Kemarin malam, Kelly tiba-tiba ingin makan sate. Sebuah warung sate di jalan Durian menjadi pilihannya. Jadilah kami berangkat ke sana.Â
Rasanya, warung sate itu memang benar-benar enak. Soalnya, banyak yang antri. Kening ini berkerut saat mendengarkan bahwa masih ada sekitar 40an orang yang belum terlayani. Menurut si pemilik warung, kami masih harus menunggu sekitar setengah jam paling cepat.Â
Perdebatan pun terjadi di antara saya dan istri. Mau menunggu atau pindah tempat.Â
Sayangnya (atau untungnya), perut ini sudah keroncongan, sehingga atas nama akal sehat, kami pun berpindah tempat ke penjual sate lainnya. Warung Daeng Sangkala di Jalan Gunung Merapi. Lumayan tenar, tapi yang antri tidak sebanyak warung di Jalan Durian.Â
Perjalanan ke tempat tujuan tidak sampai 10 menit. Sate dibakar dan dihidangkan tidak sampai 10 menit. Kami melahapnya dengan rakus, dalam 20 menit semua hidangan bersih tak tersisa. Jika dihitung-hitung, waktu yang kami luangkan lebih singkat daripada harus menunggu di warung sate yang pertama.Â
Saya bersyukur, kami memilih pindah tempat. Keputusan itu adalah yang terbaik. Sebabnya, kami baru saja terlepas dari sebuah jebakan yang bernama Sunk Cost Fallacy.
Apa pula itu?
Istilah Sunk Cost Fallacy ini berasal dari dunia finansial. Merajuk kepada aksi sesat pikir pada seseorang untuk melanjutkan proyek atau investasinya, hanya karena merasa terlanjur. Padahal, keputusan itu mungkin sudah tidak rasional lagi.
Dalam situasi seperti ini, keterpaksaan didorong oleh keterlanjuran. Usaha, uang, dan waktu sudah banyak terbuang. Merasa sayang untuk mundur atau berhenti, karena sudah banyak effort yang dikerahkan.Â
Semangat yang membuncah yang didorong oleh rasa percaya diri yang kuat turut mendukungnya. Berharap keadaan membaik, padahal itung-itungannya sudah empot-empotan.Â
Namun, pelajaran ini bukan hanya dari sisi perspektif finansial saja. Dalam keseharian, kita cukup sering menemukan jebakan Sunk Cost Fallacy ini di sekitar kita. Bahkan, tanpa kita sadari, kita mungkin adalah salah satu pelakunya.