Mohon tunggu...
Kens Hady
Kens Hady Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang yang biasa, yang kadang suka menulis

Black Dew

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hari Kemerdekaan dan Budaya Nyinyir Bangsa

17 Agustus 2017   19:57 Diperbarui: 17 Agustus 2017   20:19 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Memasuki usianya yang ke tujuhpuluh dua, eegeri ini rasanya tak berhenti dengan kekisruhan dan kegaduhan. Mungkin seperti selentingan yang sering terdengar, Bangsa Indonesia juga manusia. Di usia 72 tahun. "Sangat wajar" bila telah mengalami kepikunan. Yah. Kepikunan akan jati diri bangsa ini. Kepikunan akan nilai-nilai yang menjadi dasar dari kehidupan berbangsa. Lupa bahwa bangsa ini mestinya saling menghargai. Lupa bahwa bangsa ini punya rasa welas asih dan tepo sliro. Sehingga masih saja ada gerakan-gerakan intoleran. Baik secara diam-diam ataupun terang-terangan. Selain kepikunan, usia yang sudah mencapai hampir tiga perempat abad ini juga menghadirkan sisi childish. Suka merajuk, suka gaduh tak jelas permasalahannya. Masalah belum jelas, sudah main hantam. Main klaim. Apa saja selalu ada prokontra yang menajam. Rasanya sudah hilang kedewasaan masyarakat Indonesia ini. palagi di era media sosial seperti saat ini. Meskipun jelas manfaat dan kebaikannya, secara sadar atau tidak, media sosial telah menciptakan budaya baru bagi republik ini. Budaya Nyinyir.

Yah, budaya nyinyir. Budaya yang dibungkus apik dengan  cap demokrasi. Atau dengan diberi stempel "hak bebas berpendapat".  Budaya yang sebenarnya tumbuh dari  sikap jumawa ataupun merasa benar sendiri. Tidak mencoba mengerti atau memahami dari sudut pandang yang berbeda. Suatu saat berpolemik, siapa yang paling sholeh. Pada saat yang lain beradu status di medsos tentang siapa yang paling Pancasialis. Debat-debat berkepanjangan yang berujung pada caci-maki dan dan saling menghina.

Apakah kita termasuk nyinyir? Anda sendiri yang bisa menjawabnya. Kenyinyiran biasanya karena kedengkian atau keirian yang akut. Apapun yang dikatakan seseorang, ataupun apapun yang dilakukan selalu salah di matanya. Dan herannya, seorang penyinyir, bisa memandang berbeda ketika sesuatu yang sama menimpa pada dirinya atau teman-teman satu gank nyinyirnya.

Di sini saya tidak membela atau menuduh siapapun. Bagi saya, semua salah dan semua benar. Lho kok bisa? Iya bisa. Semua salah, bila dihadapkan pada kacamata yang berbeda. Tumbuh dari hati yag berbeda. Dan semua benar, jika berpegangan pada pola pikir masing-masing.

Sebenarnya sangatlah miris. Di usia yang sudah "sepuh" begini, harusnya bangsa Indonesia bisa melebihi Korea Selatan ataupun Jepang. Mereka bisa dibilang lahir hampir bersamaan dengan kita. Tapi rasanya kita kok masih jadi anak bawang di depan mereka. Apa yang salah? Di saat-saat ini mari kita coba untuk merenungi apa yang sudah kita lakukan.

Di hampir setiap pemilu, rasanya cuma ada madu yang dihidangkan kepada masyarakat Indonesia. Hampir semua mengatakan bahwa mereka maju untuk kepentingan bangsa dan negara. Memberikan yang terbaik bagi republic ini. Tapi sebagian besar hanyalah pepesan kosong. Yang jika ditarik ujungnya, semua hanya untuk kepentingan pribadi atau golongannya sendiri.

Jika diibaratkan penyakit, kita sudah mengalami komplikasi. Disembuhkan satu, yang lain teramputasi. Seperti mau main main layangan. Benangnya bundet alias kusut. Layangan cita-cita bangsa ini hanya teronggok menjadi lembaran kertas di meja.

Sampai saat ini, masih sangat terasa kita seakan hidup di dua kutub. Blok hitam dan putih. Kalau tidak putih dipastikan hitam ataupun sebaliknya. Voltase emosi rasanya seperti aliran listrik di kabel-kabel sutet. Mendengar atau membaca sedikit dari kutub lain langsung terpercik emosi lalu terciptalah gelombang kenyinyiran.

Saya pribadi rasanya sangatlah tidak nyaman. Dan sangat merindukan suasana kekeluargaan dan persaudaraan.  Saya sendiri sering bertanya-tanya, apasih untungnya dari sebuah kenyinyiran?

Mungkin ada yang membela diri dan berkata, " Itu bukan nyinyir, tapi koreksi agar bersikap lebih baik lagi."  Lalu di pihak lain berkata, "aku hanya  membela dan ungkap borok-boroknya."

Daripada kita saling bernyinyir tak jelas ujungnya. Mari kita bertanya kembali pada diri masing-masing.  Apakah sikap dan tindakan kita sudah "sebesar dan sehebat" kata-kata yang kita nyinyirkan di media sosial? Atau malah sebenarnya kita bukan apa-apa?  Jangan-jangan kita hanya bisa omong doang. Kita berbicara tentang harga diri bangsa, tetapi kita tidak bisa menghargai apa yang para pahlawan warisikan untuk kita. Atau kita malah hanya bisa bermalas-malas saat melihat tetangga kita kesusahan. Tapi di media sosial kita selalu nyinyir akan nasib bangsa lain atau kaum tertentu? Mari kita bertanya pada diri kita masing-masing. Kehidupan berbangsa ini, sebenarnya terdiri dari sel-sel kehidupan yang  bernama keluarga. Dan lebih kecil lagi adalah kehidupan sebagai pribadi. Di tanggal ini, apa yang kita rasakan dan ingat?  Mungkin kita malah lebih ingat budaya impor. Apalagi ada kabar artis Korea akan meramaikan peringatan hari kemerdekaan. Mari jujur pada diri sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun