Mohon tunggu...
Ahmad Athoillah
Ahmad Athoillah Mohon Tunggu... Jurnalis - -------

--------

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Selamatkan Generasi Alpha dari Budaya 'Ndiluk'

6 Agustus 2017   12:26 Diperbarui: 7 Agustus 2017   07:05 1587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Ilustrasi blog.caplin.com

SEPAGI itu, sekitar pukul 05.30, Felix (nama fiksi) sudah berada di selasar rumah. Seperti biasa, dan sudah menjadi rutinitas. Smartphone dengan merek ternama itu selalu melekat di antara dua tangannya. Entah apa yang dilihat dalam layar gawainya. Yang jelas, dunia seakan milik dia dan telepon pintar yang ada di genggamannya. Selalu ndiluk, mandengaiHaPe. Jangankan menyapa tetangga yang lewat depan rumahnya. Disapa pun terkadang dia tidak mendengar.

Felix merupakan generasi Y atau generasi millennial, generasi yang lahir antara tahun 1981-1994. Saat ini, usia Felix 28 tahun lebih tujuh bulan. Sebentar lagi memasuki usia puncak generasi Y, 29 tahun. Felix sudah memiliki anak satu. Usianya sekitar empat tahun. Bagian dari generasi Alpha, generasi yang lahir pada tahun pelantikan bupati Fathul Huda dan wakil bupati Noor Nahar Hussein periode pertama, 2011. Generasi yang saat lahir sudah langsung hidup berdampingan dengan dunia digital.

Karena kebiasaan ayah yang setiap pagi bermesraan dengan HaPe, sang anak pun tak mau kalah. Namanya saja horang kaya. Meski si anak baru berusia empat tahun, dia sudah memiliki ponsel pintar sendiri. Tak heran, karena kebiasaan tersebut, komunikasi anak sama bapak selalu indiluk:

Anak: Yah... (sambil mandengi HaPe)

Ayah: Hmmm... (jawab sambil mandengi HaPe)

Anak: Ayah nggak kerja? (tetap sambil mandengi tabletnya)


Ayah: Sekarang kan hari Minggu. Kerja libur. (jawabnya santai dan masih mandengi HaPe).

Sang anak tiba-tiba berdiri dan melihat HaPe ayahnya.

Anak: Apa itu yah? (tanya anak sambil mandengi HaPe bapake)

Mengetahui anaknya tiba-tiba sudah ada di sampingnya, si Ayah langsung buru-buru mengganti cannel pada layar HaPe-nya.

Ayah: Ayah lagi baca berita (jawabnya sambil masih mandengi HaPe yang sudah diganti cannel).

Anak: Bapak mbujuk, wong tadi saya lihat bapak lagi buka IG (Instagram). (ujar anak dalam hati, yang juga masih mandengi HaPe-nya).

Apa yang saya tulis di atas merupakan fiksi berdasarkan kondisi saat ini. Sebuah kehidupan modern di era digitalisasi. Diakui atau tidak, saat ini komunikasi dalam keluarga hampir seperti yang ada dalam percakapan bapak dan anak di atas. Indiluk. MandengiHaPe.

Pertanyaannya sekarang, apakah ini yang kita harapkan dari generasi penerus bangsa kita?. Sebuah generasi yang cara komunikasi dan interaksinya dengan ndilukdan mandengiHa-Pe. Sebuah kengerian hidup dalam bhineka kebudayaan bangsa Indonesia yang selama ini kita kenal dengan cara komunikasinya yang santun dan saling menghargai. Komunikasi yang menghargai lawan bicara dengan memandangnya. Komunikasi tidak meremehkan lawan bicara dengan alasan sibuk mandengiHaPe.

Saya sebagai generasi Y yang lahir tahun 80-an, cukup miris melihat hegemoni dunia digital seperti ini. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib bangsa ini jika diisi generasi penerus yang oportunis seperti ini. Generasi yang saat berkomunikasi hanya mementingkan diri sendiri. Sebuah budaya negatif yang bisa merubah toleransi menjadi intoleran.

Sebagai orang tua yang melahirkan generasi Alpa, termasuk saya sendiri. Kita harus segera sadar, bahwa budaya ndilukdan mandengiHaPe ini sangat tidak baik untuk kehidupan berbangsa. Sebuah bangsa yang selama ini menjunjung tinggi nilai-nilai cara komunikasi yang saling menghargai. Meskipun toh klaimnya lagi membaca berita atau artikel. Tapi tetap saja kebiasaan itu tidak baik di depan anak. Karena anak tidak tahu apa yang kita lakukan. Yang anak tahu hanya satu: bapaknya hobi banget memegang HaPe. Dan, itu dimulai sejak matahari belum terbit hingga matahari kembali tenggelam.

Kita belum terlambat. Mari kita rubah kebiasaan buruk yang selama ini kita lakukan. Jika memang pembaca yang budiman sudah biasa membaca berita atau artikel di pagi hari melalui layar gawai. Sekarang, saatnya kita rubah dengan budaya yang baru. Budaya membaca koran sambil ditemani secangkir teh atau kopi. Kenapa koran? Karena membaca koran itu, secara tidak langsung bisa menjadi teladan bagi anak. Sebuah teladan untuk membiasakan suka membaca sejak dini.

Anak: Ayah lagi ngapain? (tanya anak sambil melihat ayahnya).

Ayah: Ayah lagi baca berita. (jawab bapaknya sambil menaruh koran sebentar di meja).

Anak: Adik mau ikut baca. (balas sang anak menimplai jawaban bapaknya).

Nah, jika komunikasi yang seperti ini sudah terbangun. Maka, saatnya kita sebagai orang tua wajib menyediakan buku bacaan untuk anak-anak, sesuai dengan usianya. Dengan begitu, terbangunlah budaya membaca sejak dini. Bukan lagi budaya ndilukdan mandengiHaPe.

Untuk itu, ayo kita mulai dari sekarang. Membiasakan baca koran di waktu pagi. Semoga kebiasaan yang baik ini bisa melahirkan generasi penerus bangsa yang cinta membaca, sekaligus menjadi generasi yang mampu berkomunikasi dengan baik. Sebuah pola komunikasi yang saling menghargai dan menghormati. Tidak lagi menjadi generasi ndilukdan mandengiHaPe. (*)

Diposkan: Kolom Redaksi Jawa Pos Radar Bojonegoro (6/8)

@atok_baiq

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun