Mohon tunggu...
Anshor Kombor
Anshor Kombor Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang terus belajar

Menulis menulis dan menulis hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Doa-Harapan yang Cepat Terkabul di Bulan Ramadhan #Chapter-2

16 Agustus 2012   20:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:39 1147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan pertama pembawa berkah

Berawal dari kisah sebagaimana dalam catatan sebelumnya, yaitu “Doa-Harapan yang Cepat Terkabul di Bulan Ramadhan #Chapter-1”, saya kemudian menjadi yakin banget tentang salah satu dari bejibun keberkahan Ramadhan. Di antaranya, doa atau harapan cepat terwujud yang rasanya tidak gampang terjadi di bulan-bulan lainnya.

Kali ini, saya ingin berbagi pengalaman berikutnya, terjadi pada bulan Ramadhan ketika saya bekerja sebagai guru di sebuah SMP Unggulan swasta di Surabaya sekitar tahun 2005 silam. Waktu itu, menjelang liburan panjang sekolah bertepatan dengan hari-hari terakhir bulan puasa sekaligus akhir bulan. Lazimnya pekerja pada umumnya, saya berharap honor saya akan dicairkan oleh pihak sekolah di hari aktif terakhir sekolah. Kalau soal THR, saya memang tidak terlalu mengharapkannya karena tampaknya sekolah tak menyediakaannya, walau sebatas tambahan sedikit bonus.

Tepat pada akhir hari aktif sekolah kala itu, saya berharap banget honor saya cair usai mengajar sebelum pulang nanti. Setelah keluar dari kelas, seperti biasa, saya kemudian berpamitan pada kepala sekolah maupun guru-guru serta karyawan yang lain. Saat itu, hanya tinggal pegawai wanita bagian pencairan honor dan tukang kebun. Sedangkan kepala sekolah dan lainnya sudah pulang lebih dulu.

Nah, pegawai bagian pencairan honor tersebut memberitahu saya bahwa honor saya tidak cair hari itu, melainkan akan diberikan pada hari aktif kembali setelah liburan panjang sekolah tepatnya dua minggu setelah lebaran nanti. Saya langsung tak bersemangat, apalagi hari itu sudah tanggal 29 bertepatan dengan tanggal 27 Ramadhan. Dan sepulang mengajar hari itu, saya berniat mudik melepaskan kangen kepada ayah-ibu di desa hehehe...

Dengan langkah gontai, saya kemudian pulang. Sementara, uang tinggal Rp 2.500 di saku, untuk ongkos angkot ke rumah. Itu pun saya masih harus berjalan sekitar 500 meter ke tempat angkot yang sekali naik dan turun lebih dekat ke arah rumah nanti. Perasaan saya berkecamuk, harus bagaimana mendapatkan fulus untuk bekal mudik?

Ketika melihat kios penjual koran, tempat saya biasa membaca koran setelah mengisi perut di sela-sela jam istirahat mengajar yang tak seberapa jauh dari sekolah, lagi-lagi pikiran saya teringat kembali pesan almarhum kakek tentang doa atau harapan yang cepat terwujud di bulan Ramadhan; dengan sepenuh keyakin memanjatkan doa pengharapan dan memperbanyak membaca shalawat.

“Wah, pak Guru yang baru gajian dan THR-an ini, rek?”, celetuk pemilik kios koran dalam bahas Jawa menyambut kedatangan saya. Lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan ini sedang menata kiriman beberapa eksemplar koran dan majalah di kios miliknya. Ia kemudian meyodorkan kursi plastik kepada saya.

Njeh alhamdulillah, pak. Sampai-sampai jangankan THR, gajian saja ditunda pencairannya hingga murid-murid kembali masuk sekolah nanti”, sahut saya juga dalam bahasa Jawa sambil menerima kursi plastik yang disodorkan penjual koran ini, lalu minta izin mencomot salah satu koran.

Ah, sampean yang benar, mas? Lah sekarang kan sudah akhir bulan, waktunya liburan anak-anak sekolah dan akhir puasa lagi,” selidik penjual koran ini sambil melanjutkan menata koran dan majalah, sesekali dia melihat ke arah saya.

“Kalau sampean tidak percaya, monggo periksa saya. Ini tinggal duit untuk ongkos angkot ke rumah hehehe...” ujar saya sambil menunjukkan saku baju dan celana serta dompet dengan spontan. Pedagang kaki lima ini kaget dan terheran-heran.

Wuaduh, benar. Kok bisa gajian sampean saja belum dicairkan yo, mas?” tanya dia lagi.
Monggo kita tanya saja pada rumput yang bergoyang, pak hehehe...!” balas saya sekenanya menirukan syair lagu Abiet G. Ade membuat lelaki ini terbengong-bengong.

Ketika mulai membuka-buka lembaran sebuah Harian yang saya pinjam dari bapak ini, saya juga lantas teringat sebuah artikel yang coba saya kirimkan ke salah satu anak koran Nasional sepekan sebelumnya. Secara reflek pula saya membaca shalawat sebagaimana pernah diwejangkan almarhum kakek, sembari berharap tulisan saya itu dimuat. Kemudian saya beralih meminjam Harian di mana saya mengirimkan artikel tersebut untuk memeriksanya.

Harap-harap cemas saya membuka satu demi satu halaman koran itu sambil terus memanjatkan doa dalam hati. Tinggal satu lembar yang biasa menjadi halaman pemuatan artikel belum saya buka. Cukup lama saya deg-deg-an saat akan membuka halaman ini. Saya tidak bisa membayangkan, ketika membukanya tulisan saya tidak dimuat nanti.

Dengan menguatkan-kuatkan hati, akhirnya saya bersiap membalik halaman ini sambil terus berdoa. Saya membaliknya pelan-pelan banget sambil sesekali melirik si penjual koran, khawatir dia memergoki tingkah konyol saya tersebut. Dan jreng...

“Pak, saya mau pulang dulu, saya beli koran ini, njeh”, seru saya hampir terlonjak, setelah membaca judul dan penulis artikel yang tertulis pada halaman tersebut beberapa saat lamanya. Alhamdulillah, tulisan saya muncul di edisi hari itu. Kemudian saya menyerahkan dua lembar uang ribuan kepada si penjual koran sambil pamit hendak pulang.

Lho, mau ke mana? Kok terburu-buru, mas? Walau sampean belum gajian, ndak usah bingung. Nanti setelah saya membereskan tatanan dagangan saya ini, kita ngobrol dulu!” sentil si penjual koran dengan mimik heran.

“Terima kasih lain kali saja njeh, Pak. Saya cuma ingin cepat pulang kok, biar juga bisa lama tidur di rumah sampai maghrib. Oh, iya Pak, maaf lahir-batin kalau saya punya banyak salah yang disengaja maupun tidak njeh! Saya ndak bisa bertemu sampean pada hari raya nanti, tho?”, jawab saya lantas menjabat tangan lelaki itu.

“Iya wis, sama-sama. Hati-hati di jalan, mas!” balasnya dengan masih terheran-heran mengiringi langkah saya. Hati saya berbunga-bunga penuh syukur sepanjang berjalan kaki hingga ke tempat menunggu angkot. Saya juga berasa hidup dan batin saya berbisik “mudik...mudik...mudik...” dengan girang.

Setiba di tempat menunggu angkot, saya baru sadar kalau fulus tinggal Rp 500 yang jelas tidak cukup untuk ongkosnya. Lalu saya merogoh kocek celana dan mengeluarkan sisa duit. Akhirnya saya memutuskan terus berjalan kaki hingga rumah yang berjarak satu seperempat jam perjalanan setelah saya cek waktu itu.

“Ah, tidak apa-apa capek pulang dengan berjalan kaki jauh banget. Yang penting bisa mudik sebelum lebaran nanti hehehe...” bisik hati kecil saya sambil menimang-timang uang logam lima ratusan warna emas sepanjang jalan. Di tengah perjalanan, saya mendapatkan panggilan telepon yang ternyata dari redaksi Harian yang memuat artikel saya. Radaksi koran tersebut meminta saya datang untuk mengambil honorarium pemuatan artikel saya ke kantornya ke esokan harinya. Saya makin bersemangat mengayunkan langkah, walau terus terang kaki terasa remuk redam setiba di rumah siang itu. Belum lagi, terik matahari begitu hot memanggang tubuh sejauh ratusan meter menuju rumah.

Setelah saya mengambil honor tersebut keesokan harinya, saya bukan hanya bisa mudik, tapi juga bisa membeli sejumlah perlengkapan berlebaran yang baru, karena jumlah duit yang saya terima lumayan kala itu. Dan tulisan perdana saya itu pun membawa berkah banget seiring dengan tulisan-tulisan saya berikutnya lebih gampang bermunculan di sejumlah koran di kemudian hari. Alhamdulillah...

Walau kemudian saya terbiasa tidak terlalu berharap bahwa setiap tulisan yang saya kirimkan ke media akan dimuat demi honor. Sebab, bagi saya menulis sudah kadung menjadi minat yang tidak bisa dibendung. Saya pun tidak berharap coretan ini bisa memenangkan gelaran THR Kompasiana ini, melainkan hanya berbagi pengalaman yang mungkin membawa faedah. Itu saja sudah lebih dari cukup hehehe...


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun