Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

20_Selubung Hati Suci

2 Mei 2013   14:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:15 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13674779431386644335

[image:1xdotcom_stefan mueller/pinjam yaa]

.)20(.

‘Selamat jalan’ menjadi kata terakhir yang kudengar dari batin Satria. Belum tuntas kunikmati bola mata bening yang nampak terendam kolam itu, belit jubahku di kaki-kaki ranjangnya mengurai dengan sangat cepat. Lalu dalam sekelebat cahaya, aku sudah melayang seringan kembang-kembang randu tertiup bayu; bebunga putih yang hidupnya diserahkan sepenuhnya kepada angin sang penentu takdir; jatuh meluruh dengan anggun menyerupai hujan salju; bila angin tengah bergairah menjelajah maka ia akan terus beterbangan di udara menembus segala batasan, sepertiku kini…

Dari atas ketinggian yang tak terjangkau radar, aku mengambang, terbang tanpa kendali, lalu meluncur jatuh dengan cepatnya, tercampakkan bagai parasut yang gagal terkembang. Ugh! cara transit yang sangat tidak cantik! Entah di mana ini, pastinya suatu tempat. Oh, Gilibusut, bukit tebu yang nampak sekarat!

Aku masih meraba alasanku transit yang anjrit! di kepundan lancip morat-marit, sampai kulihat seseorang tergolek lemah di tengah hamparan tebu yang mematah rubuh. Oho, itulah rupanya. Singgahku ini demi menjemput seseorang di sana, di tengah kerusakan yang tengah dia ratapi dengan kepala terkulai tak berdaya. Bang Ikhsan!

“Akhirnya kau datang,” sambutnya dengan suara kehabisan bahan bakar.

Sudah kuduga, bahwa badai bukit tebu adalah wujud dari batas kesabaran bang Ikhsan, dialah pelaku tunggal kerusakan itu. Dia nampak kepayahan, hilang sudah segala kuasa, kini terbuang sebagai zat yang sia-sia. Sebuah bayaran yang sangat mahal dari usahanya membela Satria.

“Tak masalah dan jangan pernah menyesalinya,” katanya menjawab kesedihanku. “Selama kita tak terpisah lagi, selama kau tepat ada di sampingku, selama kita masih diistimewakan sebagai zat penghuni dunia astral dan berkemampuan berpindah tempat sertaa melintasi waktu dengan cepat. Lagipula, pada hakikatnya, kita memang tidak diperkenankan untuk ambil bagian dalam kehidupan yang bukan dunia kita. Jadi wajarlah, kalau kita harus menerima segala konsekuensi dari pelanggaran yang kita buat. Mari kita berharap, semoga saja tak ada lagi kejadian buruk yang akan terjadi pada mereka.” Penjelasan bang Ikhsan yang panjang lebar itu terdengar sangat menentramkanku.

Level kami sekarang setara. Bagiku itu tak masalah, namun kutahu, bagi bang Ikhsan itu adalah dosa terbesarnya. Betapapun rapat dia tutupi, aku tetap dapat merasakan dalamnya kekecewaan itu karena ia telah gagal menyediakan jalan terhormat bila kelak menghadap Sang Pemilik Qudrat-Iradat, seperti yang pernah dijanjikannya kepadaku dahulu dengan segenap kebulatan tekad...

“Anak kecil bukanlah obyek kekerasan. Mereka adalah golongan lemah yang sangat berhak mendapatkan curahan kasih sayang. Jadi, maafkan aku karena gagal memenuhi janji. Aku tak dapat membiarkan dirinya teraniaya macam begitu. Juga pedih kurasakan melihatmu tak berdaya memberikan pertolongan apapun kepadanya,” papar bang Ikhsan dengan kepedihannya yang membukit.

“Aku sangat mengerti Bang. Kumohon, janganlah meminta maaf. Justru aku bersyukur karena kehadiran abang,” sahutku seraya memeluknya dengan erat. Sangat erat. Hingga jubah kami saling bersimpul-ikat.

Untuk beberapa saat lamanya, rinduku seolah terbayar impas. Namun belum pupus seremoni itu kami reguk, mendadak angin kembali datang dengan suaranya yang bergemuruh riuh. Disusul kemunculan sekumpulan lidi bercahaya panas yang demikian cepat mengikat kuat diri kami. Gemuruh itu masih terdengar saat kami terbang melayang, menyusuri lorong-lorong panjang yang hitam pekat, gelap gulita bersama kecepatan cahaya yang sangat tinggi. Perjalanan kami itu melewati beberapa lapisan bawah yang bertingkat-tingkat, dimulai dari Mahakala, Lokantarika, Kasha, Plaksha, Phuksara, dan seterusnya entah apalagi.

Aku bergidik ngeri melihat kawah-kawah penyucian yang terlihat luar biasa kejam dan mematikan. Oh, terbayang bila kelak tiba waktuku berada dalam setiap kawah itu. Sungguh, ini perjalanan paling suram yang pernah kualami bersama bang Ikhsan. Dan ini pulalah perjalanan terjauh namun tersingkat yang pernah kualami.

Sesaat kemudian, kami pun tiba di suatu tempat asing, begitu sunyi namun harum mewangi, entah karena kamboja yang tengah menyambut musimnya ataukah karena kelopak-kelopak berwarna-warni dan banyak berserakan di atas gundukan bernisan.

Dìdì merawat rumah kita dengan sangat baik. Lihatlah!”

Aku melihat dua nisan bersemen sederhana yang ditunjukkan bang Ikhsan. Tak ada sebatangpun rumput teki yang berani kurang ajar mengotori. Sekeliling terlihat bersih, teduh, sejuk dan nyaman. Aku setuju dengan definisi ‘terawat dengan sangat baik’, kalau itu yang berusaha disampaikan bang Ikhsan. Namun entah mengapa, masih terasa sesuatu yang belum lengkap di sana. Aku tidak melihat satu jejak kakipun yang menandakan seseorang pernah beranjang-sana; kaki-kaki milik orang-orang yang kurindukan tentu saja…

“Nanti. Bersabarlah. Waktulah yang akan menggiring mereka ke sini. Mereka yang ada dalam kerinduanmu itu,” bang Ikhsan menjawab kegelisahanku.

Sekali lagi masaku akan teruji. Namun dengan bang Ikhsan mendampingi, kuyakin segalanya akan lebih mudah kini. Tak soal tentang kekuatan supra yang sudah purna atau lamanya menantikan kehadiran orang-orang tercinta sebagai penawar kegelisahan ini, yang jelas aku merasa separuh bebanku terangkat sudah. Hanya tinggal soal waktu dan aku yakin perjalananku berikutnya akan sempurna ketika jejak-jejak kaki itu telah tiba di beranda rumahku. Ya, hanya soal waktu. Dan waktu itu akan tiba ketika tapak demi tapak memasuki koridor sunyi sejak pintu masuk bergapura di kompleks perumahanku. Ayunan lelangkah kaki teriring benak dan batin yang bergaduh dengan wiridan, menghantar doa-doa magis yang kelak kan melapangkan jalan moksaku.

“Tak ada tempat seindah rumah,” kata bang Ikhsan lagi.

Aku tersenyum menyetujui. Rumah adalah segalanya. Ini mengingatkan pada masa-masa pengembaraanku, singgah dari satu sudut ke sudut yang lain, dimana telah banyak kulakukan pergumulan hebat hanya demi mempertahankan sepetak otoritas.

“Tak adanya rumah adalah kesedihan dan kesusahan,” lanjut bang Ikhsan.

Aku tersenyum lagi, setia mengiyakannya. Tak ada yang bisa disangkal dari pemaparan bang Ikhsan tentang fungsi sebuah rumah. Semua benar adanya.

Aku tersenyum getir menatap patok batu. Di atasnya terpahat sepasang nama yang sangat melekat dalam setiap ingatan dan kenangan, mereka adalah Oh Cheng Kiat dan Huang Bi Ren. Keduanya merupakan orang tua dari serentetan nama yang terpahat di patok-patok batu yang berjejer rapi tepat di sampingnya. Diawali Jimmy Oh, Leticia Oh, Jovi Oh, serta pasangan suami istri, Felicia Oh dan Ikhsan Siregar. Dua nama terakhir adalah pasangan muda yang gagal merajut biduk rumah tangga sesuai harapan dan cita-citanya. Bahkan tera ungu di buku nikahnya masih belum kering ketika keduanya tercabut secara paksa dari dunia yang telah mentautkan keduanya. Kegetiran itu semakin pedar saat mataku tertumbuk pada patok batu berpahat nama: Dyah Lakshmita…

“Sudah, hentikanlah lamunanmu itu. Ayo, kau belum menceritakan satu kisah pun sejak kepulangan kita, Cheong-er,” tegur bang Ikhsan.

Sapaan halusnya mengakhiri kegalauanku. Galau yang diam-diam selalu menyelusup ketika satu demi satu nama itu membangkitkan kembali beragam kenangan pahit. Dan bang Ikhsan selalu tahu bagaimana menghentikan galau agar tak berlanjut. Ia yang hangat dan romantis, tak pernah sekalipun memanggilku dengan namaku sendiri. Selalu Wǒ de lâo pó, dan Cheong-er, dua panggilan istimewa yang menjadi favoritnya. Ia yang selalu bertonasi halus dalam setiap tutur katanya, jauh dari anggapan kebanyakan orang tentang pria-pria dari tanah seberang, seperti juga anggapan mayoritas keluargaku yang sulit benar diluruskan.

Kuhapus getir dari senyumku, lalu beranjak menghampiri bang Ikhsan, sejenak tercenung untuk menghimpun kisah demi kisah sebelum memulai bercerita dengan wajah berbinar dan lagi-lagi dengan senyum –yang baru kusadari− tak henti merekah akhir-akhir ini.

Berawal satu cerita lalu ke cerita berikutnya. Kisah demi kisah seolah tak kunjung habisnya untuk kuceritakan kepada bang Ikhsan hingga waktu seolah bergulir tanpa terasa, seperti O2 yang dihirup manusia. Ia pun dengan setianya mendengarkan tanpa ternodai rasa bosan bahkan menjadikannya menu sehari-hari yang pantang terlewati. Tak satu hari pun berlalu tanpa satu cerita yang selama ini ingin benar didengarnya. Aha, kecuali jeda satu hari itu, dimana seseorang telah datang bertandang ke rumah batu kami dengan celotehnya yang panjang. Ada yang berkata bahwa seorang penyair dilahirkan sedangkan ahli pidato dibina. Lalu, sebutan apakah yang tepat bagi dirinya? Ya, orator ulung yang datang beranjang-sana itu adalah: Imran!

“Assalamu’alaikum, Abang! Ito! Hehe, aku datang. Tapi jangan keburu senang. Datangku tak hendak tunaikan janjiku. Sabar ya? Aku sekedar mampir sajalah, mumpung lagi di dekat sini. Entah kapan bisa mengajak mereka menjenguk kalian berdua. Tapi Abang dan Ito tak perlu ragu karena aku akan selalu menjaga mereka untukmu. Aku akan menjadi ekor yang menempel kemana pun mereka pergi. Aku akan menjadi perisai bagi siapapun yang berani menyakiti mereka. Kau, Bang! Kau sudah lihat bukan, bagaimana aku menjaga mereka selama ini? Makanya kalian berdua istirahat sajalah dengan damai dan tenteram, hm?” Imran lalu mengangkat kedua telapak tangannya, komat-kamit merapal doa.

Aku terpana, namun bang Ikhsan senyam-senyum saja. Usai kepergian si Imran, bang Ikhsan kembali menuntut jatah ceritaku. Ola! Ini akan menjadi malam yang panjang dan lambat berjalan. Namun di jaman yang menuntut segalanya serba cepat dan instan, kelambatan bisa dinilai unik dan indah. Selain alur lambat yang turut menjadi gaya berceritaku, maka rasanya eman-eman bila sisa kisahku tentang Satria tergesa untuk diunggah.

Dan kunjungan Imran yang tiba-tiba siang hari itu, jelas akan mendominasi fokus ceritaku kali ini. Agaknya untuk sementara sosok Imran akan mengalahkan Satria sang aktor utama. Karena banyak juga detil tentang dirinya yang tak kalah menarik namun seringkali luput dari pembahasan. Maafkan aku, Imran. Kau tentu tak akan keberatan bila selama ini Satrialah yang selalu menjadi fokus utama dalam setiap ceritaku…

.)*(.

Di depan pelataran parkir Rumah Sakit Giliwaras, tempat Satria dirawat, Imran nampak tersenyum puas. Ada kelegaaan tersendiri usai kunjungannya siang tadi. Walau janji belum tunai ditepati, namun ia merasa sedikit bebannya telah terburai.

“Woi, akhirnya bang Imran datang juga!” Satria bernafas lega saat dilihatnya Imran memasuki kamarnya. “Banyak orang mencari bang Imran sedari tadi!”

”Benarkah? Aku tak mengira namaku sudah semasyhur ini! Kau tak lupa mencatat nama-nama mereka, kan?”

“Hehe! Bang Imran bisa aja. Hanya beberapa polisi saja kok! Oh iya, om Surya juga terus mencari abang!”

“Ah, kupikir presiden mencariku pula!” Imran menyampirkan jaketnya di punggung kursi. “Siapa lagi, ada yang lain? Ah, pasti dokter Sondang yang cantik dan baik hati itu juga mencariku. Repot juga jadi orang terkenal ya, Sat?” selorohnya dengan kedua alis turun naik, seperti dongkrak hidrolik miliknya.

Huu, bang Imran!” mulut Satria meruncing, mencibir kelakar Imran yang nyinyir. “Dokter Sondang tidak pernah sekalipun mencari bang Imran. Yang dicari dan selalu ditanyakan dokter Sondang hanyalah om Surya saja. Begini katanya: Om Surya sudah datang, Sat? Tadi om Surya datang kemari tidak, Sat? Kemana lagi perginya Om Surya, Sat? Om Surya, om Surya dan om Surya terus, sampai kuhafal semua pertanyaannya itu.”

“Wah-wah, mana boleh begitu? Apakah dokter Sondang sudah melupakan bang Imran? Secepat itukah? Hm, benar-benar mengecewakan! Sama sekali tak dapat dipercaya…” Imran menggeleng-gelengkan kepalanya dengan helaan nafas berat seolah menyesalkan ketidakadilan yang menimpa dirinya. Lirikan matanya mencoba mencuri respon dari wajah Satria. Adakah anak ini dapat dikibulinya dengan mudah?

”Haha! bang Imran payah! Aku sudah tahu kok, kalau dokter Sondang itu tunangannya om Surya! Ngga usah kepedean, deh!”

”Bah, berita bohong itu! Mana mau dokter Sondang dengan om Surya yang jelek, gantengan juga bang Imran!” Imran meninggikan kerah lehernya, tak pedulikan ‘pelecehan dari Satria. Lalu ia cepat menambahi sebelum Satria sempat menggodanya lagi. Katanya, “Baiklah! Lupakan saja si dokter Sondang, mari kita relakan kepada om Surya saja untuk menjaganya. Berikutnya: siapa lagi yang mencariku?”

“Ibuku, bu Suciati, hehe!” Satria tak dapat menahan tawa gelinya. Dia sudah membayangkan terlebih dulu kerucut yang lucu di bibir Imran saat nama ibunya disebutkan. “Ibu juga sedang mencari-cari bang Imran. Kasihan, wajahnya sampai keringatan,” lanjutnya santai sembari melirik bungkusan di tangan Imran. Aromanya yang sedap telah tercium sejak Imran baru saja membuka pintu.

”Nah, itu baru mengherankan! Sekaligus menakutkan! Mengapa ibumu mencariku? Rasanya, aku tak punya salah…” Imran bertanya pada dirinya sendiri, sembari sibuk membongkar isi bungkusan dalam plastik yang dibawanya.

”Tidak tahu. Bang Imran darimana saja, kok lama benar perginya?” hidung Satria kembang-kempis mengendus aroma sedap yang semakin menguat.

”Dari makam…” Imran hati-hati mengumpulkan staples, lalu segera menghempaskan benda kecil bekas perekat bungkusan makanan itu ke dalam keranjang sampah.

”Makam siapa?” tanya Satria seraya menahan liur.

”Makam aya…, ah, makam keluarga akulah!” jawab Imran seolah berahasia. ”Sudah, tak usah banyak tanya. Bang Imran pergi dulu mencari om Surya.”

Sambil meraih kembali jaketnya, Imran berkata, ”Nih, makanlah!” tangannya menyodorkan hasil sajiannya; sebuah bukit kecil yang mengepul dengan lelehan warna kuning berminyak yang menganak-sungai, merah berlemak, dipadu hijau cerah dari irisan mentimun dan selada-selada segar yang terlihat sangat menerbitkan selera.

Satria bergegas menyambut dua piring nasi Padang yang dipesannya dari Imran, kemudian membaginya dengan Sakha yang sama tak sabar ingin segera melahapnya. Nyam, nyam…

.)bersambung(.

Mahakala, Lokantarika, Kasha, Plaksha, Phuksara, merupakan nama tingkatan dalam alam ghaib buruk yang adanya di bawah tanah

adik [lelaki]

pasak kuburan

getir

Sayang [sapaan: Mandarin]

sayang [Jawa]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun