Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kebijaksanaan sebagai Pria dan Wanita

14 Agustus 2019   17:45 Diperbarui: 26 Agustus 2019   19:14 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: balebengong.id

Seperti telah mengundang pertanyaan lagi, mengapa semua harus di ukur, harus pula disamakan berbagai persepsi akan dunia kita masing-masing. Mengherankan memang, mengapa ada saja kekolotan yang harus terjaga dari manusia? Tentang ungkapan itu, seperti menjadi dirinya yang bukan untuk dirinya sendiri.

Mungkin aku memang harus mempertanyakan beragam jenis manusia yang ada termasuk diriku sendiri. Kaku dan lentur, seperti telah menjadi sikap yang harus ada dalam diri kita "manusia" itu sendiri. Tetapi jika dengan berbagai sikap itu, dan mengundang berbagai penderitaan yang ada, akankah manusia tetap melakukannya apa-apa yang di inginkan sebagai tindakannya? Hanya kekolotan, begitu pula akan menjadi manusia, hanya ambigu saja, kebodohan atau ketidaktahuan, tidak lebih dari itu.

Tindakan tidak semestinya harus diikuti saja tanpa nalar yang mengikutinya. Perkara berbagai hal yang sudah orang lakukan, apakah mereka menyadari terlebih dahulu apa yang akan dilakukannya? Semua harus jelas, bagaimana arah itu memanggil, disanalah kita  "manusia" dapat menalar semuanya sebelum bertindak.

Menjadi pria, memang tidak mudah, pria merupakan bagian dari permainan yang menarik dirinya untuk masuk dalam permainan akan sesuatu yang diminatinya. Oleh karena itu, dominasi pria bermain dalam kuasanya, ingin menjadi pemenang, dan ingin menjadi yang tersohor dibalik pria-pria lain yang membanggakan dirinya sendiri bahwa: "ia "pria" punya sesuatu yang lebih dari yang lain untuk modal permainannya".

Maka dari itu, sejarah maskulitas dunia, rata-rata pada setiap zamannya, "pria ingin selalu diatas kastanya", bukan apa, mereka takut tidak mendominasi permainannya sendiri yang diciptakan sebenarnya oleh dirinya sendiri. Tentang tahta, harta, dan wanita, merupakan ungkapan kecil permainan anggapan yang dibesar-besarkan oleh kaum pria itu "kebanyakan" sebagai tafsir setiap zamannya.

Tetapi bagaimanapun, seorang pemain ialah obyek dari permainan itu sendiri. Seperti para pemain penjudi yang tidak pernah akan dapat menjadi kaya karena mereka hanya di berdayakan oleh bandar judinya sendiri sebagai pemain bukan pemenang . Begitupun pria dihadapan tahta, harta, dan wanita, mereka "pria" terus mencarinya, berpikir terus tentangnya, apakah mereka telah pantas masuk dalam permainannya? Tanpa berpikir, itulah permainan mereka.

Mereka "pria" gila kuasa, juga gila pada peraihan-peraihan untuk mengaet suatu obyek permainannya seperti wanita, bahkan harta. Sukses, sukses dan sukses, menjadi permainan yang asyik sebagai alibi bahwa; aku "pria" akan dicintai banyak wanita, bahkan membeli wanita sebagai bahan dari permainan-permaiannya dari apa yang telah pria punya, jabatan, bahkan setiap dari apa "harta" yang dipunyainya.

Tidak heran banyak pria sukses dengan tahta, harta, bahkan wanita, hancur karena tidak mampu mengendalikan permainanannya. Adalah mereka-mereka pria-pria yang cenderung ambisius untuk memenangkan permainannya, padahal dalam permainannya, pria tidak akan dapat menang, mereka "pria" mudah terkontrol, mudah pula terbelenggu oleh nafsu permaianannya sendiri, yang ingin dikuasai. Tetapi sebenarnya dalam permainan itu,  sang "bandar" diantara ketiga entitas itu, termasuk wanita di dalamnya tetap merupakan pemenangnya dan pria selalu kalah.

Sinddhartha Gutama pada pertapaannya, mendapat sebuah ilham bawasannya: "Pria bodoh itu seperti sapi. Dia tumbuh dalam ukuran, bukan dalam kebijaksanaan". Itu lah suatu ungkapan yang sebenarnya merepresentasikan, kaum pria-lah sendiri yang lemah, ia harus belajar menjadi bijaksana di dalam menjadi pria itu sendiri, untuk hidup, dan menyadari setiap apa yang menjadi permainannya sendiri sebagai manusia yang energinya "pria".

Banyak filsuf-filsuf pria, atau pemimpin-pemimpin spiritual juga kebanyakan pria, menjadi bukti betapa rapuhnya hidup pria, mereka "pria" butuh banyak pegangan kebajikan. Tentu karena mereka harus begitu, menerengi kebijaksanaannya sendiri sebagai "manusia" yang jauh peranannya dibanding wanita. Tanpa berpikir untuk menyadari, pria-pria akan terus larut didalam permainan sebagai pria yang rapuh dalam setiap bentuk permainannya.

Kini berapa wanita yang mampu hidup bijaksana? Bukankah semua wanita sudah termasuk kebijaksanan dengan pembawaannya sebagai ibu di dunia? Inilah yang tidak dapat dipungkiri itu, tanpa belajar wanitapun sudah dibentuk sebagai pemberi hidup, yang secara otomatis sudah menjadi bijaksana, tanpa ia berpikir dengan rasionya sendiri, mereka "wanita" bijaksana secara alami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun