Gerakan Perempuan: Still Going Strong. Tidak Banyak Bikin Onar
Wanita berani bersuara djangan sadja di waktu perajaan2 khusus wanita seperti Hari Kartini, Hari Ibu dll…”
Nila Kusuma,Perempuan dan Organisasinyadalam Pikiran Rakjat, 25 September 1950
Cukup menarik juga bahwa kaum perempuan di kota Bandung rajin menyuarakan aspirasinya. Dalam 1950 sejumlah perkumpulan mengadakan pertemuan.Pada 26 Februari 1950 di Gedung Perhimpunan Saudara di Dalem Kaumperkumpulan yang menamakan dirinya Simpanan Putri Indonesia Bandung (SPIB) danPerkiwa (Partai Kebangsaan Indonesia bagian wanita mengadakan konperensi.
Konperensi yang dimotori Rumsari, Halimah Purwana dan Tatih Kartakusuma menyerukan agar kaum wanita (mereka tidak memakai istilah perempuan) terlibat dalam perekonomian. Di antaranya memperbanyak hasil produksi industri rumah tangga, menggarap tanah kosongdan mengadakan koperasi khusus wanita.Perkumpulan ini mengumumkan bahwa mereka siap bergerak dengan uang kas sebesar f 5.901,80 saldo kas akhir 1949 (Persatuan, 28 Februari 1950),
Setelah delapan tahun gerakan yang mengarah ke koperasi ini baru memperlihatkan hasil nyata. Sekalipun buahnya tidak di Bandung.Salah seorang tokohnya Halimah Purwana pada11 Mei Tahun 1958, berhasil membentuk Koperasi Bank Wanita Purwakarta dengan modal pertama Rp. 520,- (lima ratus dua puluh rupiah), dengan jumlah anggota 30 orang,
Pada6 Juni 1950 giliran kelompok wanita dari PNI Bandung dan beberapa perkumpulan wanita mengadakan pertemuan dengan Jusupadi, tokoh wanita dari PNI Yogyakartauntuk membahas antara lain bagaimana bisa mendapatkan kursi DPR. Pertemuan diadakan di gedung Perhimpunan Saudara.Menurut Jusupadi seluruh kaum ibu seharusnya ikut mengisi kemerdekaan melalui jalur sosial dan politik.
Seandainya sampai terjadi perbedaan ideologi antara istri dan suami di rumah karena perbedaan partai politik bukan persoalan. Menurut Jusupadi perbedaan itu jadi bahan pertukaran pikiran di rumah.“Jangan hanya sampai Si Suami bersemangat dan SiIstri nggak tahu apa-apa.Jangan disangka juga bahwa suami lebih pintar.Sebetulnya di kalangankaum istripun ada jang lebih pintar dari laki-laki, sekalipun sama sekolahnya,” kata Jusupadi.(Fikiran Rakjat, 7 Juni 1950).
Seorang jurnalis bernama Nilakusuma dalam tulisannya Perempuan dan Organisasinya dalam harian Pikiran Rakjat 25 September 1950 melihat kelemahan para perempuan yang memasuki organisasi campuran, termasuk partai politik kurang efektif membela nasib perempuan, sering menyisihkan diri dan rendah diri. Itu sebabnya diperlukan organisasi khusus wanita.
Menurut Nilakusuma kecenderungan organisasi perempuan di Bandung adalah Still Going Strong dan tidak banyak bikin onar. Mereka lebih suka bekerja yang mempunyai faedah, bergerak, menuntut dan berkurban pada tempatnya. Mereka tidak banyak mengeluarkan kata-kata yang tidak ada gunanya.
Dia juga menyorot baik kaum laki-laki dan perempuan yang masuk dalam partai politiklebihmementingkan masalah partainya daripada masalah seperti pelacuran, perkawinan yang tidak adil hingga masalah perekonomian dapur. Menurut Nilakusuma masalah pelacuran selalu disalahkan pada perempuan. Termasuk oleh perempuan yang menjadi anggota partai. Padahal pelacur adalah perempuan juga yang harus dipecahkan masalahnya terutama kalangan perempuan.
Dalam tulisan yang lain yang juga berjudul Perempuan, Nilakusumamengungkapkan bahwaperbaikan moral tidak hanya pada kaum perempuan, tetapi juga kaum laki-laki.Alangkah baiknja djika kedua-belah pihak manusia di dalam sifat2nja bekerdja bersama-sama untuk perbaikan moral laki-laki dan wanita (Pikiran Rakjat, 12 Oktober 1950).
Masalah pelacuran menjadi agenda penting pemerintah Indonesia pada pertengahan 1950. Domine Warnes, Kepala Kantor Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Penerbitan Cabul dari Kementerian Sosial RIS meyebutkanbahwa terdapat 180ribu perempuan yang menjadi pelacur di seluruh Indonesia. menurut dia merosotnya perekonomian sebagai akibat pergolakan politik menyebabkan besarnya jumlah pelacur (Fikiran Rakjat, 9 Juni 1950).
Emansipasi perempuan di Bandung rupanya membuat polemik.Salah seorangyang pengkritik adalahDajat Hadjakusumahmembuat tulisan berjudulPerempuan: Tulisan Ini Hanja untuk Laki-laki dalam Pikiran Rakjat 7 September 1950 yang intinya memberikan hak-hak milik kepada perempuan merupakan langkah yang gila.Perempuan hanya hidup untuk hari ini dan kesukaannya hanya menghambur-hamburkan uang yang sudah payah dicari suaminya.
Oleh karena itu saja berpendapat bahwa perempuan tidak boleh diberi kekuasaan hak2 milik mengurus harta bendanja, tetapi selalu harus ada di bawah pengawasan laki2, ajahnya, suaminja, anaknja jang laki-laki…
Nilakusuma membalas tulisan itu dalam Pikiran Rakjat 11 September 1950bahwa gerakan emansipasi wanita tidaklah bermaksud mendiringkaum laki-laki ke belakang dan kaum wanita menduduki tempat di depan.Wanita hanya meminta duduk sama rendah, tegak sama tinggi dan saling menghargai, baik sebagai kawan maupun sebagai suami-istri.
Dalam tulisan berjudulPerempuan: Untuk Saudaraku Dajat Hardjakusumah, Nila juga mengungkapkan;Wanita ingin madju ingin berpengetahuan luas, ingin mendapat pendidikan tjerdas dengan maksud supaja dapat bertukar pikiran sehat dan dapat menjokong kewadjiban laki-laki. Nila juga menyorot perempuan yang dimkasud menghambur uang hanya segolongan wanita saja.
Selain Nilakusuma, ada seorang penulis cerpen perempuan bernama Nanie Sudarma. Paling tidak dia menulis dua cerpen di Pikiran Rakjat 26 Agustus 1950 dengan judul Kebaja Merah dan Kebon Djodo di edisi 8 September 1950.Kedua cerpen sederhanaitu mengisahkan hubungan lelaki-perempuan dengan relasi yang setara.
Kebaja Merah bercerita tentang seorang laki-laki yang tak sengaja bertemu seorang perempuan berkebaya merah di Pasar Malam Kenangan di Lapangan Merdeka, Jakarta. Si peremouan diceritakan kehilangan dompetnya ketika makan di sebuah restoran dan laki-laki itu yang membayarnya. Namun laki-laki itu tidak sempat berkenalan dengannya dan memasang iklan di surat kabar agar bisa bertemu. Ternyata Si Kebaya Merah itu sudah bersuami yang datang suaminya mengembalikan uangnya yang kemaerin dibayarkan. Sampai di akhir cerita mereka tidak pernah saling tahu namanya.
Kebon Jodo bercerita tentang pertemuan Haryati dengan seorang anak umur 4 tahun bernama Edi di Kebun Raya Bogor yang mengira dia ibunya yang baru turun dari surga. Akhirnya Haryati kasihan pada anak itu dan akhirnya berjodoh dengan ayah si anak yang baru dua bulan kehilangan istrinya. Dalam cerita ini Haryati diceritakan punya rasa kemanusian sendiri dan memilih suaminya karena kehendaknya sendiri.Begitu juga dalam Kebaya Merah si perempuan tetap memilih suaminya.
Kesadaran perempuan untuk maju di Bandung berakar dari awal abad ke 20, ketika Dewi Sartika, seorang perempuan dari keluarga priyayi Sunda yang punya semangat besar memajukan pendidikan perempuan mendirikan Sakola Istri (sekolah untuk perempuan) pada 1904.Tenaga pengajarnya tiga orang, yaitu Dewi Sartika sendiri dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid.
Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Apa yang dipelopori oleh Dewi Sartika ternyata menginspirasi sejumlah perempuan lain untuk mendirikan sekolah-sekolahuntuk kaum perempuan. Pada1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten. Itu artinya separuh dari jumlah kabupaten yang ada di Pasundan.
Partisipasi politik perempuan di parlemen waktu itu minim.Di DPRDS Kota Bandung terdapat seorang perempuan Hadidjah Salim dari Blok Islam. Kiprah aktifis Muhamadyah Bandung ini ditulis oleh Erni Haryanti dalam Hj. Hadijah Salim Pejuang sosial Keagamaan dalam kumpulan tulisan Ulama Perempuan Indonesia, Gramedia, 2002. Hadidjah disebutkan pada 1939 memimpin Sekolah Mu’alimat di Jalan Sumedang (sekarang Otto Iskandar Dinata).Pada Masa Revolusi perempuan berdarah Minangkabau dan lahir di Aceh 1920 ini berjuang di Gerakan Muslimat, bagian wanita dari GPII selain mengelola dapur umum.
Sementara di DPRDS Jawa Barat terdapat nama Erna Djajadiningrat dari Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia). Dalam Perang Kemerdekaan putri dari Bupati Serang ini dikenal mengkoordinasi Dapur Umum di Jakarta. Selain Erna, terdapat Ny. Sutarman namun tak banyak referensi ditemukan kiprahnya. Dari Kelompok Muslimat ada nama Ny.Ratu Widari Buhori dan Ny. Dr. Abuhanifah.
Irvan Sjafari
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI