Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Padi Berisi Itu Merunduk ke Bawah

18 November 2019   15:25 Diperbarui: 18 November 2019   15:33 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kabartani.com

Kupandangi dengan seksama lelaki yang berdiri di hadapan para guru, peserta diklat PKP. Kurasa kupernah melihatnya, tapi di mana?

Ah...aku merasa begitu pelupa saat ini. Entah memikirkan para siswa yang dari waktu ke waktu kenakalannya sangat berbeda. Atau mungkin aku terlalu memikirkan beban hidup yang begitu berat. SK Pengangkatanku selalu berpindah dari satu bank ke bank yang lain. Aku begitu rajin menyekolahkan SKku itu. Kalau teman sejawatku tak serajin aku. Ya demi sekolah anak- anakku. Hanya itu sangu yang kuberikan untuk hidupnya. Jadi menyekolahkan SK kuanggap tak ada mubadzirnya.

Maklumlah, aku membesarkan empat anakku sendirian sepeninggal suamiku. Sementara suami tak memberikan peninggalan untukku membesarkan keempat anakku selain rumah mungil yang sampai saat ini masih kutempati.

Namun aku beruntung, Allah memberikan kenikmatan. Di saat aku terpuruk karena ditinggal suami, aku mendapat kesempatan pemberkasan guru honorer, sekitar tahun 2008. Alhamdulillah, meski usiaku tak lagi muda, akhirnya aku mendapat SK CPNS. Setahun kemudian SK PNS diserahkan kepadaku dan teman- teman honorer.

Jika tak ada kebijakan seperti itu, kuyakin nasibku lebih parah dari yang kualami. Aku lebih beruntung daripada para honorer yang belum jelas nasibnya, namun kini terancam terdepak dari sekolah tempatnya bekerja karena akan ada pendaftaran CPNS tahun ini.

Dari formasi pendaftaran, sekolah- sekolah akan mendapatkan jatah guru CPNS. Akibatnya para honorer sudah khawatir akan nasibnya. Maklumlah usia sudah lebih dari 35 tahun, sementara batas usia pendaftaran CPNS ya pada angka 35 tadi.

Ah...aku berharap dan berdoa, semoga pemerintah nanti memperhatikan nasib para honorer itu. Jangan sampai nasibnya seperti layang- layang yang putus benangnya.

**

Saat ini aku bersama peserta diklat sedang ishoma. Aku lebih memilih shalat dhuhur dulu. Di samping aku belum lapar, antrian prasmanan makan siang cukup banyak.

"Bu Djin, nanti keburu habis lauknya..." Bu Darmi mengingatkan aku. Maklum, kalau makan siang terus prasmanan itu sering kehabisan lauk.

Aku tersenyum.

"Tak apalah, bu Darmi. Yang penting masih ada nasi..." ujarku dengan santai.

**

Selepas shalat, aku segera ke ruang prasmanan. Aku mengambil piring di dekat pintu masuk, ku dekati meja prasmanan. Dan seperti tebakan bu Darmi, tak ada lauk yang tersisa. Aku celingukan. Mondar- mandir mengelilingi wadah lauk di meja. Ya sudah, yang penting ada nasi meski dengan koretan sambal dan kerupuk.

Aku mau menuju meja untuk makan di dekat meja prasmanan, tiba- tiba seseorang menyapaku.

"Bu Djin, habis lauknya ya, bu...?"

Aku mengangguk. Ah...rupanya lelaki yang menjadi instruktur di kelas tadi yang menyapaku. 

"Permisi ya, pak..."

Lelaki gagah dan tampan yang usianya kuperkirakan sepantaran anak keduaku itu menahanku.

"Bu Djin, mari ambil lauk di sana dan bergabung dengan saya..."

Aku menolak. Tak enak rasanya kalau peserta diklat kok makan bersama instrukturnya.

"Tak apa, bu Djin. Anggap ini sebagai rasa terimakasih saya pada Bu Djin..."

Aku terpana mendengar penuturan instrukturku itu. Kenapa dia harus berterimakasih padaku. Pada perempuan tua yang sebentar lagi pensiun. 

"Saya Indra, bu. Murid bu Djin dulu. Yang sering bu Djin kasih snack jatah bu Djin dari sekolah itu lho, bu..."

Aku menatap tak percaya. Indra rupanya. Muridku yang nasibnya sungguh memprihatinkan, kedua orangtuanya meninggal saat Indra kelas 1. Dia tak pernah membawa uang jajan. Hidup bersama neneknya yang buruh di rumah tetangga, tak bisa mencukupi uang jajan Indra.

"Bisa sekolah di sini saja sudah alhamdulillah, bu guru..." begitu nenek Indra yang merasa bahagia, cucunya bisa sekolah di tempat kerjaku.Rupanya dia kini sudah sukses dan rendah hati dengan kesuksesannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun