Mohon tunggu...
jaucaw
jaucaw Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

mas-mas pada umumnya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Wah" dan Kepicikan Sosial

25 Agustus 2017   07:57 Diperbarui: 6 September 2017   15:23 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Manusia adalah anak zaman. Memiliki orang tua namanya zaman. Dan akan melahirkan zaman yang baru nantinya..."

Memang pada dasarnya upgrading zaman adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri dan tidak bisa dihindari kehadirannya. Berbekal pemahaman dan pemikiran manusia yang dinamis konsisten menumbuhkan inspirasi dan inovasi yang membuat zaman tidak lagi mainstream. Zaman menjadi lebih terwarnai oleh produk inovasi yang eksis dan simpel untuk dimanfaatkan oleh manusia. Hal kecil misalnya jika orang zaman dahulu menggunakan uleg-uleg, lemper dan tenaga yang dipusatkan ditangan untuk membuat sambel, orang zaman sekarang cukup menekan tombol on pada blender dan sambel telah siap disantap.

Kemajuan teknologi, layaknya pisau bermata dua. Terkadang jika baik dan benar penggunaannya akan berbuah positif, pun demikian sebaliknya. Teknologi yang semakin maju dan canggih membuat masyarakat begitu tergiur untuk memiliki dan memanfaatkannya. Namun sayangnya, dengan adanya teknologi yang bisa apa-apa, membuat manusia tidak lagi by the process tetapi memiliki karakter baru yakni pragmatis yang menginginkan segalanya langsung jadi.

Indonesia adalah negara yang (masih) berkembang untuk menjadi negara maju. Dalam koridor teknologi, Indonesia jelas masih kalah jauh dengan negara maju Eropa yang segala-galanya sudah dapat terlogikakan dengan baik sehingga upaya dalam penemuan hal baru dapat terfokuskan. Hal ini adalah satu dari sekian banyak alasan kenapa Eropa menjadi kiblat dalam masalah teknologi. Tidak hanya itu, hal ini juga merentet efeknya terhadap sifat manusia yang menjadikan patokan gaya hidup bagi masyarakat di Indonesia yang bernama westernisasi.

Westernisasi ini adalah sifat kebarat-baratan, sifat meniru gaya hidup masyarakat Eropa. Westernisasi ini juga menuntut manusia untuk menggelontorkan banyak rupiah hanya untuk standar hidup yang tinggi bagi negara yang berkembang. Hal ini membuat konsentrasi masyarakat terpusat pada kuantitas materi untuk mendapat kualitas life style yang wah. Padahal problem ini yang akan membuat manusia semakin 'ndangak' hingga tak pernah menoleh lagi ke belakang untuk melihat sejarah yang walaupun tak terhiasi oleh canggihnya media, tetap indah dengan adanya guyub antara satu sama lain.

Satu bukti adalah mari kita amati di komplek perumahan elite. Jika dulu orang-orang yang bertetangga saling akrab satu sama lain dengan saling ngobrol didepan rumah, sekarang sudah sangat susah dijumpai di perumahan elite. Pagar rumah yang tinggi sebagai antisipasi kehilangan materi, adalah layaknya satu benteng kokoh yang menghalangi sosialisasi. Nyatanya manusia sekarang jika ditarik dari pengamatan ini, lebih mementingkan materi daripada sosial dengan 'tonggo teparo'

Menuhankan uang dan materi dapat membutakan segalanya. Materi sangat dibutuhkan, tapi bukan berarti bersosial sengaja dipunahkan. Manusia adalah makhluk sosial. Zaman sedang tumbuh berkembang, kebutuhan semakin membeludak untuk diperhatikan, sayangnya hedonis dan western  telah terlanjur membutakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun