Mohon tunggu...
Hesdo Naraha
Hesdo Naraha Mohon Tunggu... Freelancer - Sharing for caring by "Louve" from deep Instuisi-Ku

God Is Good All The Time 💝

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Pada Buah yang Membusuk, Ada "Benih Kehidupan" yang Siap Menumbuh

20 April 2024   09:00 Diperbarui: 21 April 2024   01:21 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beradaptasi menjadi kunci penting untuk bertahan dengan bahagia (Sumber Ilustrasi: Freepik)

(Jakarta, 19 April 2024 – 23.41 WIB)

Waktu berjalan sesuai tabiatnya. Kini, saya mulai berhitung dan akhirnya tiba pada hari ke-24 berada di Jakarta.

Sejak akhir Maret yang lalu, saya memulai petualangan yang baru dengan bertandang ke Jakarta atas panggilan pekerjaan.

Saya tidak menduga bahwa dinamika kehidupan di sini sungguhlah mempesona, ada banyak pelajaran mengenai kedisiplinan, keberanian, kepekaan diri, dan ketangguhan.

Tidaklah asing ditelinga, ketika ada yang berkata “Jakarta itu keras banget. Kamu harus bisa survive, kalau enggak kamu akan terlindas habis oleh orang lain yang bekerja keras.” Seminggu pertama, saya masih merasa bahwa kalimat itu hanyalah afirmasi positif yang berikan sebagai kekuatan semata. Namun di minggu ketiga, saya lalu menyadari bahwa betapa menaklukan Jakarta adalah sebuah prestasi dalam hidup.


Sebagai seorang penikmat hidup yang santai (slow living), saya merasa bahwa hidup di Jakarta adalah sebuah pilihan untuk bunuh diri.

Rasa-rasanya Jakarta terlalu jauh dari ritme yang pelan, santai, tidak terburu-buru, hening, teduh, dan ramah. Kesemuanya itu adalah realitas yang saya jumpai setiap hari selama berada di sini.

Awalnya saya merasa ragu dengan kesanggupan diri sendiri, namun seiring waktu berjalan, kini saya merapalkan doa dalam hati ‘semoga kelak masih berkesempatan tinggal di Jakarta lagi.’

Semua manusia harus beradaptasi 

Irama Jakarta yang serba cepat, penuh perhitungan akan waktu, dan tingginya tuntutan untuk terus bergerak, pada awalnya menjadi sebuah kekhawatiran dalam hati saya.

Sebelumnya, kedatangan di Jakarta bukanlah hal yang baru dalam hidup saya, namun kali ini saya datang sebagai seorang pekerja, maka tentulah dinamika kehidupan yang dijalani akan sangat berbeda.

Di hari pertama saya bekerja, saya diberanikan untuk pulang seorang diri dengan motor dari Jakarta Selatan ke Bintaro, cukup bermodal Google maps.

Saya merasakan betapa hawa persaingan menuju sangatlah kental di sepanjang jalan, entah itu motor atau mobil, semuanya melaju dengan cepat yang mengisyaratkan ingin segera tidur.

Belum seminggu setelah itu, saya mulai didorong untuk menggunakan KRL dan berlanjut dengan Trans Jakarta. Saya sungguh berberat hati di saat mendengarkan penjelasan mengenai rute dan jalurnya yang cukup ribet.

Namun siapa sangaka? Kini saya sangat menikmati perjalanan saya di setiap pagi maupun malam, karena bagi saya perjalanan itu justru menjadi bagian dari merilis segala pengalaman emosi negatif di sepanjang hari itu.

Akhirnya saya menyadari bahwa beradaptasi memang menjadi kunci penting bagi saya untuk bertahan dengan bahagia, bukan karena bertahan tanpa pilihan alias menderita.

Belajar dari anak-anak yang penuh warna

Saya teringat akan salah satu bagian dalam Novel “Intelegensi Embun Pagi” sebagai seri keenam dari Supernova karya Dee Lestari. Di sana dijelaskan adanya kemampuan Bodhi dalam melihat manusia sampai kepada berlapis-lapis energi yang melekat padanya. Ibarat gradasi warna, maka Bodhi mampu mengetahui siapakah orang di depan matanya, termasuk pada energi yang ada dalam orang tersebut.

Saya bukanlah Bodhi. Namun dalam keseharian di pekerjaan, saya berjumpa dengan corak warna anak-anak yang ditampilkan melalui ekspresi emosi.

Anak-anak yang tantrum hingga membanting kursi, melemparkan barang, berteriak dengan suara keras, kesemuanya itu adalah bagian dari realitas yang saya jumpai setiap hari.

Pada satu minggu pertama, saya nyaris menyerah dan ingin pulang ke Jogja, kembali kedalam sarang kepompong saya yang nyaman. Namun di setiap harinya, saya selalu terkesimak ketika melihat anak-anak itu dari sisi yang berbeda.

Seandainya saya menjadi Bodhi, mungkin mata saya akan perih karena melihat dominasi warna merah yang berarti kemarahan.

Namun hari ini, saya justru menikmati banyaknya pelangi indah di mata saya. Anak-anak yang saya dampingi merupakan korban dari kenyataan hidup yang tidak mudah, mereka adalah buah hati yang tidak dianggap oleh orangtuanya, namun kehidupan memberikan mereka kesempatan untuk dicintai oleh lebih banyak orang.

Suatu waktu, saya harus menemani seorang anak perempuan untuk belajar. Namanya ‘C’. Dia perlu mengerjakan tugasnya dengan laptop, sehingga saya perlu menemaninya selama mengerjakan tugas tersebut.

Di saat waktu sudah berjalan hampir dua jam, pekerjaannya pun selesai, dial alu meminta beberapa menit untuk membuka Google dan YouTube.

Awalnya saya berpikir dia akan membuka Youtube untuk menonton film kartun, rupanya dia menyaksikan video mengenai seorang anak Papua yang viral. 

Ada hening yang cukup lama, C begitu serius menatap layar laptopnya, dan tiba-tiba saja keheningan itu berubah; dia tersentuh dan menitihkan air matanya.

C bercerita akan rasa harunya melihat anak kecil itu sangat bahagia mendapatkan hadiah dari tentara.

Menurut C pemandangan itu membuatnya terharu, lebih-lebih bukan karena sebuah tontonan kesedihan tetapi justru karena kebahagiaan orang lain yang hidupnya menderita.

Saya kemudian mengingat momen itu sebagai suatu memori yang indah di dalam hati. Awalnya saya hampir menyerah membayangkan kehidupan anak-anak itu, mereka yang sepanjang penglihatan saya -meski tak sehebat Bodhi, rasanya sulit untuk mengubah emosi mereka yang sangat fluktuaktif ini menjadi lebih stabil.

Namun ketika melihat momen C yang menangis karena kebahagiaan orang lain membuat hatinya tersentuh, disitulah saya percaya bahwa pada buah yang nampaknya sudah busuk; sebenarnya ada benih kehidupan yang akan menumbuh.

Akhirnya saya menyadari bahwa kemarahan adalah bagian dari ekspresi emosi atau perasaan manusia, meski begitu kasih sayang dan empati akan selalu menjadi benih yang kapan saja siap untuk dirawat agar dapat tumbuh dengan baik.

***

Semoga setiap kita tetap menjadi manusia yang selaras dengan alam. Kemarin (18/4/2024) saya membaca sebuah konten pada akun Instagram @hariankompas yang menuliskan bahwa “3,3% calon dokter spesialis mengalami gangguan depresi, yang ditandai dengan adanya keinginan untuk melukai diri atau mengakhiri hidup.” Saya lalu teringat hasil penelitian saya dan teman-teman yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Psikologi 2024, sekitar tiga minggu yang lalu. Saya menuliskan bagian pendahuluan penelitian, sehingga saya lebih banyak berhadapan dengan data dan literatur.

Melalui penelitian itu, saya membuka pembahasan mengenai self-compassion atau welas diri dengan menjelaskan adanya fenomena self-injury/self-harm. Sederhananya, saya mengemukakan bahwa tanpa welas diri maka siapa saja rentan melakukan perilaku menyakiti diri, yang kemudian bisa berakibat fatal pada gangguan depresi serta keinginan bunuh diri. Menurut saya, kapan dan di mana saja setiap manusia akan selalu diperjumpakan dengan hal-hal yang membuatnya stres, marah, sedih, murung, bahkan kadangpun tidak mampu merasakan apa-apa (apatis). Jika demikian maka patutlah kita belajar untuk mengenal diri sendiri, termasuk memiliki kemampuan untuk menyadari kecenderungan emosi kita. Sehingga kendatipun orang lain menganggap kita adalah monster yang penuh kemarahan, justru dalam diri kita masih ada benih kebaikan, empati, cinta, dan keberanian yang akan tumbuh dengan subur.

-Selamat Merayakan Hidup-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun