Mohon tunggu...
Julkhaidar Romadhon
Julkhaidar Romadhon Mohon Tunggu... Administrasi - Kandidat Doktor Pertanian UNSRI

Pengamat Pertanian Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya. Http//:fokuspangan.wordpress.com Melihat sisi lain kebijakan pangan pemerintah secara objektif. Mengkritisi sekaligus menawarkan solusi demi kejayaan negeri.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kebijakan Perberasan Wajib Direview

14 November 2019   10:28 Diperbarui: 14 November 2019   10:37 911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Riset ADB (Asian Development Bank) bersama International Food Policy Research Institute (IFRI) didukung Kementerian Bappenas yang menyatakan di era 2016-2018 sebanyak 22 juta orang di Indonesia menderita kelaparan, merupakan tantangan yang harus dijawab oleh Menteri Koordinator Perekonomian yang baru, Airlangga Hartarto.

Hal ini disebabkan karena Menko Perekonomian membawahi langsung kementerian teknis yang meliputi, Kementerian Keuangan, Perdagangan, Perindustrian, Pertanian, PUPR, Lingkungan hidup, Ketenagakerjaan, Agraria, Koperasi dan UKUM serta Badan Usaha Milik Negara.

dokpri
dokpri
Riset ADB (Asian Development Bank)

Baru-baru ini, ADB (Asian Development Bank) bersama International Food Policy Research Institute (IFRI) didukung Kementerian Bappenas mengeluarkan sebuah publikasi bertajuk 'Policies to Support Investment Requirements of Indonesia's Food and Agriculture Development During 2020-2045.

Dalam riset tersebut terungkap pada era 2016-2018 sebanyak 22 juta orang di Indonesia menderita kelaparan. "Banyak dari mereka tidak mendapatkan makanan yang cukup dan anak-anak mereka cenderung stunting, membuat mereka dalam lingkaran setan kemiskinan selama beberapa generasi. Pada 2016-2018 sekitar 22 juta orang di Indonesia masih menderita kelaparan.

Logikanya seperti apa?

Kita harus ingat, adalah fakta yang sampai sekarang tidak terbantahkan bahwa beras masih tetap merupakan makanan pokok rakyat Indonesia. Artinya disini, dalam menu yang disantap sehari-hari nasi wajib harus selalu tersedia. Jika kita komposisikan nasi sebagai karbohidrat mengambil proporsi menu makanan sekitar 70-80%, dan ini merupakan ciri utama dari negara berkembang.

Sehingga wajar, ketika beras mengalami guncangan baik dari sisi ketersediaan dan kestabilan harga maka akan langsung berimbas kepada sektor perekonomian lain. Hal ini bisa dibuktikan dari andil yang besar terhadap inflasi.

Laporan Bank Indonesia tahun 2007, bagi negara berkembang seperti Indonesia, pasar produk makanan (pangan) merupakan salah satu pasar barang yang memegang peran kunci dalam penentuan laju inflasi. Sebagai contoh, pada periode 2002 - 2007, rata-rata kontribusi kelompok makanan terhadap laju inflasi mencapai lebih dari 50%. Komoditas pangan yang memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap laju inflasi di Indonesia adalah beras yaitu sebesar 24 persen (BPS, 2012)  

Itu pulalah yang menjadi dasar bahwa beras sampai saat ini selalu dipandang oleh Negara sebagai komoditas strategis dan politis.

Sekarang kita lihat apa yang terjadi pada sektor perberasan saat ini?

Pemerintah pada tahun 2019 telah menerapkan kebijakan baru yaitu subsidi pangan yang bernama Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) serentak di seluruh Indonesia. Kebijakan tersebut menggantikan kebijakan subsidi pangan yang lama yaitu bantuan beras sejahtera (rastra). 

Namun, buntut dihapuskannya program rastra akhirnya turut merombak sejumlah kebijakan perberasan yang lain.  Akibat kebijakan rastra yang selama puluhan tahun sudah"on the track" dihapuskan, telah mengakibatkan dampak yang sangat signifikan dan berimbas bagi bangsa ini. Dampak yang telah dirasakan tentu meningkatnya jumlah kemiskinan berdasarkan laporan ADB.

Serta yang tidak kalah penting adalah BUMN BULOG yang berurusan dengan sektor perberasan dan berada dibawah kendali Kemenko Perekonomian harus menanggung bunga utang Rp 10 Miliar per hari dan diambang kebangkrutan.

Konsep kebijakan perberasan yang sudah dijalankan pemerintah selama puluhan tahun sebenarnya sudah sangat terintegrasi. Telah terjadi keseimbangan antara dua sisi yaitu hulu dan hilir. Dari sisi hulu, pemerintah sudah menugaskan BULOG untuk membeli gabah beras petani sesuai dengan harga yang telah diatur dalam Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Sedangkan di sisi hilir, beras yang sudah diserapkan kemudian dibagikan kepada masyarakat miskin melalui program bantuan beras sejahtera (rastra).

Namun, pada awal 2015 pemerintah sudah mengambil ancang-ancang untuk mencoba menggantikan program rastra menjadi e-voucher. Konsep yang mengadopsi model subsidi makanan Amerika Serikat food stamp sudah berganti nama menjadi program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Tahun 2017, akhirnya program ini di ujicobakan di 44 Kota besar di Indonesia. Memasuki tahun 2018 ujicoba semakin diperbanyak dan puncaknya pada tahun 2019 program BPNT benar-benar dilaksanakan 100 persen.

Seiring dengan pelaksanaan program BPNT, di sisi yang lain program rastra juga mengalami perubahan. Semula bernama rastra dengan jatah masyarakat 15 kg per bulan dengan harga Rp 1.600 per kg, akhirnya berubah menjadi bansos rastra dengan jatah 10 kg per bulan namun gratis. Tepat pada Agustus 2019, rastra resmi ditiadakan di seluruh Provinsi di Indonesia.

Imbas besar dari pergantian kebijakan tersebut adalah terganggunya program swasembada pangan. Dengan masih tingginya stock beras yang dikuasai BULOG apalagi pada tahun 2019 berkisar 2,3 juta ton, ditambah lagi operasi pasar yang ditargetkan 10 ribu perhari hanya bisa terserap 3-4 ribu saja tentu sangat berdampak terhadap target serapan beras selanjutnya. Apalagi diatas sudah dikatakan oleh Dirut BULOG bahwa ia harus memikirkan bunga utang yang harus ditanggung sebesar 10 miliar per hari.

beritagar.id
beritagar.id
Sehingga bisa dimaklumi, jika proses pengadaan untuk membeli gabah/beras petani tidak akan berjalan efektif jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pertimbangan utama yang mendasarinya adalah hilangya saluran penyaluran berupa program rastra sebagai tempat menyalurkan hasil pembelian beras dari petani dalam negeri selama ini.

Harus diingat, bahwa beras merupakan komoditas yang sangat rentan mengalami kerusakan. Jika disimpan dalam waktu yang lama dan mengalami kerusakan tentu kerugian akan ditanggung oleh BULOG dan kembali kepada pemerintah juga akhirnya.

Dampak lanjutan yang sangat fatal dari tidak efektifnya penyerapan gabah/beras petani   adalah kejatuhan harga gabah beras di tingkat petani. Penyerapan yang berkurang di tingkat petani akan membuat para spekulan beras lebih besar memainkan perannya. Mereka akan semaunya menentukan harga gabah maupun beras dikarenakan tidak adanya pesaing dari pihak pemerintah. Peran yang sangat besar dari para mafia pangan tentu saja akan sangat sulit untuk diawasi oleh pemerintah.

Jika hal ini terjadi, anjloknya harga gabah beras pada tingkat petani sudah dapat dipastikan. Fenomena tersebut akan sulit untuk diatasi dan ini muaranya akan berimbas kepada menurunnya kesejahteraan petani sehingga berujung pada kemiskinan yang merajalela di perdesaan. Harus diingat bahwa berdasarkan laporan BPS pada Maret 2018, tingkat kemiskinan di perdesaan lebih tinggi di banding perkotaan, yaitu 13,47 persen berbanding 7,02 persen.

Selanjutnya, dengan sedikitnya stock beras yang dikuasai BULOG, maka intervensi pasar untuk stabilisasi harga oleh pemerintah menjadi tidak leluasa. Harga yang tidak terkendali akan mengakibatkan aktivitas perekonomian menjadi terganggu. Dampak paling parah terkena imbasnya dan paling merasakan tentu masyarakat miskin berpendapatan rendah dengan daya beli yang lemah. Sehingga akhirnya justru menambah jumlah masyarakat miskin di tanah air.

