Mohon tunggu...
Jaja Zarkasyi
Jaja Zarkasyi Mohon Tunggu... Penulis - Saya suka jalan-jalan, menulis dan minum teh

Traveller, penulis dan editor

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Refleksi Idul Fitri: Karena Birokrasi Tak Boleh Kalah

23 Mei 2020   21:07 Diperbarui: 23 Mei 2020   22:03 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di pojok Jakarta Timur, saya menjumpai seorang teman yang tak mudik meski di rumah ada keluarga yang merindunya. Ia memilih untuk stay di Jakarta, di warung kecilnya, tetap berkomunikasi dengan keluarganya di kampung. Tidakkah merindu tanah kelahiranmu sobat?

Bohong kalau saya tak kangen, kang. Ini pilihan yang berat. Saya sadar anak-anak di kampung sangat rindu ayahnya, tapi saya juga sadar semua ini harus ada pengorbanan. Semua sedang menderita, semua harus berkorban. Itulah yang saya sampaikan ke keluarga. Alhamdulillah mereka paham.

Lagi pula Jakarta masih butuh dengan warung-warung kecil seperti punyaku ini, kang. Alhamdulillah setiap hari ada saja rizki yang datang, bahkan beberapa kali melebihi penghasilan di hari normal. Kasihan Jakarta jika tak ada warung yang buka. Secangkir kopi ini adalah teman setia orang Jakarta, harganya terjangkau. Setidaknya secangkir kopi seharga Rp. 4.000 ini bisa sejenak menenangkan kegundahan dan mengikis kekhawatiran.

Saya memilih untuk menenangkan rindu, kang.
Benar kata Dilan, rindu itu berat. Cukup aku yang merasaknnya. Di tengah heningnya Jakarta, saya masih melihat satu-dua warung kecil yang hanya berupa gerobak. 

Ada deretan sopir taksi yang sedang menunggu takdirnya hari itu, mereka pun setia menikmati secangkir kopi murah. Kafein yang terkandung dalam kopi rupanya cukup efektif menghalau rindu yang memuncak, meski untuk sementara waktu.

Tak mudah bagi seseorang menahan rindu. Orang-orang terkasih akan terus hadir dan memanggilnya. Manusia tercipta bukan untuk sendiri. Manusia akan sangat tergantung pada rindu. Karena rindulah yang telah membuat kehidupan ini penuh warna. Tanpa rindu, mungkin takkan ada para pejuang rupiah yang rela meninggalkan tanah kelahirannya.

Birokrasi Tak Boleh Kalah
Saya pun tak tahu bagaimana harus mengelola emosi. Namun perjumpaan dengan orang-orang yang berhasil menenangkan rindunya membuat saya begitu tertampar. Mereka tak pernah tahu esok makan atau tidak. Penghasilannya sangat tergantung penjualan harian. Bagaimana bisa saya yang sudah digaji negara namun lebih khawatir dari mereka?

Saat emosi mulai menampakkan terkendali, saya pun berinisiatif menghubungi kawan-kawan sejawat di kantor. Saya ingin berbagi beban menuntaskan emosi negatif yang "hampir" membunuh lebih cepat.

Apa benar ASN juga banyak yang terdampak psikologisnya gegara Corona?
Benar. Covid 19 menampar banyak sisi, tak terkecuali para ASN. Bukan hanya kejenuhan tinggal di rumah, rindu akan aktivitas pekerjaan mungkin yang paling besar membuat emosi negatif sangat kuat merusak mood. Beberapa bahkan "hampir" masuk dalam jurang pesimistis.

Di antara beberapa sejawat yang saya hubungi ternyata memiliki kekhawatiran yang sama dengan saya. Haruskan birokrasi kalah dan mengalah hanya karena Covid 19?

Birokrasi akan kalah jika tak berdamai dengan corona. Birokrasi tak lagi bisa dijalankan dengan model lama sebelum corona menerjang. Harus ada terobosan-terobosan baru yang gokil atau out of the box agar birokrasi tetap bisa berlari menjangkau pelosok negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun