Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Demokrasi Pragmatis, Meikarta, dan Museum Planologi

22 Agustus 2017   05:57 Diperbarui: 22 Agustus 2017   21:43 6122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Kegiatan pembangunan di sisi timur-luar Jakarta sangat ramai dibicarakan sehingga mengaburkan yang mana 'kebenaran' sesungguhnya.

Deddy Mizwar -- Wakil Gubernur Jawa Barat saat ini -- mempertanyakan pijakan legal (perizinan) berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku bagi kota baru gigantis Meikarta. Faktanya, kegiatan konstruksi gedung-gedung pencakar langit di sana tetap berlangsung. Begitu pula pemasaran dan penjualannya. 

Pemerintah Kabupaten Bekasi yang berwenang langsung terhadap dinamika ruang di wilayah yang menjadi bagian propinsi Jawa Barat itu seolah-olah tak menganggap masalah yang disinyalir. Sebab -- jika yang disangkakan pemeran utama film NagaBonar dan bintang iklan produk sosis dari Japfa itu benar adanya -- maka tentulah petugas yang berwenang wajib menertibkan. Siapapun pasti sulit memahami bila 'pembangkangan' yang dilakukan anak perusahaan Lippo Group itu dibiarkan berlangsung terang-terangan tanpa sikap tegas dari aparat negara.

Tapi sesaat setelah itu, sejumlah anggota DPRD Jawa Barat yang berkunjung dan menelisiknya ke sana malah menyatakan tak ada indikasi pelanggaran ketentuan yang dilakukan oleh pengembang kota baru tersebut. Direksi perseroan yang manaungi bisnis properti untuk sejuta pemukim itu juga menyampaikan bahwa seluruh proses perizinan -- yang mencakup analisa mengenai dampak lingkungan, izin mendirikan bangunan hingga izin lokasi -- SEDANG berjalan sebagaimana semestinya. Begitulah kabar yang diberitakan berbagai media massa sepanjang minggu pertama bulan Agustus ini.

Jika menilik penjelasan direksi yang bertanggung jawab atas perusahaan Meikarta tersebut maka kegundahan yang dinyatakan Deddy Mizwar sesungguhnya sangat beralasan. Sebab, jawaban 'proses perizinan sedang berlangsung' sama artinya bahwa kota baru itu memang BELUM memiliki izin.

Lalu bagaimana jika hasil analisa dampak terhadap lingkungan proyek kota baru yang katanya sedang dalam proses itu mensyaratkan sesuatu yang tak sederhana dan mahal?

Sebab kehadiran kawasan raksasa yang 'seketika' di sana akan mempengaruhi keseimbangan bermacam hal. Tak hanya pada alam fisik tapi juga sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Jadi -- jika kegiatan pembangunan dan pemasarannya tetap berlangsung sebelum memperoleh izin resmi dari lembaga pemerintah yang berwenang -- apakah Meikarta kelak 'pasti' bersedia menanggulangi 'seluruh temuan dampak lingkungan' yang menyertainya?

+++

Saya paham jika sejumlah ahli tata ruang dan perkotaan mempertanyakan acuan yang melatar-belakangi kehadiran Meikarta. Implikasi dan permasalahan suatu 'kota baru' sesungguhnya sangat kompleks. Bukan hanya terhadap 'kota lama' yang berada di sekitarnya -- metropolitan Jakarta dan daerah-daerah lain yang bernaung dibawah pemerintahan propinsi Jawa Barat -- tapi juga Indonesia secara keseluruhan.

Atau mungkin sebaliknya?

Meikarta bisa saja sebagai implikasi dan permasalahan 'kota lama' di sekitarnya yang tak kunjung tertangani. Sebab perkembangan (industrialisasi) poros Jakarta-Bekasi-Karawang bahkan hingga Purwakarta yang tak tertata baik hari ini justru semakin menekan kelayakan dan kenyamanan hidup kota dan masyarakat di sana. Manfaat dan keuntungan sosial-ekonomis-budaya-politik yang dinikmati para pemilik modal yang sesungguhnya berdomisili di wilayah lain, tak sebanding dengan permasalahan dan beban ruang kotanya. 

Maksudnya tentang polusi, kemacetan lalu-lintas, ketimpangan sosial, daya dukung alam, kriminalitas, kelayakan prasarana maupun sarana kota, pergeseran prilaku dan budaya publik, dan lain-lain. Hal-hal yang menjadi beban -- semestinya juga kewajiban -- bagi pemerintah kota selaku penanggung jawab dan pengelola ruang wilayah yang 'menampung' industrialisasi tersebut. Semua itu karena perkembangan (baca: pembangunan) yang berlangsung bukan dilatar-belakangi oleh hasrat 'mandiri' daerah bersangkutan melalui pemanfaatan kemampuan dan kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

Kita maklum, industrialisasi di pesisir utara pulau Jawa itu dilatar-belakangi kepentingan yang jauh lebih luas (baca: Nasional) dan nilai strategis lokasi yang berdekatan dengan pusat kekuasaan Indonesia, yaitu Jakarta. Ruang-ruang yang berada di wilayah administrasi Jawa Barat itu tak memiliki banyak pilihan untuk menyetujui ataupun menolak.

Demikianlah sesungguhnya akar persoalan berbagai ketimpangan yang berlangsung selama ini. Antara kota dan desa, metropolitan Jakarta dan wilayah sekitarnya, pulau Jawa dengan yang lain, atau Indonesia bagian barat dengan sisi timurnya.

+++

Kearifan tata ruang merupakan disiplin ilmu pengetahuan yang mencermati seluruh aspek kehidupan dalam konteks jangka panjang. Suatu pemahaman tentang implikasi dan permasalahan yang mungkin terjadi di masa depan jika dinamika yang berlangsung hari ini tak dikelola secara bijaksana. Mereka menekuni keahlian untuk menyikapi berbagai kemungkinan yang berkembang sehingga segala sesuatunya tetap berpihak bagi kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat yang hidup hari ini maupun generasi yang meneruskannya. Mereka memang bergelut dengan aneka ragam ketidak-pastian. Tapi di sisi yang lain, mereka juga dituntut untuk mampu meramalkan dan merekayasanya dengan jitu.

Persoalan pertama dan utama yang dihadapi profesi itu adalah pragmatisme (eksternal). Mereka berhadapan dengan kepentingan-kepentingan mikro, jangka pendek, dan lingkup pemikiran lain yang terbatas. Mulai dari politik, sosial, ekonomi, hingga budaya. Upaya meyakinkan yang lain tentang tantangan dan resiko-resiko yang membebani masa depan bukanlah hal yang mudah. Meskipun disertai dengan pemaparan berbagai pengalaman empiris yang nyata dan sudah berlangsung selama ini maupun masa-masa sebelumnya.

Persoalan kedua yang dihadapi pemangku profesi itu pun tentang pragmatisme juga (internal). Seperti anggota masyarakat yang lain, mereka pun harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menghadapi kenyataan demi kenyataan yang terus-menerus 'menggodanya' untuk menyederhanakan tatanan prinsip dan idealisme yang dibutuhkan agar mampu menopang dan mengembangkan keahlian dalam hal kearifan tata ruang. Sedemikian rupa hingga akhirnya terdesak pada pilihan kompromistis yang sayangnya mengaburkan pemahaman mereka sendiri -- dan pada giliran berikut tentunya adalah para pemangku kepentingan tata ruang lain yang mestinya bersandar pada mereka -- tentang implikasi dan permasalahan masa depan akibat dari ketidak-pekaan, ketidak-mampuan, dan ketidak-pahaman menyikapi dinamika yang berlangsung sekarang.

+++

Sistem demokrasi kita hari ini memberi kemerdekaan kepada setiap warga negara yang mempunyai hak untuk memilih pemimpin eksekutif pemerintahan -- mulai dari Presiden, Gubernur, hingga Bupati atau Walikota -- maupun wakil yang duduk di lembaga-lembaga legislatif. Baik yang berada di tingkat pusat (DPR), propinsi (DPRD Tingkat I), dan kabupaten atau kota (DPRD Tingkat II).

Sosok-sosok yang kemudian terpilih memiliki kesempatan 5 tahun untuk mengabdikan diri dan membuktikan janji-janji yang disampaikannya saat masa kampanye. Pada tatanan pemimpin eksekutif pemerintahan yang sama, masing-masing diperbolehkan untuk dipilih kembali 1 periode lagi sehingga memungkinkan duduk di tampuk kekuasaannya selama 10 tahun berturut-turut. Sementara itu, untuk posisi wakil rakyat di tingkat pusat hingga daerah tak ada pembatasan yang demikian. Sepanjang rakyat masih memilihnya (kembali) dan mampu memenangkan kontestasi pengumpulan suara yang diselenggarakan, ia tetap berhak duduk di gedung parlemen yang sejatinya mewakili rakyat itu.

Tapi sesungguhnya, ada kecerobohan serius yang terlanjur terjadi ketika kita begitu saja mengganti sistem demokratisasi pemilihan eksekutif maupun legislatif yang digunakan sebelum Reformasi 1998, dengan yang berlaku sekarang sebagaimana yang digambarkan di atas. Disadari atau tidak, hikmah kebijaksanaan bermusyawarah yang mencirikan keterwakilan seluruh kekayaan bangsa Indonesia yang majemuk -- seperti yang ditegaskan pada sila keempat Pancasila yang kita junjung tinggi itu -- kini telah tersingkir jauh.

Hal yang berlaku sekarang justru ajang unjuk kekuatan dan upaya kompromi yang cenderung bermakna sempit -- bahkan licik dan miskin martabat -- untuk semata memenangkan perebutan suara agar mampu meraih tampuk wakil maupun pemimpin rakyat. Demikianlah nyatanya yang kita alami dan rasakan selama 4 musim pemilihan 5 tahunan yang berlangsung sejak 1999 hingga hari ini.

Hal lain yang lebih memprihatinkan dari sistem demokrasi hari ini adalah ketiadaan hubungan 'sebab-akibat' yang konstruktif antara wakil-wakil maupun pemimpin-pemimpin yang terpilih di tingkat kabupaten/kota, dengan yang duduk di tingkat propinsi maupun nasional. Maka demi marwah dan kepentingan yang sempit dan terbatas, kebijakan bupati atau walikota yang semestinya di bawah kepemimpinan gubernur, maupun gubernur yang seyogyanya perpanjangan tangan presiden di wilayah propinsinya, acap kali berdiri sendiri-sendiri, berjalan masing-masing, dan tidak saling menguatkan satu dengan yang lain.

+++

Demikianlah fenomena yang terjadi di sepanjang pantai utara pulau Jawa yang berada di sisi timur-luar Jakarta -- ibukota Republik Indonesia ysng kita cintai dan banggakan -- akhir-akhir ini.

Atas pertimbangan dan alasan-alasan yang masih banyak diperdebatkan oleh mereka yang memahami dan memperhatikan kearifan tata ruang -- tentunya dalam konteks sistem kota-kota, perwilayahan, dan ke-indonesia-an dalam arti luas -- pemerintah pusat mencanangkan dan bergegas melaksanakan sejumlah proyek pembangunan infrastruktur sekaligus: jaringan kereta ringan yang menghubungan Bekasi dengan Jakarta (LRT - light rail transit), tol layang untuk meningkatkan kapasitas tampung lalu-lintas Cikarang-Jakarta (elevated toll road), dan kereta cepat yang ditujukan untuk mempersingkat waktu tempuh antara Bandung dan Jakarta (HST - high speed train).

Proyek-proyek yang memang tidak terencana detail dan memadai itu kemudian terseok-seok dalam pendanaan karena semula melibatkan 'ruang' yang tersedia pada APBN (anggaran pendapatan dan belanja nasional). Hingga saat ini, pemerintah masih berkutat dengan sejumlah skenario pendanaan melalui pelibatan swasta-negara (baca: BUMN, badan usaha milik negara) yang -- selain dari obligasi masyarakat dan pinjaman bank -- ujung-ujungnya masih berkait dengan suntikan (peningkatan) modal (PMN, penyertaan modal negara) yang diberikan.

Lalu -- voila -- muncul Meikarta yang menghebohkan itu dengan nilai proyek 10 kali lipat anggaran LRT tapi tak pernah gundah soal kemampuan pendanaannya.

+++

Tak semua yang dilakukan Suharto salah.

Prinsip mengedepankan musyawarah dan mufakat sesungguhnya warisan para pendiri bangsa besar ini. Risalah perbincangan tokoh-tokoh Nasional ketika berembug mempersiapkan kemerdekaan Indonesia -- termasuk merumuskan Pancasila sebagai dasar negara -- dilakukan secara arif dan bijaksana dengan cara tersebut.

Bahwa kemudian rezim Orde Baru yang dipimpin Suharto -- dengan berkedok pada kebijaksanaan musyawarah dan mufakat itu -- menyelewengkan amanah untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai kebijakan represif dan penuh korupsi-kolusi-nepotisme, adalah soal lain.

Terlepas dari kegagalannya hingga kemudian Indonesia terpuruk, pembangunan Indonesia dahulu berada dibawah kendali satu 'orkestrasi' yang menggunakan 'partitur' tunggal. Saya teringat dengan GBHN (garis-garis besar haluan negara) yang memayungi semangat 'Era Tinggal Landas' dan diterjemahkan dalam 5 tahap Repelita (rencana pembangunan lima tahun).

Disana memang ada 'idealisme' yang dicanangkan untuk kejayaan Indonesia. Walaupun disana juga ada 'pragmatisme' yang menyuburkan budaya KKN demi melanggengkan kekuasaannya.

Sementara buah yang kita petik dari sistem demokrasi hari ini hanya menyisakan 'pragmatisme' yang semakin sempit dan terkotak-kotak. Salah satunya justru menyingkirkan keniscayaan peran obyektif dari profesi yang mengawal kearifan tata ruang bagi seluruh Nusantara sehingga proyek-proyek infrastruktur raksasa seperti LRT, HST, elevated tollway, dan Meikarta tak hadir tergagap-gagap.

Jilal Mardhani

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun