Mohon tunggu...
Ahmad Athoillah
Ahmad Athoillah Mohon Tunggu... Jurnalis - -------

--------

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Selamatkan Generasi Alpha dari Budaya 'Ndiluk'

6 Agustus 2017   12:26 Diperbarui: 7 Agustus 2017   07:05 1587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Ilustrasi blog.caplin.com

Anak: Bapak mbujuk, wong tadi saya lihat bapak lagi buka IG (Instagram). (ujar anak dalam hati, yang juga masih mandengi HaPe-nya).

Apa yang saya tulis di atas merupakan fiksi berdasarkan kondisi saat ini. Sebuah kehidupan modern di era digitalisasi. Diakui atau tidak, saat ini komunikasi dalam keluarga hampir seperti yang ada dalam percakapan bapak dan anak di atas. Indiluk. MandengiHaPe.

Pertanyaannya sekarang, apakah ini yang kita harapkan dari generasi penerus bangsa kita?. Sebuah generasi yang cara komunikasi dan interaksinya dengan ndilukdan mandengiHa-Pe. Sebuah kengerian hidup dalam bhineka kebudayaan bangsa Indonesia yang selama ini kita kenal dengan cara komunikasinya yang santun dan saling menghargai. Komunikasi yang menghargai lawan bicara dengan memandangnya. Komunikasi tidak meremehkan lawan bicara dengan alasan sibuk mandengiHaPe.

Saya sebagai generasi Y yang lahir tahun 80-an, cukup miris melihat hegemoni dunia digital seperti ini. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib bangsa ini jika diisi generasi penerus yang oportunis seperti ini. Generasi yang saat berkomunikasi hanya mementingkan diri sendiri. Sebuah budaya negatif yang bisa merubah toleransi menjadi intoleran.

Sebagai orang tua yang melahirkan generasi Alpa, termasuk saya sendiri. Kita harus segera sadar, bahwa budaya ndilukdan mandengiHaPe ini sangat tidak baik untuk kehidupan berbangsa. Sebuah bangsa yang selama ini menjunjung tinggi nilai-nilai cara komunikasi yang saling menghargai. Meskipun toh klaimnya lagi membaca berita atau artikel. Tapi tetap saja kebiasaan itu tidak baik di depan anak. Karena anak tidak tahu apa yang kita lakukan. Yang anak tahu hanya satu: bapaknya hobi banget memegang HaPe. Dan, itu dimulai sejak matahari belum terbit hingga matahari kembali tenggelam.

Kita belum terlambat. Mari kita rubah kebiasaan buruk yang selama ini kita lakukan. Jika memang pembaca yang budiman sudah biasa membaca berita atau artikel di pagi hari melalui layar gawai. Sekarang, saatnya kita rubah dengan budaya yang baru. Budaya membaca koran sambil ditemani secangkir teh atau kopi. Kenapa koran? Karena membaca koran itu, secara tidak langsung bisa menjadi teladan bagi anak. Sebuah teladan untuk membiasakan suka membaca sejak dini.


Anak: Ayah lagi ngapain? (tanya anak sambil melihat ayahnya).

Ayah: Ayah lagi baca berita. (jawab bapaknya sambil menaruh koran sebentar di meja).

Anak: Adik mau ikut baca. (balas sang anak menimplai jawaban bapaknya).

Nah, jika komunikasi yang seperti ini sudah terbangun. Maka, saatnya kita sebagai orang tua wajib menyediakan buku bacaan untuk anak-anak, sesuai dengan usianya. Dengan begitu, terbangunlah budaya membaca sejak dini. Bukan lagi budaya ndilukdan mandengiHaPe.

Untuk itu, ayo kita mulai dari sekarang. Membiasakan baca koran di waktu pagi. Semoga kebiasaan yang baik ini bisa melahirkan generasi penerus bangsa yang cinta membaca, sekaligus menjadi generasi yang mampu berkomunikasi dengan baik. Sebuah pola komunikasi yang saling menghargai dan menghormati. Tidak lagi menjadi generasi ndilukdan mandengiHaPe. (*)

Diposkan: Kolom Redaksi Jawa Pos Radar Bojonegoro (6/8)

@atok_baiq

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun