Mohon tunggu...
Hans Giovanny
Hans Giovanny Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum

Orang Biasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Korporasi dan Ekosida

29 Mei 2019   12:50 Diperbarui: 29 Mei 2019   13:13 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam era modern di mana ekspansi industri kapitalisme berkembang sangat pesat, tidak jarang ditemukan berbagai masalah lingkungan hidup yang disebabkan oleh korporasi-korporasi tersebut, mulai dari pencemaran lingkungan hingga man-made disaster seperti yang terjadi di Indonesia yaitu kasus PT Lapindo Brantas di desa Porong Sidoarjo. 

Fenomena kejahatan terhadap lingkungan oleh korporasi semacam ini dikenal dengan nama ecocide atau ekosida. 

Terjadi perdebatan yang cukup menarik oleh para pakar hukum khususnya pakar hukum internasional dan Hak Asasi Manusia, apakah kejahatan terhadap lingkungan yang dilakukan oleh korporasi harus digolongkan sebagai pelanggaran HAM atau tetap diatur secara tersendiri dalam domain hukum internasional serta apakah jenis kejahatan lingkungan harus diadili oleh pengadilan yang memiliki yurisdiksi universal seperti ICC atau tetap dalam domain hukum domestik tiap negara?

Tulisan ini akan membahas ekosida dalam kerangka hukum internasional dan hubungan antara ekosida dengan korporasi

Ekosida Dalam Konsep Hukum Internasional

Dalam hukum internasional, istilah ekosida digunakan untuk mengkriminalisasi tindakan perusakan terhadap lingkungan hidup yang memberi dampak yang luas.

Istilah ekosida atau ecocide pertama kali diperkenalkan oleh Arthur Glaston pada tahun 1970 di Conference on War and National Responsibility di Washington DC. Ia menggunakan penamaan tersebut bagi tindakan perusakan dan penghancuran yang masif terhadap ekosistem. Pada masa itu, istilah ekosida muncul setelah banyaknya kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai dampak dari perang khususnya perang di Vietnam dan di beberapa wilayah Afrika, dimana negara peserta perang lah yang dituntut untuk bertanggung jawab terhadap kerusakan yang ditimbulkan tersebut. 

Kemudian pada tahun 1978, International Law Comission (ILC) dalam Draft articles on State Responsibility and International Crime memasukkan perusakan lingkungan sebagai salah satu jenis kejahatan internasional, namun belum menggunakan istilah ekosida. Pada tahun 1987 ILC kemudian menyatakan pentingnya melestarikan lingkungan hidup bagi keberlangsungan hidup manusia dan mempertimbangkan ekosida sebagai salah satu jenis kejahatan internasional yang serius, setara dengan agresi, kolonialisme dan penggunaan senjata pemusnah massal.

Pada tahun 1991, dalam Draft Code of Crimes Against the Peace and Security of Mankind, ILC mengkategorikan 12 jenis kejahatan salah satunya adalah wilful damage to the environment atau kerusakan yang disengaja terhadap lingkungan hidup, yang memiliki bangunan konsep yang sama dengan ekosida. Dan menempatkannya sebagai kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia. 

Namun, meskipun telah dipertimbangkan sebagai salah satu jenis kejahatan internasional oleh ILC, pada tahun 1998, ketika Statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Internasional (pengadilan internasional pertama yang memiliki yurisdiksi mengadili tindak pidana internasional dan bertujuan mengakhiri impunitas) dibuat, ekosida tidak dimasukkan sebagai jenis pelanggaran HAM yang dapat diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional.

Hingga kini upaya untuk mengkategorikan ekosida sebagai pelanggaran HAM dan menjadi bagian dari yurisdiksi universal terus dilakukan, misalnya dengan mengupayakan untuk mengintegrasikan ekosida ke dalam Statuta Roma (perjanjian internasional terkait Mahkamah Pidana Internasional) seperti yang dilakukan oleh Polly Higgins, juga dengan membuat beberapa rancangan undang-undang terkait ekosida seperti yang dilakukan oleh Hamilton Group di Inggris

Ekosida dan Korporasi

Jika pada awalnya konsep ekosida ditekankan pada pertanggungjawaban negara khususnya negara yang terlibat perang. Pada era 1990-an terjadi pergeseran konsep. Ekosida diyakini tidak lagi dilakukan oleh negara, melainkan oleh korporasi, baik itu korporasi sebagai state actors maupun korporasi privat, Tama Leaver (1997) menjelaskan tulisan William Gibson dan Ridley Scott, bahwa ekosida merupakan efek buruk dari upaya-upaya ekonomi untuk mencapai kesejahteraan global.

Penjelasan dari Tama Leaver tersebut tampak masuk akal. Kerusakan lingkungan yang terjadi belakangan ini memang disebabkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional raksasa atau perusahaan dalam negeri yang dimiliki dan dikelola secara oligarkis. Perusahaan-perusahaan ini hanya peduli cara memaksimalkan laba untuk mendapatkan kapital baru dengan meningkatkan penjualan atau memperbesar pangsa pasar, tanpa melihat "efek samping" dari proses produksi mematikan yang mereka lakukan. "Efek samping" yang dimaksud adalah polusi, limbah, pencemaran tanah atau bencana alam yang disebabkan oleh kelalaian seperti dalam kasus PT Lapindo. Perusahaan seringkali tidak peduli terhadap "efek samping" dari proses produksi mereka karena dua hal.

1. Karena biaya yang harus mereka keluarkan untuk pengelolaan lingkungan atau menggunakan teknologi ramah lingkungan untuk mencegah "efek samping" kerusakan lingkungan cukup besar dan akan menghambat mereka untuk mencapai laba yang mereka inginkan

2. Dampak dari kerusakan tersebut tidak dirasakan langsung oleh para petinggi perusahaan, yang secara umum tinggal di daerah elit, bukan pemukiman sekitar pabrik mereka yang terkontaminasi

Yang menjadi masalah adalah, hukum nasional tidak berdaya menghadapi perusahaan-perusahaan tersebut, entah karena pemiliknya yang juga biasanya aktif terlibat dalam politik domestik dan mampu mempengaruhi pembuat kebijakan untuk membuat peraturan yang menguntungkan mereka. Atau dalam kasus perusahaan multinasional, mereka selalu melihat celah hukum dari negara dimana mereka beroperasi atau mampu memposisikan diri sebagai "pihak yang dibutuhkan" oleh konsumen lokal, sehingga membuat mereka memiliki bargaining position yang kuat.

Tentunya hal tersebut menyebabkan impunitas (tidak tersentuh hukum) bagi korporasi-korporasi perusak lingkungan tersebut. Satu-satunya harapan untuk mengakhiri impunitas dari korporasi perusak lingkungan itu adalah dengan memasukkan ekosida sebagai yurisdiksi lembaga peradilan internasional seperti Mahkamah Peradilan Internasional (ICC) yang dalam beberapa kasus terbukti dapat mengakhiri impunitas, namun berdasarkan perkembangan yang berlangusng terkait pengaturan mengenai ekosida, sepertinya masih dibutuhkan upaya ekstra untuk dapat mengakhiri ekosida

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun