"Bang, nanti lewat sebentar ya dari depan rumah saya!" ucap abang saya  ketika kami sedang melewati penjual nasi goreng yang sedang berjalan menjajakan dagangannya di salah satu perumahan di Tangerang Selatan. "Untuk siapa, Bang" sahutku. Sebelum kami meninggalkan rumah, saya sedang menyaksikan putri ke tiganya sedang bersantap malam. Seorang diri. Kok, disuruh melintas dari depan rumah, kan baru makan? Demikian pertanyaan dalam benakku, maka pertanyaan itu terlontar.
"Dia, memang berbeda dari kedua kakaknya. Kedua kakaknya, apa yang ada, ya itulah yang dimakan. Tidak neko-neko. Namun yang bontot ini, ketika ia sedang makan malam seringkali bertanya tentang apa menu makanan untuk pagi harinya. Coba, makanan masih ada dihadapannya dan sedang menyantap makanan, bertanya tentang menu serapan pagi. Badannya, ya gitu-gitu saja. Tidak gemuk, tetap kurus."
"Kalau itu sih, sudah keturunan. Bapak dan ibunya juga gitu-gitu saja" jawabku.
"Ya, anak-anak sekarang berbeda. Mengapa ya?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari kakak dan menjadi awal percakapan kami malam itu menuju Cikande, dekat Serang, Banten. Saat itu kami akan melayat saudara yang meninggal karena serangan jantung.
Pertanyaan itu tidak serta merta mendapat jawaban dari abang dan kakak. Mereka terdiam. Ya, cukup lama tidak ada percakapan. Kami masing-masing mencoba memikirkan jawabannya.
"Ya, anak sekarang lebih responsif. Semaunya saja" sambung abang sambil mengendalikan stir mobil yang sedang melaju.
"Sekarang anak hidup di era  digital dan  instan. Permintaan maunya segera dikabulkan dan kurang sabar. Kalau tidak, ya ngomel dan wajahnya kelipat".
"Ya....orang tua harus banyak belajar. Belajar sabar dan juga mengikuti perkembangan teknologi. Tiap zaman memiliki karakter yang berbeda-beda. Orang tua juga memiliki tanggung jawab yang semakin menantang" sambung kakak yang duduk persisi di depanku.