Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Identitas Berubah karena Pilpres?

20 Juni 2019   23:57 Diperbarui: 21 Juni 2019   10:23 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam dua tahun terakhir ini saya mengalami dan melihat perkembangan psikologi masyarakat Indonesia yang terpampang di media sosial sangat dinamis-dalam arti pengungkapan jati dirinya sesuai dengan pilihan politiknya yang suka atau tidak suka berpengaruh kepada identitas "baru"-nya itu hingga saat ini. 

Hal itu secara nyata terlihat dalam status, pernyataan dan pertanyaan kritis mereka tentang isu pilihan politik dan pilihan calon presidennya dari yang terbatas hanya ingin tahu dan mau tahu hingga yang ke nggak mau tahu, pura-pura tidak tahu dan mau tahu aja yang disampaikan dengan ocehan dan tulisan dengan nada santun, nyinyir hingga kasar (menghina). 

Banyak yang saya lihat dari mereka, contoh sebagian dari teman-teman penulis baik saya kenal sejak sekolah dan bekerja menjadi "berubah" padahal penulis kira "perubahan" itu hanya eksis ketika masa pesta politik atau tahun kampanye itu saja, tapi tidak tahunya masih berlanjut hingga kini. Apakah masalah menang dan kalah jadi permasalahan? 

Apakah kalah kehilangan muka dan menang malah dapat nama? Dampaknya pertemanan yang tadinya hangat dan persahabatan yang tadinya saling peduli malah berubah menjadi sebaliknya. Apakah ini normal?

Sejumlah ahli asing yang saya kutip tulisannya mengutarakan identitas seseorang di suatu negara bisa berubah ketika harus menyeberang dan bekerja di negeri tetangganya karena identitas itu tergantung dari mobilitasnya. 

Dan itu tidak terbatas dalam hal mencari upah di negeri lain, bahkan identitas lulusan sekolah menengah atas akan berubah juga ketika diterima di perguruan tinggi karena atmosfir dan tuntutan pendidikan yang lebih tinggi dan ketat. 

Tentu saja harapannya perubahan-perubahan itu tidak mengubah identitas pribadinya misal dari bersahaja malah jadi pongah atau dari yang jiwa sosialnya tinggi sekarang malah jadi lebih individualistis.

Woodward (2007) pernah mengatakan : "One's identity is not fixed but is constantly changing" atau Identitas seseorang tidak akan tetap karena akan secara konstan berubah. Contoh resiko pekerja yang pindah untuk  bekerja di luar negeri seperti yang ditulis (Sichone, 2008) yang menimpa sejumlah para pencari kerja dari negara-negara Afrika hitam ke Afrika Selatan, banyak dari mereka menjadi korban yang disebut dengan "Xenophobia" atau ketakutan kepada para pendatang karena mereka dianggap sebagai biang pengangguran bagi warga lokal Afrika Selatan. 

Ahli lainnya,  Blommaert mengatakan "... that as individuals move across borders, the capacities they have may not hold the same value across both contexts" (terjemahan bebasnya orang-orang yang menyeberang perbatasan atau migran mungkin akan kehilangan nilai-nilai atau harga dirinya ketika harus mencari upah di negeri lain). 

Saya belum berani berasumsi apakah TKI atau TKW Indonesia juga telah kehilangan identitasnya ketika bekerja di negeri lain seperti di Malaysia, Hongkong, Arab Saudi dan lain-lain bila profesinya mengganggu pasar tenaga kerja lokal disana.

Woodward melanjutkan, "... Identity consists in a relationship between oneself and one's relationship to broader society, the people one interacts with. Identity is how one perceives oneself. But importantly identity is also about how others perceive one." Secara singkat bisa dikatakan identitas seseorang itu tergantung antara bagaimana dia melihat dirinya sendiri dan bagaimana orang melihatnya sebaliknya. 

Kasarnya apa yang anda tampilkan adalah cermin yang anda harapkan orang lain juga akan melihatnya sama sesuai keinginan anda (antara pesan dan kesan nyambung), tapi kalau bicara dalam konteks medsos sekarang apa yang banyak yang ditampilkan kerap tidak sesuai dengan apa yang orang lain lihat dan paham. 

Contoh terakhir seorang PNS di Tangerang yang dianggap melecehkan orang lain dengan mengucapkan  kata "babu", sebuah kata penghinaan yang merujuk kepada istilah dalam dunia perbudakan, ironisnya kalau dilihat dari penampilan PNS itu seperti orang yang ramah dan terdidik serta dandanannya yang tertutup tidak menunjang untuk melakukan hal buruk tersebut.

Hal lain identitas seseorang bisa berubah secara fisik tapi juga secara pengetahuan bahasa dan mungkin kadar intelektualnya seperti contoh dalam tulisan Blommaert tentang surat dari seorang murid SMP di Dar es Salaam, Tanzania kepada temannya di Eropa yang ternyata kualitas tulisan baik pilihan kata (vocabulary), tata bahasanya (grammar) dan susunan kata-katanya ternyata tidak memenuhi standar pengetahuan Bahasa Inggris di Eropa. 

Bagi siswi Tanzania hal itu tidak disadarinya karena si siswi ini bersekolah di sebuah sekolah yang termasuk elite di negaranya dan "pengetahuan" Bahasa Inggris yang dikuasainya itu dianggap sudah memenuhi syarat untuk standar negeri itu namun sebaliknya hal itu  malah menjadi bahan ejekan di negara lain. 

Saya jadi ingat tulisan surat dari Kemenpora dalam Bahasa Inggris beberapa waktu lalu yang secara resmi dikirimkan ke luar negeri dengan grammar yang berantakan, kira-kira bagaimana reaksi si penerima surat tersebut?  

Bloommaert menuliskannya,"Where the girl's linguistic capacities in English are valued in Dar es Salaam, Tanzania, to an English speaking European, they do not indicate "elite status and prestige" and are even perceived as deficient".

Identitas seseorang juga dipengaruhi dan dapat berubah karena sejumlah faktor seperti soal politik dan ekonomi seperti yang dijelaskan kembali oleh Woodward "........identity is also influenced by and can change due to other factors. So identity is also influenced by where one lives, economic prospects, and politics, for example". 

Contoh dalam sejarah adalah bagaimana Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela mentransformasi dirinya dari perjuangan secara frontal menjadi kompromi sehingga penguasa yang menjajah negerinya menjadi terpojok karena harus menerima identitas baru musuhnya tersebut dari teroris atau kriminal (outlaw) menjadi pejuang tanpa kekerasan (ahimsa/swadesi) dan pejuang anti kulit hitam (apartheid).

Ternyata identitas seseorang atau masyarakat bisa berubah karena mobilitas yang dinamis baik yang pindah negara atau pindah jalur pendidikan bahkan statusnya dari yang terhormat bisa menjadi dilecehkan ketika tidak mampu menunjukkan kemampuannya dalam berbahasa Inggris yang baik atau bahkan menjadi lebih baik citranya ketika melakukan kompromi.  

Apakah teman-teman medsos yang beda pilihan politik dan capres yang sekarang masih belum bisa move on termasuk hal-hal yang disebutkan diatas? Sebaiknya anda sendiri saja yang bisa menjawab.

"It always seems impossible until it's done (Nelson Mandela)-Semua tidak mungkin sampai segalanya selesai dikerjakan (Nelson Mandela).

Referensi: 

  • Blommaert, J., 2005. Discourse: A critical introduction. Cambridge University Press.
  • Glover, M. J. 2017. Summary of Woodward's interview. Writing your world. University of Cape Town MOOC. 6 November -- 11 December 2017.
  • Sichone, O. 2008. Xenophobia. In New South African Keywords. N. Shepherd, and S. Robbins, Eds. Johannesburg: Jacana. 255-263.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun