Pada saat satu grup denganku biasanya kami bisa saling berbagi tugas dengan bergiliran menangani pasien dan yang lain bisa beristirahat.Â
Sebagai perawat, kami harus profesional memenuhi panggilan tugas yang sangat terpuji ini demi kepentingan negeri tercinta. Walaupun tahu risiko sangat tinggi terpapar virus mematikan itu.Â
Sore itu seperti biasa aku masih duduk di ruang perawat masih dengan menggunakan pakaian kerja. Ketika teman kerjaku, Diana menghampiriku seraya berkata bahwa hari ini ada tiga pasien yang meninggal yaitu dua orang sudah lansia dan satu lagi masih belia.Â
"Hen! Korban corona yang masih belia itu adalah Aina." Kata Dina sambil menangis tersedu.Â
Mendengar ini rasanya lemas sekujur tubuhku. Mataku berkunang-kunang dan rasanya aku hanya mampu memandang kegelapan.Â
Antara sadar dan tidak sadar, aku melihat tiga peti mati baru saja keluar dari bangsal khusus jenazah. Tiga peti itu dimasukan ke dalam mobil jenazah yang sudah siap membawanya ke tempat pemakaman.Â
Aku hanya mampu memandang dari jauh prosesi keberangkatan jenazah korban corona yang di dalamnya adalah Aina.Â
Mobil jenazah mulai bergerak. Aku semakin tidak tahan menahan perasaan. Tidak pernah terbayang Aina gugur dalam bertugas. Namun yang lebih tragis, aku sampai tidak punya kesempatan bertemu untuk yang terakhir kalinya.Â
Ketika mobil jenazah itu semakin menjauh. Akhirnya aku tidak bisa menahan perasaanku. Aku berteriak sekuat tenagaku di tengah ruangan itu.Â
"Perawat itu kekasihku! Perawat itu kekasihku! Dia calon istriku, dia calon istriku..."
Teriakanku membahana ke seluruh ruangan sampai aku tidak mampu lagi berteriak. Aku hanya terduduk bersimpuh tak berdaya.