Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Konten Prank dan Illusory Truth Effect

19 April 2024   21:10 Diperbarui: 20 April 2024   02:16 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Kompas.id

Konten-konten yang dibuat oleh konten kreator ini tidak hanya mampu mengancam kehidupan seseorang, tetapi juga berpotensi mengubah paradigma generasi muda.

Saya merasa tergelitik oleh fenomena viral yang terjadi belakangan ini, yaitu tentang konten kreator yang membuat konten prank yang dinilai sangat membahayakan bagi para korbannya.

Salah satu contoh konten prank yang viral adalah ketika seorang ojek online diteriaki sebagai begal. Kemudian, secara mandiri, banyak netizen melaporkan bahwa konten kreator tersebut banyak melakukan konten prank yang berpotensi membuat orang salah paham dan membahayakan. 

Konten-konten semacam ini tentu saja sangat berpotensi menimbulkan bahaya yang besar, karena dapat menimbulkan kebingungan dan emosi massa yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kekerasan terhadap korban.

Namun, bahaya yang lebih besar dari konten semacam ini adalah efek Illusory Truth Effect, di mana sebuah kebiasaan mampu mengubah paradigma seseorang dan meyakinkannya terhadap sesuatu. 

Sanksi Hukum

Saya khawatir bahwa tanpa sanksi yang tegas terhadap konten semacam itu, mental generasi muda akan menjadi korban. Mereka akan terbiasa dengan konten sampah yang dapat mengikis semangat kejujuran dalam kehidupan mereka.


Masih ingatkah dengan kasus prank yang melibatkan salah satu selebritis, yang membuat konten seolah-olah menjadi korban KDRT? Pada akhirnya, keduanya dilaporkan oleh beberapa warga kepada aparat kepolisian, seperti yang dilaporkan oleh kompas.com pada Desember 2022. 

Laporan dari warga yang merasa resah terhadap konten kedua selebritis tersebut berhasil menghentikan viralnya video prank tersebut. Yang membuat saya tak habis pikir adalah bagaimana mereka membuat konten tanpa mempertimbangkan dampak hukum yang bisa terjadi akibat konten prank yang mereka buat. 

Banyak masyarakat yang merasa resah sehingga akhirnya melaporkan mereka atas tuduhan laporan palsu, meskipun hanya sekedar prank. Tindakan ini patut diapresiasi karena merupakan bentuk kepedulian masyarakat terhadap penegakan perilaku kejujuran dan etika yang seharusnya tetap diterapkan, meskipun dalam konteks prank.

Lebih baik lagi jika yang terlibat tidak hanya masyarakat saja, melainkan berbagai elemen negara yang terkait dengan penyiaran konten juga harus sigap dalam memberikan sanksi hukum pada konten kreator yang membuat video konten palsu, penghinaan, ataupun pencemaran nama baik. 

Terutama untuk jenis konten seperti konten prank yang melibatkan aparat penegak hukum, seperti yang dilakukan oleh kedua selebritis di atas, jenis konten ini terkesan merendahkan marwah aparat penegakan hukum. 

Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara masyarakat dan berbagai lembaga negara untuk menghalau konten-konten yang maaf, dapat disebut sebagai "konten sampah".

Konten semacam ini tidak memiliki faedah, tidak memberikan manfaat, dan bahkan dapat merugikan orang lain, malah lebih lanjut membuat bias terhadap kejujuran. 

Yang lebih memprihatinkan lagi adalah dampak negatifnya terhadap kejujuran karena sebuah alasan konten yang semata-mata sebagai prank. Sudah seharusnya konten-konten yang tidak berguna dan merugikan ini dihilangkan dari deretan konten kreator yang bertebaran di media sosial. 

Sanksi Sosial

Kita seharusnya merasa resah terhadap berbagai konten yang tidak etis, karena inilah filter yang mampu menimbang apakah suatu hal pantas atau tidak pantas dalam masyarakat. 

Jika sanksi hukum tidak mampu menjerat konten kreator yang membuat konten tersebut, kadang sanksi sosial justru akan sangat efektif dalam membendung viralnya konten sampah ini melalui praktek cancel culture.

Dikutip dari parapuan.co, menurut Dr. Firman Kurniawan S., seorang pemerhati budaya dan pakar komunikasi digital dari Universitas Indonesia, bentuk cancel culture tidak hanya berupa pernyataan kebencian, tetapi juga menarik mundur dukungan. 

Dengan cancel culture ini, langkah konten kreator dapat terhenti, sehingga konten asal-asalan yang mereka buat akan ditinggalkan oleh publik sampai dianggap tidak layak lagi untuk dilihat. Hal ini tentu saja akan sangat bermanfaat, karena dapat mencegah masyarakat dari paparan konten yang tidak etis.

Cancel culture juga berperan sebagai sanksi sosial yang diharapkan dapat membuat pelaku merasa jera dan mendorong konten kreator lainnya untuk lebih bijak dalam membuat konten. Saya percaya bahwa ini adalah langkah yang efektif dalam membendung penyebaran konten yang tidak bermanfaat dan bahkan berbahaya bagi generasi muda.

Dengan semakin banyaknya konten kreator yang bermunculan, masyarakat harus semakin cerdas dalam menyaring berbagai konten yang dibuat. Diperlukan langkah tegas dan konsisten dari seluruh masyarakat untuk menerapkan cancel culture sebagai upaya penyelamatan paradigma generasi muda.

Wasana Kata

Mengapa harus tegas? Karena konten ini memiliki potensi untuk menciptakan bias terhadap kebenaran dan mengurangi semangat saling menghormati di antara kita. 

Jika konten prank semacam ini terus dilegalkan, tidak dapat dipungkiri bahwa generasi muda mungkin akan kehilangan rasa hormat terhadap orang lain dan kejujuran.

Menurut Zahrotul dalam kumparan, pada tahun 1977, Dr. Lynn Hasher dan rekan-rekannya menyimpulkan bahwa ketika seseorang dihadapkan dengan sebuah isu, mereka cenderung mempercayai informasi tersebut berdasarkan seberapa sering mereka telah mendengarnya, bukan berdasarkan kebenaran faktualnya. 

Efek ini dikenal sebagai Illusory truth effect atau efek kebenaran ilusi, di mana orang menjadi yakin terhadap kebenaran sebuah informasi hanya karena sering terpapar olehnya. Ini adalah fenomena yang menakutkan, karena konten bukan hanya sekadar konten, tetapi juga membawa tanggung jawab besar.

Indonesia, sebagai peringkat kedua pengguna TikTok di dunia setelah Amerika Serikat, memiliki potensi besar dalam mengubah paradigma dan perilaku generasi muda melalui konten yang disebarkan di media sosial. 

Kita harus merasa khawatir mengenai hal ini bersama-sama. Meskipun konten kreatif yang bermanfaat dapat memberikan dampak positif, seringkali konten yang kontroversial atau tidak etislah yang justru menjadi viral.

Data menunjukkan bahwa rentang usia 18 hingga 34 tahun adalah pengguna terbesar TikTok secara global. Artinya, konten yang dibuat oleh konten kreator sangat berpengaruh dalam membentuk opini dan perilaku generasi muda. 

Illusory truth effect, efek ini merupakan ancaman yang serius yang mungkin belum banyak disadari oleh banyak orang.

Kita harus bertindak sekarang. Sebagai masyarakat, kita perlu menjadi cerdas dan peduli dengan melaporkan konten-konten yang tidak etis. Hal ini dilakukan demi menjaga generasi muda Indonesia agar tidak kehilangan rasa hormat terhadap sesama dan untuk mencegah normalisasi kebohongan yang disebabkan oleh paparan prank konten yang tak terbendung.

Negara juga harus ambil bagian dengan tegas memilah konten yang layak atau tidak untuk ditayangkan, dan platform media sosial harus bertanggung jawab atas konten yang diunggah di platform mereka. 

Dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan platform media sosial, Indonesia dapat membersihkan lingkungan digitalnya dan menciptakan budaya online yang positif. Mari bersama-sama menjadikan Indonesia bersih dari konten sampah demi Indonesia lestari. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun