Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Mereka Kembali", Film Perjuangan Pertama yang Memikat Saya

20 Agustus 2017   22:34 Diperbarui: 21 Agustus 2017   17:59 8413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster | bambangssantoso.wordpress.com

Suatu hari pada pertengahan 1970-an, kami sekeluarga menonton film di Drive In, saya lupa film apa. Waktu istirahat di resto saya melihat poster dan adegan film Indonesia berjudul "Mereka Kembali" sebagai film yang akan diputar atau "Akan Datang". Saya baru bisa baca waktu itu dan tahu itu film perjuangan kemerdekaan (yang sejarahnya masih sedikit saya ketahui).

Yang saya tahu Indonesia itu melawan Belanda, tetapi ada adegan pejuang Indonesia bertempur dengan pasukan yang berpakaian hitam-hitam. "Siapa mereka Papa?" dan "Film apa ini?" saya bertanya. Ayah saya menjawab, "Itu tentang Long March Siliwangi kembali ke Jawa Barat dan itu pasukan Darul Islam," jawab ayah saya. Itu awal saya tertarik pada film perjuangan.

Pada waktu itu belum mengerti mengapa dan buat apa mereka baku hantam? Bukankah musuh Indonesia itu Belanda? Saya langsung memasukan film ini sebagai buruan yang harus ditonton. Akhirnya kesampaian kami sekeluarga menonton film itu.

Bagi saya (kecil) film itu luar biasa karena bukan saja film perang (kemerdekaan), tetapi juga petualangan mendebarkan. Saya bayangkan kalau berada di tengah pasukan Siliwangi kembali ke daerah yang ditinggalkannya dan tidak pernah tahu mereka menghadapi apa di depan mereka.

Perjalanan pulang sejauh sekitar 450 Km, jalan kaki pula dan memakan waktu sekitar dua bulan (menurut berapa referensi) bagi saya luar biasa. Saya menontonnya beberapa kali di video dan Youtube.

Plot dan review: romantisme dan tragedi selama perjalanan
Opening scene sejumlah tentara Siliwangi sedang mandi bersama di sungai. Tentara yang mandi itu kemudian bersiaga setelah mendengar tembakan yang mereka ketahui tentara Belanda menyerang. Untuk sinematografi masa itu adegan pertempuran bisa digambarkan dengan baik. Baku tembak di Maguwo begitu seru.

Adegan Agresi Belanda ini diselingi narasi tentang Perjanjian Renville 18 Januari 1948 yang mengharuskan tentara Siliwangi hijrah ke Yogyakarta meninggalkan Jawa Barat. Mereka hijrah membawa keluarga mereka. Belanda kemudian membatalkan Perjanjian Renville dengan menyerang Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Panglima Sudirman akhirnya memerintahkan: Perintah Siasat Nomor 1, yang intinya Pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat.

Pasukan Siliwangi kembali dan ada yang membawa keluarga mereka membuat cerita menjadi dramatis. Misalnya saja seorang tentara yang istri yang sedang hamil tertembak pesawat mustang Kerajaan Belanda. Tentara itu meraih senjatanya dan mencoba menembak mustang itu dan akhirnya ia sendiri tertembak dan gugur di samping istrinya. Begitu romantis.

Ada adegan romantis lain: pasangan yang ingin sehidup dan semati dalam perjuangan. Hingga tidak mau dipisahkan dan akhirnya malah pasangannya yang gugur.

Namun adegan yang paling menegangkan di segmen ini ialah pasukan Siliwangi hendak melalui sebuah kolong jembatan. Konvoi pasukan Belanda berada di atas jembatan karena sebuah kendaraan mengalami kerusakan. Jika sampai terjadi baku tembak maka korban sipil di pihak Siliwangi akan jatuh.

Ketika itu Udin, seorang serdadu Siliwangi diberitahu istrinya hendak melahirkan malam itu. Padahal Sang Istri sedang bereda di seberang kolong. Dia harus merayap bersama seorang kawannya yang bisa membantu melahirkan ke dalam kolong dan tanpa harus diketahui Belanda. Bayi berhasil dilahirkan dan tangisannya bisa didengar tentara Belanda. Beruntung mesin mobil berbunyi menutup suara tangis itu dan mereka berlalu tanpa pertempuran.

Pada segmen Jawa Tengah itu diceritakan lawan utama pasukan Siliwangi di bagian salah satu tokoh utamanya bernama Anwar berhadapan dengan Van Der Klot, yang diperankan dengan baik oleh Hamid Arief. Bintang ini memang pas memainkan karakter Belanda dalam trilogi Pitung, Hamid Arief pemeran Schout Hinne lawan utama Pitung.

Lewat dialog Klot, Lurah NICA dan penduduk desa terungkap bahwa kamu orang Indonesia boleh merdeka tetapi seratus tahun lagi (karena masih dianggap bodoh). Alasan Belanda sebetulnya masih ingin menjajah Indonesia karena keserakahan. 

Ada bumbu humor diselipkan ketika seorang Indonesia melaporkan bahwa melihat pejuang dengan menyebut Van Der Klot sebagai Van Der Kolot. Tentu saja orang Klot marah: Vander Klot monyet. Dengan entengnya pelapor itu menyebut, "Ya, Van Der Kolot, Monyet."

Segmen Jawa Tengah ini berakhir dengan tewasnya kedua tokoh antagonis, Van Der Klot dan Lurah NICA itu. Secara sinematografi tentu saja ada hal yang luput misalnya kok bisa ada bir dengan merek tahun 1970-an masa itu? Kalau ada serdadu Belanda mati dengan botol minuman keras di sampingnya masih bisa diterima.

Pada segmen ini seperti dalam film perjuangan umumnya hingga sekarang. Stereotype orang bule suka minum miras kadang berlebihan, misalnya di tengah situasi yang begitu genting. Sekalipun kekejaman mereka pada orang Indonesia benar-benar seperti yang digambarkan dalam film itu. Apa yang dihadapi pasukan Siliwangi sama seperti pasukan lainnya. Misalnya menguburkan rekan mereka di tengah perjalanan jauh dari kampung halamannya membuat miris.

Saah satu adegan
Saah satu adegan
Segmen kedua film ini baru tragedi sebenarnya. Adegan bahwa Siliwangi kembali ke Jawa Barat ditandai dengan baik oleh musik suling dan salat di langgar. Ada adegan sebagian tentara salat bersama. Saya ingat ucapan almarhum ayah ketika menonton bersama tanda wilayah itu sebagai wilayah Jawa Barat adalah banyak langgarnya.

Film itu kemudian menjadi dua alur, yaitu di sebuah kota sebuah keluarga kaya tengah mengalami kegalauan. Istri dan dua anak perempuannya (seorang di antaranya dimainkan Grace Simon yang waktu itu pendatang baru) memihak Republik. Sang Istri, gusar karena suaminya membiarkan dua anak perempuannya diajak ke klab perwira Belanda dan dilecehkan. Akhirnya mereka melarikan diri dan bergabung ke Republik.

Sementara di medan perjuangan pasukan Siliwangi sedang gamang karena mereka menghadapi gerombolan yang juga sebangsa Indonesia tetapi tidak diketahui kawan atau lawan. Bisa jadi ada kesatuan geriliya tidak mau ikut hijrah dan menetap di Jawa Barat. Itu sebabnya mereka mau diajak berunding dan untuk itu mereka masuk perangkap.

Adegan yang paling tragis di segmen ini ialah ketika tentara Siliwangi disambut di sebuah desa dan dijamu makanan. Ternyata makanan itu beracun. Padahal tentara itu merasagembira karena baru bertemu makanan yang enak setelah berjuang.

Lewat berapa adegan alasan DI/TII karena mereka merasa ditinggalkan oleh Republik (akibat perjanjian Renville) dan mereka mengkafirkan tentara Siliwangi. Itu sesuai dengan beberapa referensi sejarah kelompok itu merasa Jawa Barat "dijual". Tragis apalagi mengingat pimpinan utama DI, Kartosuwiryo adalah sahabat Soekarno sejak kecil.

Film ini berakhir dengan gugurnya tokoh utama dalam film ini dalam baku tembak oleh bangsa sendiri. Sekalipun saya kurang puas dengan konklusi film ini yang tidak tuntas, tetapi bagi saya hingga sekarang "Mereka Kembali" adalah film yang isinya patut direnungkan.

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun