Seorang bocah lelaki bertanya pada bapaknya
”Pak’e mengapa masjid kita suwung hari ini?”
Lirih suara polosnya gemuruhkan kilatan petir
Hatiku yang begajulan ke sana ke mari, terkesiap
Meski sekujur raga sedang bersimpuh di hadapan-Nya
Rakaatku yang tak sempurna, buyar
Kian berantakan, serupa butiran pasir pantai
Ditiup gerombolan angin nakal berkejaran liar
”Ke mana Paklek Dulgemek, Budhe Tumakninah
Wak Kaji Shobirun, Mbak Ustadzah Muhibah,
Kang Tambeng, kakak sepermainanku yang tengil itu?”
Bocah itu lesakkan barisan tanya lagi
Tubuhku mematung sekian lama
Segumpal penasaran bergelayut, apa jawab sang ayah?
Bacaan bacaan shalatku senyap, bibirku kelu
”Entahlah, le. Bapak juga tak tahu, ada apa sebenarnya?”
Oalah, sang ayah hanya melempar tanya kembali
Rasanya tanggung aku mengangkat kepala dari sujud
”Apa mereka ikut ramai-ramai itu, Pak’e?” Lanjut Tole
Pikiran dan hatiku berdiskusi menganalisa jawabnya
Sembari aku ragu, entah harus sujud lagi atau tahiyat
”Entahlah, le. Bapak hanya mendengar
Mereka akan pergi menegakkan agama”
Duh, geram seketika menggedor dada, bukan apa-apa
Mengapa lelaki yang punya segala kuasa
Tak kuasa memberi sebait jawab pada lelaki kecilnya itu?
Ketika sebenarnya tak terlalu sulit pertanyaannya
Haruskah aku yang menimpali, tapi bagaimana shalatku?
”Apa Pak’e yakin bisa menjadi imam pengganti
Walau aku dan Om Bayangan di sebelah makmumnya?”
Edan, bocah itu memandangku hanya bayangan
Samar-samar kulirik sang ayah duduk tertunduk
Tanpa ekspresi, tak berkedip, tanpa kata kata
”Pak’e kira-kira apa penjelasan Tuhan
Ketika Paklek Dulgemek, Budhe Tumakninah
Wak Kaji Shobirun, Mbak Ustadzah Muhibah,
Kang Tambeng, pergi menegakkan agama, sementara
Masjid kita khusyu dalam sunyi begini rupa, yo?”
Hampir saja aku melompat, sembahyangku bubar
Gubuk Hati Lemah Duwur, 02.12.2016