Kebijakan yang diambil pemerintah untuk menciptakan stabilisasi harga yang selama ini dilakukan oleh program rasta, malahan menjadi semakin aneh. Pemerintah justru menerapkan kebijakan lama yang kurang relevan lagi pada saat ini yaitu dengan mengeluarkan peraturan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras dan sejumlah bahan pokok lain. Bahkan instrument penegakannya menggunakan aparat penegak hukum yaitu Satgas Pangan. Tentu saja polemik dan kontroversi terjadi dari penerapan kebijakan tersebut, mulai dari penggerebekan pabrik beras hingga penolakan pedagang dan demo dari petani di berbagai penjuru tanah air.   

nusantaranews.com
nusantaranews.com
Tugas Menko Perekonomian

Menteri Perekonomian yang bertugas dalam hal korrdinasi dan sinkronisasi penyiapan dan penyusunan kebijakan harus segera cepat bertindak dan mencarikan solusi terbaik. Laporan ADB hendaknya jangan dianggap sebagai angin lalu atau pepesan kosong namun harus dianggap serius dan harus segera ditindaklanjuti. Jangan sampai justru penduduk yang kelaparan akan semakin meningkat dalam setiap laporan-laporan ADB selanjutnya.

Sebenarnya tidak sulit jika pemerintah yang dalam hal ini Kemenko Perekonomian untuk mengambil kebijakan cepat, apalagi memberlakukan kebijakan lama yang sudah terbukti dan teruji selama puluhan tahun. Kemenko Perekonomian tinggal melakukan sinkronisasi kebijakan kepada Kementerian yang ada dibawah koordinasinya, yaitu terutama terkait realokasi anggaran yang ada di bawah Kementerian Keuangan, pembelian gabah beras yang ada di Kementerian Pertanian dan terkait masalah stabilisasi harga yang berada di Kementerian Perdagangan.  Ada dua opsi yang bisa diambil oleh Airlangga Sutarto dan bisa segera diterapkan pelaksanaannya dengan cepat;

Pertama, mewajibkan Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI dan Polri untuk mengambil jatah berasnya ke BULOG. 

Waktu Menko Perekonomian masih dipegang Darmin Nasution, Dirut BULOG Budi Waseso sudah pernah mengusulkan namun dilakukan penolakan. Menurut Darmin, Bulog harus fokus dulu mengurus tata kelola dan distribusi beras untuk BPNT. Lemahnya waktu itu Menko belum mampu menganalisis efek domino yang terjadi akibat pemberlakuan BPNT secara komprehensif terhadap kebijakan perberasan keseluruhan, mulai dari sisi hilir maupun sisi hulu. 

Padahal, jika Bulog diperintahkan untuk menyalurkan beras kepada ASN, TNI dan POLRI, maka persoalan penumpukan stock beras di gudang bisa teratasi. Selanjutnya, secara tidak langsung ini juga wujud dari pelaksanaan stabilisasi harga yang mampu mengurangi tekanan permintaan beras ke pasaran umum. Imbas dari tercapainya stabilisasi harga sudah bisa dipastikan akan menjaga laju tingkat inflasi sekaligus menjamin lancarnya roda perekonomian. 

Tidak ada solusi lain untuk mengatasinya, Airlangga selaku Menko Perekonomian harus cepat menyampaikan hal ini kepada Presiden dan berkoordinasi dengan Kementerian yang lain. Karena, inilah momen yang tepat dimana publik akan melihat dan menilai kinerja Menteri dalam 100 hari pertama.

Kedua, menghentikan program BPNT dan memberlakukan program Rastra.

Perubahan transformasi program subsidi rastra menjadi BPNT pada waktu itu tidak dipandang secara komprehensif. Pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Sosial (Kemensos) hanya melihat sisi peningkatan inklusi keuangan, dimana penerima bantuan pangan non tunai yang mendapat kartu otomatis punya rekening bank. Apalagi Indonesia salah satu Negara terendah di Asia dimana tingkat inklusi keuangannya baru sekitar 60%.  

Padahal, pemerintah pada waktu itu sudah memberikan "clue" tentang kelemahan BPNT. Dimana, Pemerintah tidak bisa mengontrol harga pada agen/e warung dan menyerahkan beras kepada agen. "Pokoknya satu bulan penerima dapat Rp 110.000, dia bisa beli beras harga berapapun. Kalau dia mau beli yang lebih mahal juga silahkan.

Karena dengan kartu itu, warga miskin bisa membeli beras yang lebih mahal dan kualitasnya lebih bagus dari beras standar BULOG untuk rastra". Kecenderungannya, malah orang lebih suka beli beras yang kualitasnya lebih bagus, harganya lebih mahal tak masalah. Mau beras Rp. 8.000/kg tak masalah, Rp 10.000/kg tak masalah"

Pengurangan jumlah uang yang beredar di masyarakat merupakan bagian dari tujuan utama penerapan BPNT. Pemerintah berpikir, dengan berkurangnya uang yang beredar di masyarakat laju inflasi bisa lebih dikendalikan sesuai dengan yang diharapkan.

Padahal, sejatinya ketika penyaluran beras BULOG dalam rastra berjalan lancar maka kestabilan harga akan terjadi dengan sendirinya. Hal ini disebabkan karena beras merupakan komponen terbesar dalam mempengaruhi laju inflasi. Namun jika beras tidak tersalurkan di masyarakat maka pemerintah tidak akan bisa mengontrol harga beras di pasaran. Akibatnya malahan justru menggerek kenaikan harga yang lain tidak hanya pangan.

Disisi yang lain, kendala teknis banyak mengahantui dalam setiap penerapan program BPNT di lapangan. Pemerintah waktu itu sudah mengakui secara terang-terangan, bahwa tidak bisa memastikan apakah masyarakat benar-benar membeli beras dan telur. Hal ini bisa dibuktikan jika kita melihat laporan dari masyarakat banyak yang menyatakan bahwa komoditas beras yang didapat ditukar dengan komoditas lain selain beras. Atau bisa saja, mereka hanya meminta uangnya untuk dibelikan rokok dan mie instant yang justru sangat tidak dibolehkan.

Jika itu benar terjadi, hal ini sangat berbahaya dan bisa menjadi boomerang yang merugikan bagi pememrintah. Pemerintah yang semula tujuan utamanya mengurangi tingkat kemiskinan, malah secara tidak langsung mengeluarkan subsidi besar untuk biaya kesehatan. Kemungkinan besar hal ini bisa terjadi walaupun butuh kajian mendalam, jika berkaca dari defisitnya BPJS Kesehatan yang mecapai triliunan rupiah.

Pelaksanaan kembali program rastra akan memupus kendala teknis BPNT di lapangan yang telah disebutkan diatas. Beras yang disalurkan oleh Bulog, diketahui oleh perangkat pemerintah setempat selaku petugas distribusi. Mereka memastikan beras tersebut sudah sampai di rumah masyarakat penerima manfaat. Ini juga diketahui oleh sang isteri, sehingga kejadian penukaran beras dengan barang yang tidak sesuai seperti rokok tidak akan terjadi. 

tribunnews.com
tribunnews.com
Solusi ADB dan Guru Besar UNILA

Oleh karena itu, wajar jika Asian Development Bank dan Guru Besar Ilmu Pertanian Universitas Lampung memberikan solusi dengan kata kunci "realokasi anggaran dan subsidi".

"untuk menghapus kelaparan di Indonesia salah satu cara dengan merealokasi anggaran dan subsidi yang sudah terbukti kurang efektif" Bustanul Arifin Guru Besar Ilmu Pertanian Universitas Lampung.

Asian Development Bank juga memberikan solusi sama seperti yang ditawarkan oleh Bustanul Arifin yaitu perlu dilakukan realokasi anggaran dan subsidi serta perubahan regulasi.

Sehingga dapat disimpulkan, tidak ada solusi lain pada saat ini selain dua opsi yang telah saya sampaikan diatas. Karena jika solusi baru kembali ditawarkan pemerintah, maka akan banyak waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk dilakukan uji coba. Sedangkan di sisi lain, kebutuhan perut tidak bisa ditunda. Terlalu mahal harga yang dibayar oleh negara ini, jika kebijakan yang menyangkut hidup orang banyak hanya untuk coba-coba.

*) Kandidat Doktor Ilmu-Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya

    Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pangan Indonesia (JAMPI)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun