Sebagai salah satu ikon penting abad XX,tembok Berlin saat ini hampir tidak dapat  dilihat dengan mudah. Yang bisa dilihat wisatawan dengan mudah hanyalah serpihan beton di toko cendera mata atau beberapa lembar beton yang rusak dengan grafiti yang diletakan di bebarapa pojok kota. Bahkan, di Check Point Charlie di Frederick Strasse yang merupakan pintu perbatasan antara Berlin Barat dan Timur, hanya dua lembar beton yang tersisa dari tembok ini, itupun sudah dipindahkan dari lokasi aslinya. Namun di Check Point Charlie ini terdpat Museum dan memorial yang penuh dengan potret dari masa perang dingin yang bercerita tentang tembok ini.Salah satunya adalah kisah pemuda 18 tahun bernama Peter Fechter yang mencoba menyebrang ke Berlin Barat di tahun 1962 untuk mencari kebebasan. Peter nyaris berhasil menyeberangi tempok ketika terpergok oleh penjaga perbatasan Jerman timur yang kemudian menembak pelvisnya. Pemuda tersebut terkapar bersimbah darah di sisi tembok tanpa pertolongan dari penjaga perbatasan Berlin timur sementara Polisi Jerman Barat yang berada dibalik tembok tidak dapat berbuat banyak sampai akhirnya meninggal karena kehabisan darah sejam kemudian.
Masih adakah sisa tembok yang sinonimus dengan kota ini, terutama ketika bayang-bayang perang dingin meliputi seluruh dunia ? Ada dua tempat utama dimana tembok ini masih berdiri nyaris seperti aslinya. Yang pertama adalah bentangan sepanjang kira-kira 1.5 km di sebelah timur kota yang dikenal dengan nama galeri sebelah timur (East Side Galery) yang dipenuhi oleh grafiti artistik yang memperingati pentingnya kebebasan. Namun tembok di daerah ini sudah kehilangan sebagian besar karater tembok Berlin yang menjadi simbol terbelahnya dunia di masa perang dingin. Tempat kedua adalah bentangan 600 m di sepanjang Bernauer Strasse.Jalan ini merupakan simbol literal pembagian sebuah komunitas. Semua rumah di sisi utara jalan termasuk jalan tersebut terletak di Berlin Barat sementara di sebelah selatan adalah Berlin timur.Olen karenan itu Bernauer Strasse saat ini menjadi pusat memorial tembok Berlin.
Jerman adalah sebuah bangsa yang memiliki segudang masa lalu yang kelam. Bagi orang asing seperti saya akan timbul kesan kuat kalau bangsa ini mencoba melupakan masa lalu ini dengan berbagai cara seperti melarang simbol Swastika, seperti larangan palu arit di Indonesia. Film komedi "Good Bye Lenin" menunjukkan bagaimana usaha untuk melupakan komunisme menjangkiti Berlin Timur. Mungkin keinginan untuk melupakan inilah yang membuat tembok Berlin nyaris hilang di pusat keramaian. Namun apabila melihat lebih dalam, bangsa ini memiliki karakter filosofis yang dalam. Di banyak tempat, bekas tembok Berlin muncul sebagai fitur di jalan. Walaupun umumnya tanda ini bersifat sangat halus ditempat lain tembok Berlin diganti oleh struktur yang memiliki arti, seperti di Bernauer Strasse.Â
Kurang lebih 400 m pertama memorial hanyalah jalur rumput. Di sini tembok luar utama diganti dengan pilar-pilar logam yang diatur sehingga memberikan kesan kuat kungkunan sel penjara. Sebuah peringatan yang artistik namun memilki arti filosofis yang cukup dalam. Sementara itu nyaris semua tembok dalam sudah lenyap digantikan oleh dinding-dinging blok apartemen dengan reproduksi foto-foto historis. Selain Conrad Schumann terdapat foto yang menunjukan bagaimana dimasa-masa awal tembok rumah-rumah di sisi selatan Benaure Strasse sebelum dirobohkan untuk menjadi jalur maut dipakai orang untuk melerikan diri ke Barat. Ada sebuah foto yang menunjukan pasangan pengantin baru mmeinta restu pada orang tua mereka yang hanya dapat melihat dari balik jendela rumah yang berada disis selatan jalan.Kurang lebih ditengah-tengah seksi ini terdapat replika menera jaga yang dibagun di pojok jalan munuju ke Alexanderplatz. Dari sini tampak jelas menara TV Berlin (diekenal sebagai tusuk gigi) yang dibangun untuk memamerkan kekuatan ekonomi, dan teknologi Jerman Timur. Sebuah pameran kosong karena tembok ini dibangun untuk mencegah perpindahan penduduk secara masal untuk mencari kebebasan yang dapat mengakibatkan langkanya tenaga kerja sehingga meruntuhkan ekonomi Jerman Timur. Disini, bekas pondasi rumah yang dirobohkan maupun terowongan yang dipakai untuk melarikan diri ke barat ditandai dengan jelas. Kisah bagaimana usaha untuk melarikan diri ini seringkali berakhir dengan kegagalan karena warga Berlin Timur yang lain melaporkan kegiatan ini ke polisi rahasia. Saya teringat dengan Indonesia di jaman Orba dimana orang seringkali curiga bahwa tetangga di sekitarnya menjadi kolaborator pemerintah represesif. Bagian pertama memorial ini ditutup dengan kapel rekonsiliasi yang dibangun di tahun 2003, tepat diatas gereja rekonsilisasi yang di ledakan oleh pemerinta Jerman Timur di tahun 1985 untuk membuat jalur maut.
Di sini saya teringat dengan petikan lagu
Sojourners in this vale of tears,
to thee, blest advocate, we cry;
pity our sorrows, calm our fears,
and soothe with hope our misery.
Refuge in grief, star of the sea,
pray for the mourner, pray for me.
Akankah kesedihan akibat tindakan represif kembali ke dalam kehidupan kita ?