Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Muasabah: Terlalu Dini Berpuasa?

27 Mei 2017   15:05 Diperbarui: 27 Mei 2017   15:48 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari pertama Ramadan tahun ini cukup bikin mangkel, karena sudah dapat “previllege” buat hutang puasa.  Tapi baru nyadar,bisa jadi hal ini menjadi tema pembelajaran saya dengan anak saya di tahun ini. Saya seorang ibu yang kebetulan pemahhaman agamanya tidak terlalu dalam, mendapat anugrah untuk belajar bersama dengan putra  semata wayang kami yang saat ini menginjak usia 7 tahun.

Sejak  usia 4 tahun ia telah belajar berpuasa, meski bari dapat berpuasa penuh di usia 5  tahun dan 6 tahun. Pada awal puasa (saat usia 4 tahun) ia batal 6 hari, 4 hari karena  terserang demam dan  2 hari tak kuasa menahan godaan saat kami membuat nastar dan kukis di akhir ramadan.

Sampai hari ini pun beberapa teman ada yang protes karena menganggap diriku “emak kejam”, memaksa anak berpuasa di usia yang terlalu dini. Tapi persoalan perdebatan itu telah berlalu 2 tahun lalu, karena memang dari awal kami meminta ia berpuasa bukan memaksanaya, apalagi memberi iming-iming “upah harian” yang secara ekonomi kami memang tidak mampu. Saya hanya mencoba mengajak “diskusi” dengan dia bahwa berpuasa di bulan ramadan adalah perintah Allah dan tidak main-main dituangkan dalam Qur’an. Tapi bisa jadi,  dia bersedia puasa karena memang di rumah ini tidak ada yang tidak berpuasa, sehingga suasana mendukung dan pembuktian “kesombongan” dia yang telah berkhitan sehingga merasa “aqil” untuk berpuasa, dan tentu saja pujian dari mbah dan kakek yang ia temui saat shalat tarawih berjamaah di masjid.  Ya, sesimpel itu pengakuan dan pujian terkadang mampu memperkuat tekad seseorang untuk berjuang bukan, apalagi untuk bocah berusia 4 tahun.

Tahun ke-dua saya mencoba menjelaskan mengenai puasa ini adalah pembelajaran mengenai komitmen, sekaligus menguji keimanannya pada Pencipta dan Malaikatnya,  bahwa puasa itu yang tahu diri sendiri, Tuhan dan 2 malaikat-Nya, Rakib dan Atid, cukup mengena karena ia telah belajar di taman pendidikan Al-Qur’an.  Tugas saya setiap hari menjelaskan korelasi rukun iman dan puasa dalam bahasa sederhana di tahun itu. Mengingatkan pribadi seorang muslim itu harus tangguh dan pantang menyerah, saat berpuasa bahkan air seteguk pun akan memusnahkan perjuangannya. Berpuasa bukan membodohi diri atas nikmat-NYA, tetapi justru bersyukur atas nikmat yang diberikan selama ini. Merasakan air dingin membasahi tenggorokan setelah 13 jam menahannya itu adalah kenikmatan luar biasa, yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang pernah menjalankannya.

Tahun ke-tiga mengingatkan mengenai rukun Islam, bahwa puasa membuktikan kepada diri sendiri bahwa ia mempersiapkan diri  untuk menjadi Muslim yang taat, bahwa Ramadan adalah penggemblengan diri untuk taat menjalankan ibadah, hukumannya langsung. Jika lalai shalat, atau melakukan kebohongan kecil sekalipun maka sia-sialah puasanya, akan mendapat haus dan lapar saja. Korelasi antar kelima rukun Islam serta pelaksaana melalui penggemblengan puasa ramadan menjadi bahasan kami setiap hari di tahun itu.

Mengingat kejadian pagi ini, saat ia memaksa saya untuk sarapaan karena saya tidak berpuasa, atau dia tetep anteng saat saya makan siang dihadapannya, pembelajaran kami mungkin sedikit ditingkatkan, korelasi fiqh dalam berpuasa.

Ketika saya menceritakan hal ini kepada beberapa teman, mereka menjawab “Kakak sudah tahu mengenai menstruasi?”. Saya dengan PD menjawab , untuk hal semacam itu sudah beres, dan memang dalam kurikulum pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar Negeri hal tersebut diajarkan.

Sejak saya menerima buku pinjaman di awal tahun ajaran, saya menyeadar batul bahwa harus mempersiakan ia untuk memahami fiqh terutama Taharoh (bersuci), di situ juga saya menyadari bahwa dengan mempelajari  taharo ada tantangan memberi sex educationuntuk mempersiapkan aqil-nya sebelum mencapai balighnya. Bersuci sebagai syarat mutlak kesempurnaan ibadah, dan ibadah adalah kunci taqwa.

Terkait dengan adanya kekhawatiran mengenai sex education dini  mengikis rasa malu, justru dalam Taharoh sebaliknya,  mellalui pendidikan taharo justru mekekankan bahwa fitrah manusia untuk memiliki rasa malu, apalagi yang berurusan dengan kemaluan.  Taharoh pun dengan jelas ada yang perlu dibedakan cara bersuci antara laki-laki dan perempuan karena memang organnya memang berbeda.

Jadi, mengapa harus kuatir ketika menjelaskan apa itu menstruasi, karena memang ia harus tahu bukan, dan tentu kita yang harus mengajarkannya dalam batasan-batasan tertentu sampai pemahaman usianya. Menjelaskan bahwa kondisi perempuan saat menstruasi yang lemah sehingga puasanya ditangguhkan (bukan dilarang seperti shalat karena alasan kesucian),  pun membantu seorang anak laki-laki memahami bagaimana bersikap setelah ia berkeluarga kelak bukan?

Sebuah pertanyaan yang bikin saya netes adalah “Bunda, apakah boleh puasa Kakak untuk membayar hutang puasa Bunda?” , saya mendapat tantangan untuk menjawab dengan sederhana bahwa dalam beribadah, tanggungjawab ada pada masing-masing pribadi, karena ini hubunganmu langsung dengan Tuhanmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun