di antara jalan-jalan yang licin
gedung-gedung yang beku
dan pos-pos yang murung
sekitar 100 meter dari rumahmu
aku duduk diam membisu
mengamati gerakmu yang terekam
lewat kaca-kaca jendela
seperti salju yang bertebaran
menunggu giliran dicairkan oleh matahari
aku akan beranjak pergi
ketika kemilau senja menyilaukan matamu
tepat pada saat kau meletakkan cangkir teh terakhir
di ruang lengang tak berpintu
sebab, aku tahu
ketika perutmu telah terisi
kau akan menghilang
di antara tembok-tembok penghalang
tanpa kaca ataupun jendela
kemudian aku berjalan melewati rumahmu
mengendus bau-bau pembakaran
atau mendongak ke atas atap
memastikan cerobong asapmu masih mengepul
sampai bila kuyakini
sepanjang malammu terhangatkan
maka aku akan benar-benar pergi
dan selalu ada besok untuk aku kembali
melihatmu dalam sketsa di ruang imaji
sebab di dalam kepalaku, kau abadi
Angsana, 30 Desember 2019