Walau mengalami beberapa kali usaha memperbaiki drainase, hingga akhir tahun 1930an, banjir masih saja menghantui kota ini. Jumlah penduduk yang semakin padat dan kebiasan membuang sampah tidak pada tempatnya membuat Malang kerap dilanda banjir.Â
Kejadian banjir besar tahun 1929 membuat Malang kala itu menjadi lumpuh. Kawasan Pecinan digenangi air kecoklatan. Alun-alun Malang berubah menjadi danau besar. kampung-kampung di daerah yang lebih rendah menjadi tenggelam. Kota ini pun lumpuh.
Di antara kota-kota lain, Malang bisa disebut sebagai salah satu kota besar dengan pembangunan yang mengerikan. Bukan lagi pesat tapi menjurus mengerikan dan memakan banyak korban.Â
Menurut Ahli Tata Ruang sekaligus Dosen ITN, Ir.Budi Fathony, MTA, sistem tata kota ini masih semrawut. Pengembangan kota hanya berdasar pada keuntungan, bukan pada rencana jangka panjang.
Pelanggaran terhadap tata ruang yang telah ditetapkan masih saja terjadi. Zona hijau dan kawasan cagar budaya kerap digilas dengan aneka bangunan yang menyesakkan. Sebutan Malang Ijo Ruko-Ruko sempat disematkan pada kota ini.Â
Saya sendiri menyaksikan masifnya pembangunan yang mengerikan ini. Sawah dan sungai kecil di sekitar rumah saya begitu mudahnya dilibas dengan pembangunan ruko yang kini berdiri megah.
Walau pada awalnya pembangunan kawasan ini akan dikonsep serupa dengan Jalan Ijen, namun entah kenapa justru banyak ruko yang ikut-ikutan berdiri di dekatnya.
Apesnya, banyak pengembang perumahan yang tidak menyediakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sesuai aturan. Menurut Budi, harusnya satu kavling memuat sekitar 60 persen bangunan dan sisanya RTH. Kenyataannya, hampir di segala penjuru Kota Malang, RTH yang tersisa hanya 10 persen saja. Itupun kadang dipepetkan dengan bangunan toko dan sejenisnya.