef, Gordon Ramsay adalah salah satu ikon pemilik restoran fine dining yang terkenal.

Di Indonesia, restoran fine dining biasanya menyatu dengan hotel atau resort, walaupun ada juga yang berada di lokasi premium seperti perkantoran mahal. Contohnya adalah Namaaz Dining di Kebayoran Baru, The Wind By Chef Felix di Bandung atau Blanco par Mandif di Ubud Bali.

Jadi membereskan meja sendiri saat berada di restoran fast food dan fast casual lazim untuk dilakukan, tetapi jika dilakukan di resto casual dining atau fine dining justru mengesankan pelayanan restorannya kurang baik. 

Indonesia Ini Luas
Kembali lagi ke soal restoran cepat saji yang mengajak pengunjungnya membereskan meja sendiri, jika ada netizen yang tidak setuju tentu bisa dipahami, karena sudah hampir 40 tahun beroperasi di Indonesia, fast food dianggap sebagai restoran kelas casual dining terutama di kota-kota kecil yang belum terjangkau ekspansi usaha mereka.

Bahkan di kota sekelas Manado, McD baru masuk sekitar tahun 2010. Dan itu sudah merupakan ibukota propinsi. Bayangkan di kota-kota kecil seperti Batulicin, Bagansiapi Api atau GunungKidul. 

Di beberapa tempat, makan di resto fastfood setara dengan makan di resto berkelas casual dining sehingga ekspektasi atas pelayananannya pun diharapkan sama seperti casual dining. Dilayani dng baik, tanpa perlu repot harus merapikan meja dan sampahnya sendiri.

Lalu Bagaimana dengan di Luar Negeri?
Banyak yang menganggap Jepang adalah negara yang bisa dicontoh dalam hal kebersihan. Berbeda dengan di Indonesia, di Jepang restoran fastfood hadir dengan konsep self service. Artinya saat selesai makan, kita diharapkan untuk menaruh kembali piring kotor, gelas, dan nampan kita di meja khusus yang biasanya bersebelahan dengan dapur. Dan kita mengelap kotoran di meja kita sendiri. 

Jadi memang tempat untuk menaruh kotoran sudah disediakan dan petunjuknya juga tergambar dengan jelas. Coba saja ke Yoshinoya, resto fastfood franchise Jepang yang juga ada di Indonesia. Yoshinoya Jepang menyediakan meja khusus menaruh kotoran yang langsung terhubung dengan pantry mereka.

Sedangkan di Indonesia, fastfood tidak pernah menghadirkan konsep self service. Ditambah dengan ekspektasi beberapa orang yang menganggap makan di fastfood itu casual, akhirnya timbul resistensi dan meminta pelayanan sesuai kelasnya. 

Jika ingin mengampanyekan membereskan meja sendiri, ada baiknya dilakukan secara bertahap. Mulai dengan menumpuk jadi satu di tengah, sediakan meja khusus untuk mengumpulkan nampan dan piring kotor serta memberi petunjuk yang jelas. Dan kembali ke prinsip dasar, toh membantu beban orang lain merupakan perbuatan mulia, tidak ada salahnya untuk dilakukan. 

Dulu yang bangsa kita ini disebut susah antri dengan tertib toh sudah mulai terlihat berkurang ketidaktertibannya seiring dengan kemampuan ekonomi yang meningkat, pendidikan yang semakin baik, dan budaya malu yang semakin bagus. Lihat saja ketua PSSI yang berani mengundurkan diri seperti sekarang. Hehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun