Mohon tunggu...
Hari Dewanto
Hari Dewanto Mohon Tunggu... Profesional Hypnotherapist -

I am a profesional trainer and happiness tranceformer (happiness provocator) who willing to make Indonesia happier

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hanya Titipan

12 Juni 2017   20:40 Diperbarui: 13 Juni 2017   08:54 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: abekabek.blogspot.com

Saya mengenal Bapak yang biasa berseragam orange itu beberapa tahun yang lalu ketika saya sering mengantar istri berbelanja pernak pernik asesori di bilangan Asemka, Jakarta Utara. Orangnya sangat  bersahaja dan senantiasa ceria. Sambil menunggu istri berbelanja, saya lebih memilih berbincang dengan Bapak tadi di sela-sela kesibukannya mengatur keluar masuknya mobil di lahan parkir berbentuk lapangan yang dikelolanya.  Yup, lapangan parkir ini sebenarnya hanya sepetak tanah yang belum sempat didirikan bangunan, yang terletak di belakang pusat asesori Asemka. Lahan parkir yang belum dikelola oleh perusahaan parkir profesional ini hanya cukup untuk menampung sekitar seratus buah mobil.

Dari ceritanya, Bapak yang masih berbadan kekar meski rambut sudah sebagian besar memutih ini berasal dari Banten. Ketika saya tanya bagaimana asal muasalnya sampai terdampar di Asemka ini, dengan semangat dia bercerita bahwa masa mudanya termasuk kelam. Berbekal ilmu kanuragan warisan leluhurnya dia malang melintang mengadu kesaktian di seantero Jawa Barat, tak pernah terkalahkan, sampai akhirnya beberapa tahun yang lalu dia mengadu ilmu dengan jawara Asemka,

 dan dia menang lagi sampai diberi wewenang mengelola lahan parkir di wilayah itu. Sedemikian lama pengalamannya mengadu ilmu, namun justru ketenangan baru dia dapatkan ketika sudah menjadi 'penguasa' parkir di asemka. Ketenangan itu dia dapatkan ketika tanpa sengaja dia membasuh muka di masjid yang terletak di seberang lahan parkirnya, dan dia bertemu dengan seorang musafir yang sedang mengalunkan Kalam Ilahi. 

Suaranya yang begitu merdu mendayu membuat Bapak ini terduduk di teras masjid, takjub mendengar kemerduan qori yang tidak dikenalnya tadi. Dia teringat masa kecilnya yang sangat kental dengan bacaan Kalam Ilahi semacam itu di pedalaman Banten sana. Dia teringat ayah yang sekaligus guru ngajinya yang sangat ketat dalam mengajarkan ilmu Alquran termasuk menurunkan ilmu kanuragan kepadanya. Dia teringat emaknya yang dengan lembut selalu menguatkannya, ketika dia kena hukum karena tidak disiplin dalam mengikuti pelajaran ayahnya. Emaknya selalu berpesan bahwa ayahnya melakukan semua itu pasti demi kebaikan dirinya. Perasaannya bercampur aduk tak karuan, antara rindu, cemas, nikmat, takut menjadi satu. Dia ingat betapa banyak dosa yang telah dia lakukan.

Betapa lama dia telah meninggalkan shalatnya. Betapa banyak darah yang sudah dia tumpahkan. Tak kuasa menahan semua tekanan perasaan itu, tanpa sadar dia kembali ke petirasan untuk mengambil air wudhu. Didirikannya shalat dua rakaat untuk memendam semua rasa itu. Usai shalat tanpa bisa dibendung lagi tertumpahlah air matanya. Memang Allah akan memberikan hidayah kepada orang yang telah dipilihNya. Meski hanya dengan hantaran alunan ayat suci al Quran, namun nyatanya semenjak kejadian tersebut kehidupan Bapak tadi berubah seratus delapan puluh derajat. Pekerjaan tukang parkir tetap dilakukannya, namun shalat lima waktu tak pernah ditinggalkannya lagi. Hawa emosinya juga turun drastis. 

Sekarang Bapak itu lebih sering terlihat tersenyum daripada menunjukkan sikap gaharnya. Ceria. Dalam hati saya bergumam, pantesan meski sudah berumur namun badan Bapak tadi tetap kekar, ternyata dia adalah mantan jawara. Dan wajahnya yang seperti bercahaya menunjukkan kedalaman dan ketenangan bathinnya karena merasa sudah berada di jalanNya.

 Ketika suatu saat saya tanya lagi mengenai penghasilan sebagai tukang parkir, dengan kalem dia menjawab bahwa rejeki, jodoh dan mati itu Allah yang mengatur. Jadi meski mempunyai kewajiban setor kepada berbagai pihak, namun dia sudah merasa cukup dengan penghasilannya tadi. Nyatanya dia tidak pernah merasa kekurangan. Mempunyai dua anak, dan keduanya berhasil menjadi sarjana adalah bukti bahwa Allahlah yang telah mengatur rejekinya. 

Bahkan saat itu, saya mendapat sebuah pencerahan yang luar biasa.Dia mengatakan seperti halnya dirinya tukang parkir, maka segala sesuatu yang kita miliki di dunia ini, baik itu harta, jabatan, keluarga ataupun kekuasaan hanyalah titipan belaka. Pagi hari dia datang ke lahan parkirnya, maka tak ada satupun mobil di sana. Dia tidak pernah merasa bersedih karena hal itu, karena dia yakin sebentar lagi akan mulai berdatangan mobil satu persatu. Dan benar saja, pelahan namun pasti lahan parkirnya mulai terisi. Makin siang kian penuh saja, sampai dia kerepotan untuk menatanya. Berbagai merk bercampur menjadi satu di lahan parkirnya tadi.

 Dari mobil angkutan yang berharga puluhan juta, sampai mobil lux berharga miliaran, semua ada di sana. Apakah dia merasa bangga dengan pencapaiannya itu? Apakah dia menjadi sombong karena sekarang dia 'menguasai' ratusan mobil berbagai merk? Ternyata dia merasa biasa-biasa saja. Tetap bersahaja. Dan ceria.Pun begitu ketika hari mulai beranjak sore, ketika satu persatu mobil mulai meninggalkan lahan parkirnya. Sebelum adzan maghrib berkumandang lahan parkirnya bisa dipastikan akan sudah kosong. Apakah dia kemudian menangis, melolong-lolong karena merasa kehilangan semua 'harta'nya. Ternyata tidak! Dia tetap bersahaja. Dan ceria! Dia sadar semua itu hanyalah titipan. HANYA TITIPAN!

Wow, tak habis saya terkagum-kagum atas pemikirannya ini. Sebuah pemikiran luar biasa yang keluar dari orang yang selama ini mungkin tak pernah dianggap ada, kecuali ketika kita memerlukan sebuah lahan untuk memarkirkan mobil kita.Saudaraku, marilah kita belajar dari tukang parkir ini. Bukankah kita dilahirkan juga tanpa mengenakan sehelai benangpun.

 Tak punya apa-apa. Kenyataannya kita tetap akan bisa bersahaja dan ceria, karena kita punya Allah. Pun ketika kita dicoba dengan segala macam harta benda, jabatan dan kekuasaan yang sangat menggiurkan. Juga keluarga, suami-istri anak yang sangat manis, bukankah justru itu adalah cobaan yang sangat berat bagi kita. Begitu banyak orang yang lulus ujian kesengsaraan, namun lupa bersyukur ketika  menjadi 'jawara'. Kaya raya dan berkuasa.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun