Mohon tunggu...
Juventi Permana Putri
Juventi Permana Putri Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menulis untuk berkarya Menulis untuk bercerita Menulis untuk memberi berita Menulis untuk memberi pada sesama

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam yang Mampu Menghipnotis Pembaca

23 Desember 2012   12:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:09 6660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sastra adalah pengetahuan puitik atau naratif. Pengetahuan ini dibungkus dengan simbol-simbol atau lambang-lambang, sehingga maknanya disampaikan secara tidak langsung atau makna kiasan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju dan modern sastra tidak hanya berjenis puitik atau puisi saja, tetapi lebih beragam. Contohnya dalam prosa ada banyak sekali jenis-jenis karya sastra yang berkembang seperti novel, roman dan cerpen. Salah satu jenis yang diminati saat ini adalah novel.

Novel berasal dari bahasa italia novella, yang dalam bahasa jerman Novelle, dan dalam bahasa Yunani novellus. Kemudian masuk ke Indonesia menjadi novel. Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cakupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus (Nurgiyantoro, 1995: 9). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (1995 : 694) Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.

Salah satu teori dalam teori sastra yang dapat digunakan untuk mengkaji sebuah novel adalah Teori Formal (Formalisme) yang mengkaji bentuknya atau unsur ekstrinsik kemudian yang paling banyak dibahas dalam teori ini adalah unsur intrinsik yang meliputi alur (plot), tokoh, latar (setting), sudut pandang, dan lain-lain, yang kesemuannya tentu bersifat naratif. Dan yang akan kita kaji di sini adalah novel karya Umar Kayam berjudul Para Priyayi.

Novel Para Priyayi ini adalah salah satu novel karya Umar Kayam yang terkenal pada periode 1990 an. Umar Kayam adalah salah satu sastrawan yang memadukan bahasa daerah yang kental dan bahasa Indonesia di dalam karyanya. Novel Para Priyayi ini disusun dengan rapi sesuai dan menceritakan hampir semua tiokoh yang ada di dalamnya. Ia menggambarkan bagaimana kehidupan pada saat itu. Umar Kayam adalah sastrawan yang berasal dari Ngawi, Jawa Timur. Sehingga ia membuat salah satu karyanya itu berlatarbelakangkan sekitar daerah tersebut.

Novel ini menggunakan alur campuran (maju-mundur) dan flashback (sorot balik). Pada awalnya memang membuat pembaca bingung bagamana alur yang digunakan karena menggambarkan Wanagalih hampir secara keseluruhan. Ketika masuk di bagian Lantip barulah dapat diketahui bagaimana alur dan maksud cerita. Alur sorot balik nampak dominan pada novel ini. Seperti pada bagian Lantip yang menceritakan bagaimana awal kehidupan. Lantip yang awalnya anak desa yang tidak bersekolah disekolahkan oleh priyayi bernama Sastrodarsono.

Setelah menceritakan tentang Lantip yang didominasi dengan alur sorot balik kehidupan Lantip. Pada bagian kedua yang menceritakan Sastrodarsono itu nampak jelas sekali bahwa Umar Kayam menggunakan alur mundur. Karena sebelumnya diceritakan bahwa Sastrodarsono adalah priyayi. Tetapi pada bagian kedua itu Umar Kayam juga menggunakan alur campuran. Alur mundur ketika menceritakan siapa dan berasal darimana Sastrodarsono dan alur maju ketika bagaiman lika-liku kehidupan Sastrodarsono hingga ia menjadi priyayi.

Setelah menceritakan segala tentang Sastrodarsono dan keluarganya pada bagian kedua, selanjutnya menceritakan bagaimana kisah hidup masing-masing tokoh dalam novel tersebut. Alur yang digunakan juga sama yaitu alur campuran. Dengan menggunakan alur campuran seperti itu, maka novel Para Priyayi ini menjadi lebih hidup. Karena, dengan menceritakan lika-liku kehidupan semua tokoh yang ada dalam novel tersebut dapat membuat pembaca merasa mengenal semua tokoh yang ada di dalam novel tersebut.

Novel ini juga merupakan salah satu novel yang menarik karena alurnya. Banyak novel-novel di Indonesia yang menggunakan alur campuran semacam itu. Karena alur yang campuran dapat merangsang pembaca untuk terus mengikuti cerita dalam novel tersebut. Sehingga, pembaca akan muncul rasa penasaran dengan jalan cerita dalam novel dan akan terus membaca sampai cerita dalam novel itu selesai dan mengungkap semua rasa penasaran akan jalan cerita dalam novel tersebut.

Tokoh-tokoh yang ada dalam novel Para Priyayi ni sangat bermacam-macam dan banyak sekali. Karena sebenarnya makna dari judul Para Priyayi adalah menceritakan bagaimana kehidupan orang-orang yang dianggap sebagai priyayi ada saat itu. Sehingga, hampir semua tokoh yang ada dalam novel tersebut dijabarkan dan djelaskan satu per satu.

Pembagian tokoh ada 3 jenis, berdasarkan tipe, berdasarkan peran dan berdasarkan watak. Yang selama ini kita tahu bersama-sama hanyalah berdasarkan peran dan watak saja. Padahal, tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra khususnya novel itu dapat dibedakan berdasarkan tipe sifat-sifatnya. Pembagian berdasarkan tipe sifat tokoh ini dibagi menjadi dua yaitu tipologis dan psikologis. Jika masuk dalam tipologis maka sifat tokoh itu jika baik akan baik terus, jika buruk akan buruk terus. Seperti tokoh Sunandar dalam novel Para Priyayi ini, walaupun Sunandar dididik dengan keras oleh Sastrodarsono, tetapi sifat nya tetap tidak berubah hingga maninggal pun sifatnya yang buruk dan badung itu tidak berubah. Jika masuik dalam tipe psikologis, maka sifat tokoh itu berubah-rubah yang sifatnya baik bisa menjadi buruk dan yang sifatnya buruk bisa menjadi baik. Seperti tokoh Pak Martokebo yang awalnya baik kepada tetangga-tetangganya berubah menjadi buruk dan menangkap semua tetangganya yang tidak bersalah, karena terpengaruh oleh PKI yang sedang merajalela di Wanagalih.

Berdasarkan perannya ada tokoh utama dan tokoh sampingan atau pembantu. Dalam novel Para Priyayi ini ada banyak tokoh utama yang diceritakan dalam novel. Yaitu Sastrodarsono, Dik Ngaisah (Istri Sastrodarsono), Lantip, Hardojo, Noegroho dan Harimurti. Tokoh-tokoh tersebut yang banyak diceritakan jalan kehidupannya. Tokoh-tokoh tersebut juga banyak berperan dalam setiap bagiannya, karena mereka adalah priyayi-priyayi yang dipilih oleh penulis yaitu Umar Kayam untuk menjadi tokoh-tokoh yang dominan dalam novelnya.

Setelah itu, berdasarkan watak. Pembagian tokoh berdasarkan wataknya dibagi menjadi dua. Tokoh antagonis dan tokoh protagonis. Tokoh antagonis adalah tokoh yang berwatak antagonistis yaitu watak yang selalu menentang tokoh utama. Contoh dalam novel Para Priyayi ini adalah Sunandar yang tidak pernah mendengarkan dan selalu membuat ulah di sekolahnya, sehingga ia harus terpaksa ditarik keluar oleh Sastrodarsono. Setelah ia tak bersekolah lagi, ia diberi tugas untuk menjaga kebun belakang rumah Sastrodarsono, tetapi wataknya tetap seperti itu. Ketika ia diberi tanggung jawa oleh Sastrodarsono untuk mengajar di Wanalawas ia malah menghamili gadis Wanalawas dan mencuri uang tabungan gadis itu dan emboknya. Tokoh protagonis adalah tokoh yang berwatak baik atau bertolak belakang dengan watak tokoh antagonis. Banyak sekali tokoh di dalam novel Para priyayi ini yang berwatak protagonis. Seperti tokoh Lantip yang baik budi pekertinya, ia dapat memosisikan dirinya sesuai dengan perannya. Ketika ia belum diangkat anak oleh Hardojo, salah satu anak Sastrodarsono, ia tidak bertindak sombong dan congkak. Tetapi, ia malah bersikap sopan dan sangat baik, walaupun ia seorang anak dari Sunandar salah satu tokoh antagonis dalam novel tersebut. Kemudian tokoh Hardojo yang tidak marah ketika ia dihadapkan sebuah kenyataan bahwa hubungannya dengan kekasihnya yang bernama Nunuk atau biasa ia panggil dengan sebutan Dik Nunuk tidak direstui oleh keluarganya karena Nunuk adalah penganut agama Katholik. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh protagonist yang ada di dalam novel tersebut.

Memang banyak sekali tokoh-tokoh dengan watak protagonis, karena sebenarnya novel ini mengajarkan bagaimana kita dapat berbuat baik kepada semua orang. Selain itu, novel Para Priyayi ini juga secara tidak langsung memberikan sugesti kepada pembacanya bahwa ketika seseorang dalam posisi jabatan yang tinggi di dalam masyarakat dan dipandang di masyarakat, hendaknya tidak sombong dan dapat menjadi contoh yang baik untuk keluarga, saudara dan para tetangganya.

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa sang penulis yaitu Umar Kayam menggunakan latar ibukota kabupaten yaitu Wanagalih dan daerah-daerah di sekitar Wanagalih. Seperti, Desa Wanalawas, Desa Kedungsimo, Desa Jogorogo. Selain itu dalam novel in juga disebutkan berbagai latar tempat dimana tokoh-tokoh itu berada dan bekerja. Seperti pada bagian Hardojo yang mengajar di sekolah HIS di Wonogiri dan temat Nunuk bekerja yaitu di sekolah HIS di Solo. Pada bagian Noegroho dimana ia bekerja mengajar sebagai guru di Sekolah Rakyat Sempurna di Jetis, Yogyakarta dan di Bantul, Yogyakarta ketika Noegroho menjadi daidan atau menjadi opsir Peta pada zaman Jepang itu.

Selain latar tempat, ada latar suasana yang terlihat secara jelas dalam novel Para Priyayi ini. Latar suasana yang digunakan Umar Kayam sangat beragam. Mulai dari suasana ketika zaman penjajahan Belanda yang dibuktikan dengan kosakata-kosakata bahasa Belanda dan sebutan-sebutan yang digunakan pada saat itu seperti gupermen, School Opziener, dan yang lainnya. Umar Kayam juga menuliskan dengan jelas ketika Indonesia berada dalam masa penjajahan Jepang. Hal itu dapat dibuktikan dengan penggunaan banyak kosakata-kosakata dalam bahasa Jepang seperti, Kyoren, daidan, chudancho, bushido dan yang lainnya. Tidak hanya itu, pada masa maraknya PKI dan Lekra pun digambarkan dengan jelas. Contohnya ketika Umar Kayam menuliskan bagaimana hukuman-hukuman mati yang disaksikan oleh Lantip di alun-alun Wanagalih. Di situ digambarkan dengan jelas bagaimana proses hukuman itu dari yang ditembak mati, disiksa bahkan sampai yang dipenggal kepalanya. Suasana itu nampak jelas ketika eksekusi Pak Haji Mansyur yang ditembak mati karena ia adalah salah satu tokoh agama. Pada masa PKI telah selesai, masa pembersihan-pembersihan terhadap pangikut-pengikut PKI pun nampak jelas sekali, ketika pada bagian Harimurti, anak Hardojo yang aktif di organisasi Lekra yang dianggap sebagai bagian dari PKi. Sehingga, Harimurti harus diserahkan kepada tentara untuk diamankan.

Setelah kita membahas aspek-aspek yang menarik dalam novel Umar Kayam ini semakin jelas bahwa sebuah karya sastra itu harus memiliki unsure intrinsik dan ekstrinsik yang padu agar karya sastra itu lebih menarik minat pembaca. Selain itu, dalam novel Para Priyayi ini Umar Kayam menunjukkan bahwa alur campuran yang ia gunakan, tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya, dari peran, watak dan tipe sifat dapat dipahami dengan mudah jika dilihat dari keseluruhan isi dalam novel tersebut. Dibalik presepsi pembaca ketika membaca awal cerita yang mungkin menganggap tidak jelas terdapat hal-hal yang menarik di dalamnya. Seperti yang telah disebutkan di atas, hampir semua aspek digunakan oleh Umar Kayam sehingga menghasilkan sebuah novel dengan isi yang padu, jalan cerita yang menarik dan penggambaran suasana yang sangat jelas. Sehingga, novel ini dapat menghipnotis pembaca agar tidak meninggalkan begitu saja dan membacanya sampai bagian akhir novel tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun