Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Wisata Itu, Menikmati Pemandangan Khas, Bukan Cari Tempat Ibadah

19 November 2019   10:03 Diperbarui: 20 November 2019   03:38 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia pariwisata kita akhir-akhir ini sedang menjadi sorotan menyusul wacana yang dilontarkan Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi. Pensiunan letnan jenderal Angkatan Darat ini melontarkan ide, membuat kawasan Danau Toba menjadi tempat wisata halal. 

Bicara soal "halal", bayangan orang pertama-tama pasti mengarah ke ternak babi, yang memang diharamkan umat muslim. Memang ada banyak hal yang haram bagi umat ini, seperti minuman beralkohol, dan lain sebagainya. Maka dengan demikian minuman tuak pun haram.

Ide Edy ini sontak membuat "panas" masyarakat sekitar Danau Toba, yang memang sejak ribuan tahun silam menjadi hunian bagi orang Batak. Secara umum, etnik Batak menganut agama Kristen, Islam, dan masih ada yang memertahankan kepercayaan nenek moyang yang disebut Parmalim. Masyarakat yang bermukim di sekitaran Danau Toba, mayoritas beragama Kristen, dan sangat fanatik dengan adat. Dalam adat Batak, daging babi--atau sebut saja B2--sangat vital. Dalam setiap acara adat, skala kecil maupun besar, daging ini harus ada sebagai syarat. 

Jadi mustahil memisahkan orang Batak dengan ternak yang satu ini. Di samping adat, daging B2 juga menjadi menu sehari-hari, dan dijual di lapo (warung makan). Daging B2 yang dicacah disebut dengan saksang. Sore hari, setelah selesai bekerja, pria-pria dewasa suka nongkrong di lapo, sambil minum tuak ditemani saksang. Oleh karena itu, ternak ini menjadi piaraan bagi masyarakat, di samping kerbau, ayam, bebek, dll. Karenanya, di kampung-kampung sudah merupakan pemandangan biasa jika ada babi melenggang di tempat terbuka. 

Wajar saja ketika Gubsu melontarkan ide "menjadikan kawasan Danau Toba menjadi wisata halal", masyarakat setempat meradang. Protes dan kecaman keras pun dilayangkan bertubi-tubi ke mantan ketua PSSI tersebut. Akhirnya Gubsu berkelit dengan seribu bahasa, mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah mengatakan itu, dsb. Karena memang jika tujuannya untuk menertibkan semua hal yang sudah alami itu, sama saja dengan menghapuskan etnik ini dari muka bumi.

Ketika masyarakat sudah mulai melupakan wacana wisata halal versi Gubsu, datang lagi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Wishnutama Kusubandio. Usai dilantik Presiden Jokowi--dia bersama wakilnya yang cantik sekali--Angela Tanoesoedibjo, menggulirkan ide menjadikan Danau Toba dan Pulau Bali sebagai destinasi wisata yang ramah bagi muslim.

Artinya, di kawasan ini akan dibuka banyak restoran atau rumah makan halal, dan juga tempat-tempat ibadah untuk muslim? Padahal sejak dahulu tidak sulit kok menemukan rumah makan halal di kota-kota sekitar Danau Toba, sebab ada banyak warga muslim yang membuka usaha restoran dan rumah makan di sini. Bagi yang ingin melaksanakan kewajiban ibadah pun, di kota-kota sudah ada masjid. Di kota kelahiran penulis, Balige, ada sebuah masjid besar yang sudah dibangun sebelum penulis lahir, lebih 50 tahun silam. Maka bagi penduduk kota kecil pinggir Danau Toba yang 90% lebih Kristen itu, sudah terbiasa mendengarkan suara adzan dari pengeras suara, setiap subuh, ashar, maghrib.

Jelaslah sudah, ide menteri baru ini pun memantik kontroversi pula. Banyak pihak mempertanyakan kenapa menteri ini "mengusik" kawasan wisata yang sudah jadi?  Mengapa tidak membuka tempat-tempat wisata baru? Sebenarnya tujuan orang berwisata itu apa? Ya, untuk melihat atau menikmati pemandangan khas yang mungkin unik bagi mereka, sebab di tempat tinggalnya atau di daerahnya tidak ada.

Atau untuk menikmati kuliner khas daerah tersebut. Kalau ingin beribadah di tempat wisata, ya gunakan saja tempat-tempat ibadah yang sudah ada di sana. Tak mungkinlah dibangun rumah-rumah ibadah di setiap titik untuk wisatawan. Apalagi hal yang menyangkut soal pendirian rumah ibadah, sangat sensitif di negeri ini. 

Maka kepada para pejabat, khususnya yang baru menjabat, dan mungkin masih bingung hendak bikin apa, jangan terlalu mudah menggulirkan sesuatu ke publik sebelum tahu duduk perkaranya dengan sangat jelas. Secara khusus, "merecoki" tempat-tempat wisata yang sudah ada, sudah masyhur sejak lama, sama sekali tidak kreatif. Banyak lokasi yang perlu digarap, dan di situlah daya cipta kreasi seorang pejabat itu diuji. Kalau hanya sekadar memoles kawasan wisata yang sudah ada, siapa pun bisa, tidak harus diberi jabatan menteri--bahkan punya wamen segala pula. 

Sekali lagi, tujuan orang berwisata adalah untuk melihat kekhasan atau keunikan yang ada di kawasan itu, yang tidak ada di daerahnya. Kalau kita ingin beribadah  di suatu tempat wisata yang kebetulan tidak ada rumah ibadah, atau lokasinya sangat jauh, toh bisa saja beribadah di alam terbuka. Bahkan ini mungkin akan menjadikan ibadah kita lebih khusuk, dan yang pada akhirnya semakin mendekatkan kita kepada Yang Kuasa. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun