Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memutus Lingkaran Setan Dunia Pendidikan di Kawasan 3T

26 Juli 2017   13:53 Diperbarui: 27 Juli 2017   04:57 1659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terminal Bandara Sentani, Jayapura (dokpri). Di pedalaman, kondisi bandara masih memprihatinkan

Seorang keponakan saya mengirim berita melalui sebuah grup percakapan yang anggotanya adalah internal keluarga. Ia minta pendapat, apakah sebaiknya menerima penugasan menjadi guru di Kabupaten Lanny Jaya, sebuah kabupaten hasil pemekaran di pedalaman Papua, atau mengundurkan diri meski surat penetapannya sudah diterima. 

Mengingat sang ponakan berdomisili di Payakumbuh, Sumbar, yang terpaut mungkin lebih dari lima ribu kilometer dari Papua, semua anggota grup percakapan kompak merekomendasikan untuk mundur. Apalagi status sang ponakan adalah seorang perempuan dan masih gadis, mengundang kekhawatiran kalau bertugas di pedalaman Papua.

Saya sendiri sudah pernah tiga kali ke Papua. Semuanya dalam rangka perjalanan dinas, ditugaskan oleh atasan saya di sebuah BUMN di Jakarta. Karena yang saya kunjungi hanya terbatas pada kota-kota utama di Papua, yakni Jayapura, Merauke, Sorong, dan Manokwari, serta sempat ngelayap ke kawasan wisata Raja Ampat, maka kesan saya Papua sudah relatif maju, tidak banyak berbeda dibanding kota-kota di provinsi lain.

Tapi dari cerita karyawan cabang di kota-kota di wilayah Papua tersebut, kalau mereka ke pedalaman, memang sangat mengenaskan kondisinya. Satu-satunya alat transportasi adalah pesawat berukuran kecil dengan jadwal penerbangan yang tidak pasti. Cerita tentang kecelakaan pesawat yang menabrak bukit atau gunung sudah beberapa kali terjadi. Apalagi dibumbui dengan cerita kesulitan dalam beradaptasi dengan penduduk lokal karena perbedaan kebiasaan sehari-hari.

Ancaman Mutasi ke Papua

Akibatnya, pindah ke Papua bagi rekan-rekan kerja saya, maksudnya bukan sekadar perjalanan dinas seperti pengalaman saya, adalah mimpi buruk. Hal ini diperparah oleh "lelucon yang tidak lucu" karena ada petinggi perusahaan yang menjadikannya sebagai alat ancaman. "Mau dipindah ke Papua ya?", begitu gertakan yang dialamatkan kepada karyawan yang dinilai tidak bagus kinerjanya.

Bahkan, seseorang yang dipindahkan ke Papua sebagai bentuk promosi jabatan pun, dalam hatinya lebih memilih tetap ingin bekerja di Jawa atau Sumatera, meskipun tanpa kenaikan jabatan. Secara finansial meski ada tunjangan kemahalan bagi karyawan yang dimutasi ke Papua, tetap tidak mampu menjadi daya tarik. Bekerja di sana alamat akan jarang bertemu keluarga, karena mahalnya biaya transpor dan lamanya di perjalanan.

Tapi ada BUMN lain yang memberikan kompensasi yang lebih baik. Setiap tahun karyawannya di Papua diberikan cuti yang lebih lama dengan dibiayai tiket pesawat ke kota asalnya. Namun tetap saja kalau diperkenankan memilih, besar kemungkinan bagi karyawan yang berasal dari Indonesia bagian barat, kota kecamatan di Pulau Jawa lebih disukai ketimbang kota kabupaten di Papua.

Berbicara tentang program mendatangkan guru ke daerah terpencil, ternyata sudah ada kisah sukses, seperti pada Program Indonesia Mengajar. Ironisnya, ini bukan program yang digagas pemerintah, namun oleh seorang anak muda, Anies Baswedan, yang sekarang adalah Gubernur Jakarta terpilih. Pada program ini, tempat yang mau ditempati sudah diteliti, dan ada keluarga yang siap menampung si guru baru. Guru pun hanya bertugas selama satu tahun saja.

Anggap saja cerita sukses di atas adalah sebuah pengecualian, karena normalnya, tidak banyak orang yang tertarik bekerja (bukan untuk setahun dua tahun) di daerah terpencil, kecuali orang yang berani nekat. Tapi orang nekat belum tentu satu di antara ribuan orang. Hal ini terkonfirmasi saat saya membaca sebuah berita di harian Kompas (22/7) yang lalu. 

Diberitakan bahwa program Guru Garis Depan, yakni menempatkan guru berstatus pegawai negeri sipil di sekolah-sekolah di daerah terdepan, terluar, dan terpencil (3T) tidak berjalan mulus, karena sejumlah guru mengundurkan diri. Ternyata ponakan saya punya banyak teman senasib yang melepas kesempatan menjadi pegawai negeri, karena keberatan dengan penugasannya ke daerah yang terlalu jauh dari daerah asal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun