Anak-anak itu berlari kencang menuju rumah mereka masing-masing. Sembari berlari, mereka terus mengejek seorang pria yang tengah duduk di sebuah bekas warung.
Berada cukup jauh di belakang mereka, aku sempat ragu untuk melewati bangunan berdinding gedhek itu. Ibu mewanti-wantiku agar aku hati-hati saat melewatinya. Ia berkata, kalau aku tidak berani, lebih baik aku ke Pak Satpam sekolah. Menunggu ibu yang sedang bekerja hingga ia bisa menjemput.
Kulihat sesosok pria yang berteriak seperti kesetanan itu membawa sebuah tongkat kayu besar. Tak berselang lama, ia menatapku.
Aku terkejut dan mulai melangkahkan kaki ke belakang. Berharap ia tak mengejarku, tiba-tiba ia tersenyum kepadaku. Lambaian tangan segera ia berikan dan menjadi tanda agar aku tidak takut.
"Ke sini. Ayo kamu ke sini," ajakan itu ditujukan kepadaku.
Aku masih takut. Ingin rasanya menangis. Kalau tak ingat ini bulan puasa, aku sudah akan menangis sekencang-kencangnya.
Pria itu tahu aku ketakutan. Ia lalu medekatiku dan melemparkan tongkatnya. Ia tak akan memukulku. Aku yakin itu.
Aku jadi sedikit tenang. Namun, bau menyengat yang hinggap kemudian kembali membuatku tak nyaman.
"Kamu mau pulang?" pria itu bertanya.
Aku hanya mengangguk. Ia lantas menggandeng tanganku dan membawaku ke bangunan lapuk tempatnya tinggal. Aku masih mematung dan tak tahu apa yang harus kulakukan. Tapi, selangkah demi selangkah, aku mulai mendekati pria itu.
Di depanku, kini pria berbaju lusuh dengan kain sarung yang melintang tampak mulai mencari sesuatu di dalam warung itu. Rambutnya acak-acakan dan aku bisa bertaruh kalau ia tak pernah keramas untuk berapa tahun. Beberapa puntung rokok tercecer di sekitar lantai warung itu.