Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Merenungi Pertengahan Ramadhan

1 Juni 2018   07:55 Diperbarui: 1 Juni 2018   08:09 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menghitung hari-hari di bulan Ramadhan, tak bermaksud cepat-cepat menyudahi keistimewaannya, juga tak hendak mengabaikan kenyataan bahwa bulan ini telah separuhnya kita jalani. 

Mungkin puasa yang dilakoni sehari-hari kian terasa berat, sebelas rakaat di mesjid-mesjid makin terasa hambar, tadarus Al-quran tak lagi dilanjutkan, malam-malam yang dilewati saat sahur makin membosankan, maka itu pahala, syafaat, ampunan, keberkahan dan rahmat Allah terus menerus hadir meski hanya sebagai penghibur atas kejenuhan yang perlahan menggema halus di benak kita. 

Di pertengahan ini, terkadang keikhlasan puasa yang diniatkan sejak awal, perlahan luluh oleh harapan-harapan material yang bersimbol tunjangan, hidangan, hiasan hingga dandanan lebaran, tanpa menyelipkan niat untuk sekedar menambah takaran zakat fitrah dan sedekah. 

Postingan menu-menu berbuka yang menyegarkan dan meramaikan akun-akun media sosial, pelan-pelan berganti diskon di pusat perbelanjaan, juga tuntutan gaji dan Tunjangan Hari Raya (THR) agar segera dibayarkan. 

Semarak dan kegembiraan yang melimpah ruah di hari pertama kini mulai meluap dan mubazir seperti sisa-sisa makanan berbuka yang dibiarkan tak tersentuh hingga basi di hari-hari berikutnya. 

Ucapan selamat berpuasa beserta doa-doa yang kita tebarkan hingga ke pelosok dunia kini tak berjejak apa-apa, tersisa spanduk dan meme-meme lucu yang dibaca tanpa makna. 

Hari ke-16 begitulah kita menghitung, mungkin sejak angka 1 Ramadhan, bukankah ini puncak Ramadhan, ketika surah Al-Qadr yang berarti kemuliaan menjadi bacaan "utama" di tiap-tiap rakaat sembahyang tarawih, meski jamaah tak lagi tumpah ruah hingga ke teras dan parkiran mesjid seperti pada awal pertama Ramadhan. 

Lalu apa yang hendak kita raih di bulan yang padanya Al-quran pertama kali di wahyukan, Nabi Muhammad menjadi utusan, berbagai peperangan dimenangkan, kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, hingga hari ini kelahiran Pancasila diperingati. 

Ramadhan tentu bukan memperingati peristiwa-peristiwa, tapi seperti yang telah berkali-kali di sebut dalam Al-quran, hadits, maupun ucapan-ucapan para ulama, bahwa Ramadhan adalah bulan istimewa bagi umat Islam, didalamnya ada puasa yang diwajibkan yang Allah sendiri mengatakan bahwa puasa itu untukKu, puasa itu menjadi rahasia antara Aku dan hambaKu, puasa itu meneguhkan prinsip tauhid yang menjadi awal mula penyebab seseorang dikatakan ber-Islam. 

Maka, wajarlah segala yang berlabel Islam bersuka cita ketika Ramadhan mulai menyapa. Limpahan makna puasa Ramadhan meluber kemana saja, tafsir atas seluruh tingkah laku manusia dan ibadah-ibadah sunah di bulan Ramadhan menjadi santapan siang dan malam yang terus dilantunkan para ulama, ustadz, kyai, penceramah, ahli ibadah hingga mereka yang awam. 

Di pertengahan Ramadhan ini, masihkah makna-makna itu berbuah kesejukan di batin kita, ketika bayangan tentang kemewahan hari raya mulai menemani lapar dan haus yang sedang kita tunaikan sejak enam belas hari yang lalu. 

Sudahkah kita merenungi sebaik apa puasa yang kita jalani, sambil terus menyadari berapa banyak santapan berbuka yang kita habiskan sampai begah, sudahkah kita bertanggung jawab pada merebaknya bau amis makanan yang teronggok di tempat sampah, lalu kapan kita menjadi makhluk mulia yang di awal penciptaan disujudi para malaikat dan seluruh makhluk bumi, kecuali iblis. 

Surah Al-qadr sudah berkumandang, jika pada awal Ramadhan nafsu-nafsu kita dituntut untuk dipuasi di meja makan hingga tong sampah, maka kesempatan untuk memuliakan nafsu-nafsu itu kini sedang terbuka lebar, berburu lailatul qadar mulai menjadi himbauan dari segenap ahli agama, masihkah kita tega mengabaikannya dengan memupuk rasa kantuk dan malas hingga hari raya tiba. 

Jika inti puasa adalah menahan atau mengendalikan, apakah kita sanggup untuk tetap konsisten pada doa-doa kita di awal Ramadhan, yakni keberkahan dan kemuliaan, meskipun dalam keseharian aktifitas pikiran, hati dan tindakan kita jauh dari mendatangkan apalagi menjadi sumber berkah, semata-mata karena ketidaksanggupan setiap diri dari menahan segala yang bersumber dari nafsu. 

Sudah menjadi keyakinan kita bahwa kemuliaan tidak bersumber dari pakaian mewah, tapi berawal dari kebaikan tingkah laku serta kebersihan hati. 

Maukah kita kembali ke mesjid-mesjid seperti di hari pertama ajakan tarawih berkumandang, mampukah kita mengosongkan tempat sampah dari sisa makanan basi, sanggupkah kita berhenti meragukan Maha Pemberi Rejeki jika gaji dan THR belum juga dibayarkan. 

Bukankah Ramadhan menjadi sarana terbaik untuk meneguhkan kualitas kehambaan kita di hadapan Allah dan kualitas kemanusiaan kita di dunia. Kapan tindakan kita berbuah manfaat bagi orang lain, jika puasa kita seringkali lepas bahkan menjauh dari Allah. 

Sebelum Ramadhan berlalu dalam hampa, sebelum puasa berakhir dalam sunyi, sudahkah kita merenungi berapa banyak orang-orang yang bertikai dan mati, akibat berebut atau kekurangan makanan sekedar untuk mengganjal perut dalam sehari, mereka tak pernah mendapat THR apalagi gaji. 

Apakah bisa, dipertengahan Ramadhan ini, diri yang tak kunjung tegak, rukuk apalagi sujud, mampu dan mau menyambangi mereka-mereka yang telah berpuasa hampir sepanjang hidup, mereka yang berpuasa tanpa menunggu waktu berbuka, sembari mengikhlaskan separuh dari apa yang kita miliki.

Sebelum para politisi menyambangi mereka dengan untaian janji dan amplop berisi puluhan ribu, disertai pamrih berupa kursi dan kekuasaan yang justru membuat para jelata makin lumpuh. 

Dan pada akhirnya kita sekedar menjadi orang-orang yang gemar menyinyiri tanpa menyadari kemanakah kita di hari itu ketika para imam mulai sendiri di bawah mihrab, ketika para ulama mulai berteriak sedekah dan zakat, ketika mereka yang hidup kekurangan mulai memutar otak mengemis dan mencuri demi baju dan kue lebaran, kemanakah kita di hari ke-16 ini?

16 Ramadhan 1439 H

1 Juni 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun