Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Saat Virus Corona Mengancam, Bisakah Pelayanan Publik yang Cepat tapi Selamat?

17 Maret 2020   05:36 Diperbarui: 17 Maret 2020   05:52 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila ada orang yang memasuki kantor sebuah bank, sewaktu satpam membukakan pintu, pasti sudah mendapat sapaan ramah semisal "Selamat pagi, apa yang dapat kami bantu?".

Kemudian si satpam akan membantu mengambilkan nomor antrean sambil bertanya jenis transaksi apa yang akan dilakukan si tamu. Hal ini berkaitan dengan jenis formulir yang harus diisi nasabah tersebut. 

Nanti saat si nasabah bertransaksi dengan dilayani oleh seorang teller, barulah diminta memperlihatkan KTP-nya untuk difotokopi dan menjadi lampiran dari formulir yang diisi sebelumnya.

Tapi bila yang dapat datang adalah orang yang bergaya preman, mungkin saja satpam akan memasang kewaspadaan yang lebih tinggi. Saat si tamu masuk sudah diminta menunjukkan KTP. 

Kalau satpam menduga KTP tersebut palsu atau foto di KTP berbeda dengan yang terlihat langsung, alamat akan lama urusannya. Bisa-bisa diinterogasi terlebih dahulu.

Padahal orang bertampang kriminal boleh jadi orang baik-baik. Sedangkan yang bertampang baik-baik, ada yang malah jadi penjahat. Tapi memang begitu prosedurnya. Bila ada yang dicurigai, petugas bank tentu tidak mau kecolongan.

Kecepatan memang sering berbanding terbalik dengan keselamatan atau keamanan. Makanya dulu ada pepatah  "biar lambat asal selamat". Bagi yang menumpang ojek motor dan berpesan ke tukang ojek untuk cepat-cepat tapi juga selamat, biasanya diledek, "mau cepat kok minta selamat".

Tapi dunia modern memang menghendaki yang serba cepat. Artinya pelayanan yang baik adalah yang cepat tanpa mengabaikan keselamatan. 

Hanya saja prinsip "cepat, selamat" sekarang menjadi sulit terwujud. Seperti diketahui sekarang yang jadi sumber ketakutan semua orang adalah tersebarnya virus corona. 

Virus ini tidak memandang penampilan seseorang apakah bergaya orang baik-baik atau preman. Mau tak mau semua pengunjung di sebuah gedung perkantoran harus dicek dulu suhu tubuhnya. Yang suhunya di atas normal, akan ditolak memasuki gedung, disuruh memerikskan diri ke rumah sakit.

Dulu, sejak  beberapa gedung menjadi sasaran bom bubuh diri dari kelompok teroris, gedung perkantoran rata-rata telah dilengkapi gerbang pendeteksi logam. Bagi yang membawa tas, juga akan diperiksa tasnya, secara konvensional atau melalui alat khusus seperti yang ada di bandara.

Maka sekarang selain gerbang pendeteksi metal, pemeriksaan tas, pengunjung semakin lama terhenti di gerbang masuk karena harus pula diperiksa suhu tubuhnya.

Bayangkan sebuah gedung jangkung di Jalan Sudirman Jakarta yang terdiri dari 40 lantai yang hampir semuanya disewakan sebagai kantor dari banyak perusahaan. Saat jam 9 pagi ketika karyawan dan karyawati berdatangan, akan terjadi antrean panjang memasuki gerbang masuk di lobi gedung.

Tidak saja saat memasuki gedung perkantoran cara pemeriksaan seperti itu dilakukan. Tapi juga di ruang publik lainnya seperti di stasiun MRT, halte bus Transjakarta, mal-mal, hotel, tempat wisata, dan sebagainya.

Mereka yang terburu-buru mungkin saja merasa kesal, apalagi bila si petugas yang memeriksa tidak cekatan, sehingga antrean semakin panjang. Namun sebagian besar masyarakat bisa memaklumi, inilah pengorbanan yang harus diterima demi keselamatan yang jauh lebih berharga.

Pepatah lama "biar lambat asal selamat" kembali terpakai. Bahkan kalau akhirnya pemerintah menutup akses memasuki daerah tertentu, tentu akan banyak kegiatan pelayanan masyarakat yang tak bisa dilakukan.

Memang dengan teknologi modern, sekarang ini telah tersedia fasilitas untuk bekerja dari rumah. Demikian pula untuk belajar atau kuliah.

Tapi bagaimana dengan warga yang ingin mengurus berbagai surat izin yang walaupun aplikasinya bisa secara online, namun pada tahap akhirnya tetap perlu datang ke instansi terkait.

Semoga kebijakan penutupan akses hanya diberlakukan bila betul-betul tidak ada alternatif lain yang lebih baik. Pergerakan manusia yang demikian tinggi sudah jadi hal yang rutin dalam aktivitas sehari-hari.

Sementara ini masyarakat harus menerima dengan ikhlas bahwa pergerakannya akan sedikit terhambat, namun terpaksa ditempuh biar semua kita selamat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun