Banyak pula becak wisata yang mangkal dengan tarif 40 ringgit selama 30 menit. Saya tidak melihat ada MRT, LRT atau KRL seperti di Jakarta. Jalan tol dalam kota, termasuk arah ke bandara, juga tidak ada. Hanya jembatan panjang itu tadi yang berbayar.
Di malam hari, terlihat beberapa gelandangan yang tidur di emperan sebuah toko. Tapi secara umum, Penang adalah kota yang aman, termasuk saat tengah malam.Â
Namun kami hanya mengambil foto sebagai latar belakang saja. Soalnya untuk masuk benteng harus membayar 20 ringgit per orang. Padahal menurut saya tidak seindah benteng peninggalan Inggris di Bengkulu atau benteng yang ada di Ternate.
Setelah itu kami menyusuri pelataran di sisi pantai, tak jauh dari benteng. Saya menikmati pemandangan gedung-gedung kuno di seberang jalan.Â
Ada ratusan burung merpati yang juga menjadi objek foto di pelataran. Tapi menurut saya pelataran Pantai Losari Makassar masih lebih oke.Â
Kesan saya, kehidupan warga Penang yang terdiri dari pemeluk berbagai agama, relatif rukun dan saling menghargai. Tak ada masalah dengan rumah ibadah yang saling berdekatan.
Membeli oleh-oleh menjadi kegiatan kami berikutnya. Kami membeli beberapa kotak kue sejenis bakpia. Jenis makanan, pelayanan dan layout toko oleh-oleh di Penang relatif sama dengan toko oleh-oleh terkenal di Bandung dan Malang.